Setiap tanggal 2 Mei setiap tahunnya selalu muncul pertanyaan, apakah Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) akan diperingati dengan upacara lagi? Begitu seterusnya muncul di pikiran penulis. Tahun ini COVID-19 menjawab bahwa Hardiknas akan diperingat dengan cara lain yang jauh berbeda.
Sejak seminggu sebelum tanggal 2 Mei, ada banyak sekali pamflet webinar yang beredar untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional dalam bentuk diskusi dengan berbagai macam tema. Ini membuat senyum saya sedikit lebar. Ternyata COVID-19 membawa pelangi berbeda di tanggal 2 Mei 2020. Tidak ada rapat barisan fisik di terik matahari yang kadang hanya menjadi ajang selfie. Tahun ini Hardiknas diperingati dengan diskusi lintas generasi dan dimensi.
Siapkah sistem pedidikan kita mengarungi pembelajaran secara daring? Apa saja yang menjadi hambatan dalam proses tersebut?
Pendidikan dan komunikasi merupakan satu kesatuan. Dua istilah yang tidak bisa dipisahkan dan kita semua sepakat bahwa pendidikan memuat komunikasi di dalamnya, serta kegiatan belajar mengajar merupakan salah satu kegiatan komunikasi.
Lalu muncul seberapa efektifkah komunikasi yang terjalin dalam kegiatan pembelajaran daring selama pandemi COVID-19 ini?
Richard West dan Lynn H. Turner (2008) mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses sosial di mana tiap individu menggunakan simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan dan kehidupan sekitar mereka.
Jika ditarik lagi, kita garisbawahi proses sosial yang disebutkan oleh beliau di atas. Dalam proses sosial kegiatan pembelajaran (komunikasi) melibatkan manusia dan interaksinya. Lalu kegiatan komunikasi itu akan mendapatkan noise atau gangguan. Eisenberg (2010) menyebutkan setidaknya ada 4 gangguan dalam komunikasi yakni gangguan proses, gangguan fisik, gangguan semantik dan gangguan psikososial.
Di sini penulis hanya akan mengulas satu jenis gangguan saja dari empat gangguan di atas yakni ganguan psikososial, psikologi, dan sosial. Setidaknya salah satu atau kedua pelaku komunikasi yaitu pengirim dan penerima, dalam proses belajar mengajar ini adalah guru dan siswa, harus menghindari beberapa macam jenis gangguan dalam psikologi dan sosial.
Antos (2011) mengatakan ada tiga macam gangguan spesifik dalam proses komunikasi, yaitu ruang pengalaman, pembatasan diri serta jarak psikologi.
Ruang pengalaman guru dalam mengajar tentu tidak perlu diperdebatkan lagi. Menempuh pendidikan tinggi untuk menjadi guru merupakan suatu keharusan. Banyak jenis kurikulum dan model pembelajaran dipelajari. Magang menjadi guru pemula juga dilakukan demi mencapai tujuan utama yakni menjadi guru yang tidak hanya paham namun bisa mendidik.
Menarik jika dikaitkan dengan dengan kondisi sekarang ini dimana kegiatan belajar mengajar tidak lagi terjadi di dalam kelas untuk sementara waktu. Apakah sebelumnya kita dipersiapkan untuk menghadapi hal ini?
Berbagai macam diklat dilakoni, namun rasanya belum cukup untuk memiliki pengalaman dalam menyelenggarakan pendidikan secara daring. Apa kabar guru-guru senior yang “mohon maaf” nyolet android saja masih belum pas?
Selain itu menjadi pendidik di masa COVID-19 ini dengan metode daring apakah merupakan kehendak pribadi, yayasan, pemerintah atau negara? JIka tidak, maka masalah pembatasan diri akan masuk dengan mudahnya. Bagaimana tidak, kita “dipaksa” untuk terjun ke dunia maya. Bertemu melalui layar untuk satu proses pembelajaran yang selama ini terjadi dikelas.
Ada rasa kaget ketika kita diminta untuk terjun langung dalam proses pembelajaran yang tidak di dalam kelas. Selain itu dari keadaan tertekan tadi diharapkan tidak muncul perasaan minder (membatasi diri) dengan kenyataan. Jika itu terjadi, maka masalah kedua dalam komunikasi psikologi dan sosial akan muncul.
Lalu jarak psikologi, ini kemungkinan sangat sedikit sekali, masalah ini akan timbul jika sebelumnya guru dan kepala sekolah terdapat masalah pribadi ataupun kelompok, atau guru satu dengan guru yang lain. Jika demikian sudah terjadi masalah, dengan dipaksa masuk kedalam lingkungan baru yaitu daring, maka masalah akan semakin rumit dan sulit dikendalikan.
Untuk itu, senang sekali rasanya bisa berdiskusi banyak hal ditengah pandemi ini. Selaras dengan kegiatan peringatan hari pendidikan nasional, penulis berharap masalah komunikasi di atas tidak terjadi atau setidaknya dapat diminimalisir sebaik mungkin selama proses pembelajaran daring ini diterapkan. Kita belum tau kapan akan selesai dan keluar dari masa karantina pendidikan ini.
Selanjutnya, memang dirasa penting untuk kita semua mulai akrab dengan teknologi. Tidak bisa dipungkiri kemajuan teknologi ini akan semakin melesat jauh dan masuk ke ranah kegiatan belajar mengajar di sekolah. Semoga pandemi ini cepat selesai bumi kembali sehat dan pendidikan Indonesia mencapai tujuan sesuai undang-undang system pendidikan nasional yakni bertakwa dan memiliki akhlak mulia dan seterusnya.
Oleh: Haiyudi / Master of Education Khon Kaen University