Sistem pemerintahan Indonesia dalam perjalanan sejarah politik pernah mengalami perubahan pada beberapa periode peralihan kekuasaan di tingkat pimpinan nasional.
Karakteristik sistem politik pada setiap periode peralihan kekuasaan ditingkat pimpinan nasional secara rill berpengaruh terhadap model desentralisasi yang diterapkan di daerah-daerah.
Dinamika dalam pelaksanaan desentralisasi di setiap periode sejarah politik dimaksud sangat kuat menunjukkan politik eksperimentasi dari rezim dalam mengelola hubungan pusat dan daerah.
Sudah puluhan tahun pelaksanaan kebijakan desentralisasi ini di Indonesia, namun kedua undang-undang yang disahkan pada masa pemerintahan Habibie telah diamandemenkan pada tahun 2004. Banyak perdebatan dari mengamandemenan ulang undang-undang tersebut.
Banyak permasalahan dari undang-undang tersebut salah satunya timbulnya kesenjangan yang cukup tajam antar daerah, selain itu juga korupsi yang awalnya bermula di tingkat pusat berpindah di tingkat daerah.
Dari berbagai kebijakan yang sudah bergulir sejak zaman orde baru hingga era reformasi, dimulai pada akhir dekade 90-an, desentralisasi dan otonomi daerah merupakan salah satu aspek yang mengalami dinamika untuk menjadi perdebatan.
Indonesia telah memasuki era baru hubungan pusat dan daerah seiring dengan diundangkannya Paket Undang-Undang 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 1999) dan Undang-Undang Nomo 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.
Pengaturan ini telah mengubah sistem yang sentralistik menjadi desentralistik karena daerah, khususnya kabupaten/kota, memperoleh kewenangan yang sangat luas sehingga menjadi relatif lebih otonom berhadapan dengan pemerintah pusat dalam mengelola urusannya di daerah.
Demikian juga hal tentang penguatan kedaulatan masyarakat di daerah yang seiring dengan menguatnya posisi tawar DPRD dengan kepala daerah. Tetapi paket UU 1999 memiliki permasalahan, dalam penerapannya menjadi amunisi oleh berbagai pihak yang tidak menyukai kehadiran paket tersebut sejak awal untuk mendesak agar segera dilakukan revisi.
Pihak yang tidak menyukai paket UU 1999 itu permintaannya di laksanakan tak bergitu lama, setahun setelah penetapan UU Pemda 1999 usulan revisi tersebut diajukan.
Presiden Megawati mengatakan bahwa UU Pemda 1999 justru telah menimbulkan ancaman terhadap keutuhan nasional, oleh karena itu pemerintah memiliki rencana untuk segera melakukan revisi.
Pada akhirnya, Paket Undang-Undang 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Paket UU 2004) lahir pada tanggal 15 Oktober 2004 yang terdiri dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2004) dan Undang-Undang Nomo 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU Perimbangan Keuangan 2004).
Desentralisasi hanya menjadi arena yang nyaman bagi elit politik dan penguasa lokal. Karena, mereka bisa merestorasi kekuasaan politik dan meneguhkan penguasaan mereka atas sumber daya sosial dan ekonomi.
Desentralisasi telah menyediakan sebuah arena yang otonom bagi elit politik dan pengusaha lokal, sehingga menjadi peluang untuk optimalisasi kepentingan dan keuntungan mereka (Mas’udi, 2010), tidak mengherankan jika penerapan desentralisasi selama 10 tahun terakhir didominasi oleh cerita-cerita sukses kondolidasi oligarki lokal, baik di arena politik, sosial maupun ekonomi.
Hal tersebut mengandung stigma negatif terhadap tujuan substansif desentralisasi, yakni demokratisasi, lokal dan pengembangan kesejahteraan.
Stigma negatif atas penerapan desentralisasi dan otonomi daerah tersebut harus dijawab dengan semangat pendalaman desentralisasi melalui sebuah penyegaran berupa memahami nilai-nilai desentralisasi, yaitu kesejahteraan publik (rakyat).
Desentralisasi yang menyejahterakan hanya mungkin dikembangkan jika diawali dengan adanya transformasi pemikiran bahwa penerapan desentralisasi lebih dari sekedar hak politik, tetapi juga kewajiban politik daerah atas ukuran kesejahteraan masyarakat.
Maksudnya adalah, ukuran untuk mengaudit mutu desentralisasi harus bisa dikembangkan dalam dimensi pemerintahan yang bertanggung jawab sebagai ukuran bekerjanya rezim desentralisasi yang menyejahterakan.
Desentralisasi adalah persoalan yang menyangkut hak asasi manusia, oleh karena itu dalam desentralisasi individu diberikan kebebasan untuk berpikir dan bertindak atas dasar aspirasi masing-masing, tiap individu dipenuh semua kebutuhan hidupnya dengan cara memiliki kualitas yang terbaik, berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik dengan tidak ada mengawasi langsung dari pemerintah pusat.
Pelaksanaan desentralisasi yang gunakan oleh para penguasa (elit politik) yang pada hakikatnya membawa angina segar, namun pada prinsipnya kita tidak dapat menutup mata dari kendala-kendala empiris yang muncul dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.
Permasalahan-persamaan itu meliputi munculnya Peraturan Daerah (Perda) yang bermasalah. Berdasarkan catatan Departemen Dalam Negeri, memiliki 4000 Perda yang bermasalah dan dibatalkan.
Selanjutnya, anggaran daerah lebih banyak dialokasikan untuk belanja pegawai. Selain itu, euphoria pemekaran wilayah pada daerah-daerah yang melakukan itu. Selanjutnya, lemahnya perolehan Pendapatan Daerah sebagai akibat dari kewenangan pajak yang terbatas.
Terkait juga permasalahan integritas pembangunan nasional baik aspek perencanaan maupun realisasi pembangunan. Ada juga masalah kesiapan aparatur pemerintah daerah untuk mengemban kewenangan yang dimilikinya.
Masalah yang berhubungan dengan kesenjangan pembangunan antar wilayah. Perlu di akui bahwa penerapan kebijakan desentralisasi ini di Indonesia masih belum berjalan secara optimal.
Pelaksanaan atau penerapan kebijakan desentralisasi di Indonesia belum sesuai dengan harapan yang diinginkan. Penerapan kebijakan desentralisasi ini hanya menguntungkan elit serta penguasa lokal, desentralisasi merupakan sebuah jalan terjal untuk negara sebesar Indonesia ini, desentralisasi dalam pelayanan publik pun masih kurang berkarakter, desentralisasi juga menyuburkan korupsi yang tadinya di tingkat pusat hingga di tingkat daerah.
Sehubungan dengan masalah-masalah tersebut yang hanya menguntungkan segelintir orang, sebagai masyarakat kita harus ikut serta menyuarakan semangat atas stigma negatif terhadap penerapan kebijakan desentralisasi ini dengan semangat pendalaman desentralisasi.
Ini dapat melalui penyegaran berupa nilai-nilai desentralisasi, serta meningkatkan transparansi informasi untuk tidak memunculkan peluang dominasi pengawasan oleh elit lokal dan meminimalisir tindak pidana korupsi ditingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Dapat dilakukan dengan cara mengawasi proyeksi dan pelaksanaan APBD seperti melakukan rapat terbuka atau melakukan laporan rutin ke masyarakat melalui media sosial atau lewat media terbuka. Hal tersebut bertujuan untuk mengefektifkan dan mengefesiensi penerapan kebijakan desentralisasi di Indonesia.
Oleh : Ilman Bukhory / Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang
Email: [email protected]