Kehidupan normal baru atau new normal ditengah pandemi Covid-19 ini sudah dimulai. New normal diawali dengan pelonggaran kebijakan pembatasan wilayah di daerah Jakarta.
Pemprov DKI Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masa transisi sejak 5 Juni 2020. Namun sejak masa transisi dilakukan, warga kembali beraktivitas dan operasional kendaraan mulai meningkat.
Dikutip dari Kompas.com, Senin (15/6/2020) kemacetan lalu lintas terlihat disejumlah ruas jalan di ibukota. Karena meningkatnya operasional kendaraan, polusi udara kembali menyelimuti langit Jakarta.
Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya mencatat ada 410 titik rawan kemacetan di wilayah Jabodetabek. Guna mengurai kemacetan tersebut, sebanyak 1.728 personel dikerahkan. Akibat kemacetan di sejumlah titik tersebut, kualitas udara di DKI Jakarta mulai berdampak.
Berdasarkan data yang diambil dari AirVisual IQAir.com, kualitas udara di Jakarta mencapai angka 131 US AQI. Dengan kualitas udara seperti tersebut, Jakarta menjadi kota kedua sebagai penyumbang polusi udara terbesar di dunia, Kota New Delhi di India berada diposisi pertama yang mencapai angka 142 US AQI.
Angka polusi yang terjadi di Jakarta saat ini, sangat berbeda jauh jika dibandingkan saat ibukota menerapkan PSBB pada April lalu. Kualitas udara di ibukota sempat menempati peringkat 38 dunia pada 22 April 2020 sebagai kota penyumbang polusi udara terbesar di dunia. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menetapkan untuk memperpanjang masa PSBB di Jakarta hingga akhir Juni nanti.
Kualitas udara di ibukota sempat membaik saat masa PSBB diberlakukan untuk mengurangi angka penyebaran Covid-19. Bahkan di negara China dan Italia, lockdown telah memberi dampak positif bagi lingkungan disekitar.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatatkan kualitas udara di Indonesia pada bulan Maret lalu, BMKG berkata bahwa kualita udaranya lebih bersih dibandingkan Maret 2019. Seiring berjalannya new normal baru saat ini, kondisi ini kembali meningkatkan polusi udara di Jakarta yang sebelumnya sudah menurun pada masa PSBB.
Kepala Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG, Indra Gustari memaparkan bahwa membaik atau memburuknya kualitas udara di suatu wilayah dapat dilihat dari dua faktor. "Pertama, perubahan di sumber polutannya dan kedua proses pengurangan polutan di udara," Senin (15/6/2020).
Untuk dapat mengetahui dampak dari faktor-faktor perubahan sumber polutannya, diperlukan kegiatan pengecekan peningkatan jumlah kendaraan lalu lintas di wilayah Jabodetabek dalam beberapa hari terakhir ini.
Meskipun demikian, meningkatnya kemacetan pada jalanan Jabodetabek dalam beberapa hari terakhir semenjak diberlakukannya new normal dalam masa transisi ini, memberitahukan adanya penambahan jumlah kendaraan yang signifikan.
"Selanjutnya itu akan meningkatkan konsentrasi polutan di udara atau menurunkan kualitas udara pada Jakarta dan sekitarnya," jelas Indra Gustari. Curah hujan yg masih tinggi pada daerah DKI Jakarta dan sekitarnya dalam athun baru 2020 memberi dampak dalam penurunan konsentrasi polutan di udara.
Sebaliknya, sejak akhir Mei 2020 hingga ketika ini, sebagian wilayah Jakarta & sekitarnya telah memasuki animo kemarau. Kondisi ini berimplikasi dalam terakumulasinya polutan di udara dalam Jabodetabek.
"Kondisi tersebut menunjukkan kualitas udara pada Jabodetabek menurun pada awal Juni dibandingkan beberapa beberapa minggu yang lalu adalah akibat berdasarkan faktor diatas," ungkapnya.
Saat ini, pemerintah mulai bergerak untuk menuju fase new normal setelah masa pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Fase new normal ini Ditandai dengan kembalinya aktivitas-aktivitas masyarakat seperti biasa.
Meskipun aktivitas masyarakat kembali normal, kegiatan-kegiatan tersebut dibatasi hanya 50% dari kapasitas ruang yang disediakan. Meski seakan-akan baik untuk perekonomian, tapi kondisi ini juga memiliki peluang untuk mengembalikan polusi udara seperti sebelumnya.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan-kebijakan yang komprehensif dari pemerintah pusat ataupun daerah untuk menjaga kualitas udara agar tetap terjaga dan sehat di masa new normal ini. Salah satunya adalah dengan mendorong penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Apabila kendaraan bermotor adalah salah satu penyumbang polusi udara terbesar, maka diperlukan kebijakan untuk kendaraan bermotor agar bahan bakar yang digunakan masyarakat itu tidak menghasilkan polusi yang besar. Inilah momentum yang tepat atas penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Sebagaimana yang sudah diketahui, bahan bakar dengan oktan rendah menghasilkan polutan yang lebih besar. Hal ini dikarenakan adanya pembakaran yang tidak sempurna, sehingga lebih banyak emisi gas buang Carbon Monoksida (CO) dan Hidrokarbon (HC) yang tidak ramah untuk lingkungan.
Pasalnya, teknologi otomotif yang ada di Indonesia sebagian besar sudah mengadopsi teknologi kendaraan berstandard Euro2/II sejak 1 Januari 2007 dan Euro3 khusus untuk sepeda motor sejak 1 Agustus 2013. Oleh karena itu, masyarakat membutuhkan bahan bakar yang memenuhi spesifikasi teknologi kendaraan berstandard tersebut.
Untuk itu, seharusnya Pemerintah sudah menghapuskan jenis bahan bakar yang memiliki nilai oktan rendah dan menggantikannya dengan spesifikasi yang sesuai dan lebih ramah lingkungan.
Ini dilakukan dengan tujuan agar masyarakat menggunakan bahan bakar yang lebih sesuai dengan kebutuhan teknologi kendaraan yang sudah didesain untuk memiliki emisi yang lebih rendah.
Mungkin itu salah satu kebijakan yang lebih bagus diterapkan agar kualitas udara di Jakarta tetap sehat meski aktivitas masyarakat kembali normal lagi seperti biasa.