Relevansi antara agama dan negara adalah perbincangan yang selalu ramai di Indonesia. Tampaknya, ini terjadi karena relevansi antagonistis antara agama dan negara seiring terbukanya ruang kebebasan politik dan maraknya aksi terror yang mengatasnamakan agama untuk melawan negara.
Hal ini telah sampai pada titik klimaks, sehingga relevansi antagonistis bukan lagi antara agama dan negara melainkan mengerucut menjadi agama versus Pancasila. Oleh karena itu, menarik jika kita membahas diskursus pemikiran Pancasila tentang relevansi antara agama dan negara.
“Musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan,” ujar Prof. Yudian Wahyudi, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Membangun ikatan yang harmonis antara agama dan negara memang bukanlah perkara yang mudah. Terlebih jika agama mayoritas yang mendominasi dalam suatu negara tidak mampu membawa kemajuan. Dalam gerakan politik Indonesia, hubungan antara agama dan negara mengalami perkembangan dalam bentuk oposisi, alienasi, dan integrasi.
Ketiga tipologi ini telah mengalami dinamika yang progresif dan silih berganti. Terlebih di era reformasi, dimana hubungan antara agama dan negara saat ini mengalami “ketegangan” seakan tarik menarik dalam pusaran politik.
Perdebatan Masa Lalu
Pancasila lahir dari proses panjang perundingan dari para “The Founding Fathers” Indonesia. Para pemimpin bangsa yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bertugas memikirkan dan menyusun rencana mengenai segala hal yang harus disiapkan dalam upaya kemerdekaan Indonesia.
Perdebatan sengit tentang hubungan agama dengan negara, dapat kita jumpai pertama kali pada sidang BPUPKI saat membahas tentang dasar negara. Pada saat itu, Mohammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno mengeluarkan gagasannya tentang dasar negara. Hingga pada akhirnya, pada tanggal 01 Juni 1945, Soekarno mengenalkan istilah Pancasila.
Namun, gagasan Pancasila pada saat itu bukanlah Pancasila yang disepakati. Setelah terbentuk Panitia Sembilan, barulah pada tanggal 22 Juni 1945 disepakati dasar negara. Kesepakatan itu kita kenal dengan istilah Piagam Jakarta.
Salah satu poin penting relevansi antara agama dan negara dalam Piagam Jakarta terdapat pada sila pertama, dimana adanya pengaturan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya merupakan suatu kesepakatan para The Founding Fathers pada saat itu.
Pernah ada pertentangan mengenai isi sila pertama yang diprotes oleh masyarakat di bagian Timur Indonesia karena merasa kurang terwakili dengan sila yang hanya merujuk pada salah satu agama saja. Namun pada akhirnya, perubahan yang dilakukan berlangsung secara demokratis dan dapat diterima oleh banyak kalangan.
Pancasila sebagai Jalan Tengah
Dalam negara majemuk seperti Indonesia, memiliki dasar negara seperti Pancasila merupakan suatu anugerah tersendiri. Pancasila sebagai jalan tengah sekaligus pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Dengan adanya Pancasila sebagai jalan tengah, menegaskan posisi Indonesia sebagai negara yang religius meski bukan sebagai negara agama tertentu.
Proses panjang perumusan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia menunjukkan bagaimana kegigihan para pemimpin bangsa dahulu untuk memperjuangkan masa depan Indonesia. Pancasila harus dimaknai tidak hanya sebagai simbol belaka, namun juga mengamalkan sila-sila didalamnya.
Mirisnya, beberapa tahun terakhir mulai muncul permasalahan negeri yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Intoleransi yang memicu terjadinya disintegrasi bangsa, kerusuhan antar golongan, keputusan oleh pemerintah yang justru merugikan rakyat kecil, serta praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang semakin merajalela.
Upaya penanaman kecintaan kepada Pancasila haruslah ditanamkan kembali kepada generasi muda sejak dini sebagai proses filtrasi berbagai kebudayaan luar yang masuk ke Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila adalah nilai-nilai dan luhur bangsa yang berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran agama-agama yang ada di Indonesia, bersifat tetap, pasti, tidak berubah dan dapat diterima oleh setiap bangsa, dan hanya sistem Pancasila yang dapat mengangkat harkat-martabat kaum-kaum agamawan, cerdik-cendikia, dan seluruh rakyat Indonesia, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Pancasila adalah konsep murni bangsa Indonesia yang dipersembahkan untuk dunia, konseptata (sistem) berbangsa dan bernegara yang bisa membawa kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran dunia.
Sebagai penutup, saya berharap para pembaca lebih baik fokus untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara daripada mempertentangkan antara agama dan Pancasila, Oleh karena itu, tugas ini bukan hanya dari pemerintah saja, melainkan juga segenap rakyat Indonesia yang merindukan Pancasila tetap teguh sebagai dasar negara kita.
Oleh: Amsal Simanjuntak / Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung
Email: [email protected]