Polisi Nangis Histeris di Ternate Bikin Kita Mikir Ulang soal Kesehatan Mental Seragam Coklat

M. Reza Sulaiman
Polisi Nangis Histeris di Ternate Bikin Kita Mikir Ulang soal Kesehatan Mental Seragam Coklat
Ilustrasi mobil polisi, polisi, seragam cokelat. (Photo by Madrosah Sunnah on Unsplash)

Sebuah video yang lagi bikin geger jagat maya datang dari Ternate. Bukan video lucu atau pamer kemewahan, tapi sebuah pemandangan yang dijamin bikin hati kita campur aduk antara kaget, kasihan, dan bingung. Seorang polisi berseragam lengkap, sosok yang biasanya kita lihat gagah di jalanan, terekam kamera warga sedang menangis histeris.

Di pinggir jalan yang ramai, ia meronta dan berteriak pilu menolak dijemput paksa oleh Propam.

"Tolong-tolong saya tara mau jemput," jeritnya, sebuah kalimat yang langsung viral dan membekas di ingatan banyak orang.

Momen ini sontak meruntuhkan citra polisi yang selama ini kita kenal. Ini bukan lagi soal penegakan disiplin, tapi sebuah drama kemanusiaan yang mempertontonkan sisi lain di balik seragam yang dihormati sekaligus ditakuti itu.

Katanya sih, Gara-gara Jarang Masuk Dinas

Usut punya usut, penjemputan paksa ini ada alasannya. Menurut keterangan resmi, oknum polisi yang merupakan anggota Satuan Sabhara Polda Maluku Utara ini punya masalah kedisiplinan. K

abarnya, ia sering tidak masuk kantor tanpa keterangan yang jelas. Tentu saja, ini adalah pelanggaran serius di institusi mana pun, apalagi di kepolisian.

Tapi, kalau masalahnya "cuma" soal absensi, kenapa reaksinya bisa sampai seheboh itu? Tangisan histeris dan perlawanan yang ia tunjukkan seolah jadi sinyal kuat kalau ada masalah lain yang jauh lebih berat sedang ia pikul. Ini bukan lagi tangisan anak bandel yang ketahuan bolos, ini seperti ledakan emosi yang sudah lama terpendam.

Saat Seragam Gagah Tak Lagi Bisa Menutupi Luka

Video ini seolah menampar kita dengan realita yang sering kita lupakan: polisi juga manusia. Kita terbiasa melihat mereka sebagai figur otoritas yang kuat, tegas, dan mungkin tanpa emosi. Tapi di balik seragam cokelat itu, ada seorang individu yang punya masalah, tekanan, dan titik rapuh, persis seperti kita semua.

Apalagi sebagai anggota Sabhara, tugas mereka bukan main-main. Mereka adalah garda terdepan yang harus selalu siaga menghadapi berbagai situasi di lapangan. Tekanan mental dan fisiknya pasti luar biasa. Bayangkan jika di saat yang sama, mereka juga harus berjuang melawan masalah pribadi, entah itu soal keluarga, ekonomi, atau kesehatan mental yang diam-diam menggerogoti.

Sayangnya, di lingkungan yang menuntut ketangguhan, mengakui bahwa diri sedang tidak baik-baik saja seringkali dianggap aib. Stigma "lemah" masih begitu kuat menempel. Akibatnya, banyak yang memilih memendam semuanya sendirian, menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dan mungkin, inilah yang kita saksikan di Ternate.

Kejadian ini adalah sebuah pengingat keras. Ini bukan tontonan untuk dijadikan bahan candaan atau sekadar hiburan viral sesaat. Ini adalah cerminan dari isu kesehatan mental yang bisa menyerang siapa saja, tanpa pandang profesi.

Melihat seorang aparat menangis histeris di depan publik seharusnya membuat kita berhenti sejenak dan berpikir. Mungkin sudah saatnya dukungan kesehatan mental tidak lagi jadi barang mewah, tapi jadi kebutuhan pokok, terutama bagi mereka yang bekerja di bawah tekanan tinggi setiap harinya.

Karena pada akhirnya, kekuatan sebuah seragam tidak ada artinya jika manusia di baliknya sedang hancur.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?