Perusahaan berbasis digital dan teknologi merasakan dampak positif dari adanya pandemi Covid-19, seperti Zoom, Netflix, Youtube, Google, Spotify ataupun aplikasi lainnya. Ini dikarenakan penggunaan aplikasi tersebut selama work from home meningkat drastis.
Dilansir dari Statqo Analytics, Rabu (01/04/2020) saat ini penggunaan aplikasi rapat secara daring (video conference) meningkat setiap minggunya. Minggu ke-4 bulan Maret terjadi peningkatan yang sangat signifikan oleh aplikasi Zoom.
Banyak masyarakat yang menggunakan aplikasi ini untuk melakukan rapat online. Penggunaan aplikasi ini, meningkat hingga 183% sejak 6-26 Maret 2020.
Aplikasi Zoom mencatatkan sebanyak 257,853 pengguna, di mana pada minggu sebelumnya 19 Maret 2020, aplikasi ini berada pada angka 91.030 orang.
Aplikasi video conference lainnya diikuti oleh Skype berada diposisi kedua yang mencatatkan 71.155 pengguna, dengan indikasi mengalami kenaikan sebesar 8,02 persen kenaikan dari pengguna sebelumnya yang mencapai 65.875 orang.
Di sisi lain, Netflix menjadi salah satu aplikasi pilihan dan alternatif yang dipilih masyarakat untuk memberikan hiburan dan menghilangkan rasa bosan selama di rumah aja.
Berdasarkan laporan Netflix, dalam kuartal pertama di tahun 2020, Netflix mengatakan sudah mendapat tambahan 15,8 juta subscriber baru secara global.
"Jumlah keanggotaan berbayar secara global tumbuh 15,8 juta di kuartal pertama tahun ini, atau meningkat lebih tinggi dari perkiraan sebesar 22,8 persen year-over-year, sehingga jumlah total anggota kami menjadi 183 juta," kata Juru Bicara Netflix kepada Kompas.com, Senin (11/5/2020).
Melansir dari Kompas.com, Netflix Wilayah Asia Pasifik tercatat menjadi penyumbang terbesar keuntungan Netflix selama pandemi Covid-19 ini. Dalam perhitungannya, Netflix mengaku mendapatkan pendapatan sebesar USD 5,8 juta selama kuartal pertama 2020. Keuntungan ini naik 29% jika dibandingkan dengan periode sama di tahun lalu.
Peningkatan akses aplikasi selama work from home sangat terlihat begitu pesat. Melihat peluang tersebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Aturan penagihan pajak perusahaan sejenis Netflix, Google dan Zoom ini adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1 Tahun 2020 dalam rangka menghadapi ancaman virus corona covid-19. Aturan ini berlaku 31 Maret 2020 dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) berlaku mulai 1 Juli 2020.
"Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau penyelenggara PMSE luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi yang signifikan dapat diberlakukan sebagai badan usaha tetap dan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh)," ujar Beleid tersebut seperti dikutip dari CNBC.com Rabu (1/4/2020).
Lalu pada pasal 7 disebutkan jika perusahaan internet tidak menyetor pajak PPN atau pajak transaksi elektronik maka Menteri Komunikasi dan Informatika dapat memutus akses perusahaan atas permintaan menteri keuangan. Pemutusan akses tersebut dilakukan setelah Kementerian Keuangan melayangkan surat teguran terlebih dahulu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan alasan pemerintah memasukkan soal pajak perusahaan internet ke dalam Perpu. Dalam kondisi wabah corona ini transaksi elektronik akan meningkat sehingga pemerintah perlu menjaga basis pajaknya.
Pemerintah mengamati bahwa kebijakan work from home membuat masyarakat harus mengakses banyak aplikasi untuk keberlangsungan aktivitas bekerja.
Banyak yang streaming video ketika mereka sedang bosan berdiam diri dirumah. Peraturan ini diberlakukan karena penerimaan pajak dalam beberapa tahun ke depan diprediksi tidak akan begitu menggembirakan. Hal itu tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) perubahan tahun 2020.
Target penerimaan pajak yang semula ditetapkan sebesar Rp1.600-an triliun (sebelum APBN Perubahan) diturunkan menjadi Rp1.200-an triliun (setelah APBN Perubahan). Selain itu, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengakomodasi defisit APBN boleh melampaui 3% dari produk domestik bruto (PDB).
Artinya, sejak awal sudah diprediksi bahwa penerimaan pajak dalam beberapa tahun kedepan akan tertekan. Padahal di sisi lain, pemerintah sedang jorjoran belanja dalam rangka penaganan pandemi. Jadilah, defisit APBN semakin melebar.
Untuk merespons situasi yang sedang berubah pengenaan pajak dalam kegiatan PMSE harus dioptimalkan agar dapat menjadi substitusi dari penerimaan pajak sektor lain yang sedang tertekan akibat pandemi.
Terlepas dari itu semua, pengenaan pajak dalam kegiatan PMSE ini tidak terlepas untuk menciptakan kesetaraan berusaha. Harapannya perusahaan digital tersebut patuh terhadap aturan yang diberikan oleh Pemerintah.
Oleh : Sulis Rizkyka Nurcahyani/Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi 2018, Universitas Negeri Jakarta