Pandemi Covid-19 Sebabkan Utang Negara Meningkat?

Tri Apriyani | diahayu127_
Pandemi Covid-19 Sebabkan Utang Negara Meningkat?
Ilustrasi Surat Utang Negara [Shutterstock]

Pemerintah melakukan berbagai usaha agar dapat membantu masyarakat di tengah pandemi Covid-19 ini salah satunya yaitu memberikan bantuan berupa uang tunai dan juga bahan makanan pokok seperti beras, gula, minyak, dan lainnya. Diharapkan dengan adanya bantuan dari pemerintah ini dapat membantu meringankan beban masyarakat dan dapat dipergunakan dengan baik.

Selain itu juga pada Jumat (19/06/2020) lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim melalui pers nya menyampaikan pemerintah akan memberlakukan 5 skema keringanan uang kuliah selama pademi Covid-19 ini. Dengan ini diharapkan memberikan keringanan bagi orang tua dan mahasiswa sehingga tetap dapat menjalankan kuliah secara online.

Tidak hanya memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Pemerintah juga diharuskan memenuhi kebutuhan dalam bidang kesehatan yang menjadi garda terdepan dalam menangani pandemi ini.

Sehingga dapat dipastikan dalam menangani pandemi ini dapat dipastikan bahwa pemerintah menggunakan banyak dana sebagai pengeluaran untuk tetap menjamin kestabilan kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan defisit APBN karna pengeluaran terus berjalan sedangkan pendapatan menurun.

“APBN bisa defisit Rp1.028,5 triliun atau 6,27% dalam rangka memerangi dan mendorong ekonomi agar bertahan di tengah tekanan virus corona dan diharapkan bisa pulih lagi,” kata Sri Mulyani dalam konferensi video, Senin pertengahan Mei kemarin.

Pernyataan ini merupakan pembaruan dari pelebaran target defisit APBN 2020 pada April lalu yang sudah dinaikkan menjadi 5,07 persen terhadap PDB.

Kenaikan utang menjadi Rp 852,9 triliun itu mengikuti Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020. Pepres diteken Presiden Joko Widodo pada awal April setelah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Isinya memberikan keleluasaan pada pemerintah untuk mencapai defisit anggaran di atas 3 persen terhadap PDB. Namun kurang dari dua bulan, proyeksi pemerintah kembali berubah.

Kebutuhan anggaran untuk stimulus ekonomi meningkat dari semula Rp 405 triliun menjadi Rp 641 triliun. Pendapatan negara pun diperkirakan lebih rendah dari angka dalam perpres perubahan APBN. “Akibat dari begitu banyak insentif pajak dan pelemahan ekonomi di semua sektor,” ujarnya.

Dalam empat bulan pertama tahun ini, diketahui total utang pemerintah bertambah Rp 393,2 triliun menjadi Rp 5.172, 48 triliun. Posisi utang tersebut masih berpotensi membengkak. Apalagi, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan defisit pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun ini bisa melebar hingga 6,27 persen terhadap produk domestik bruto.

Pandemi COVID-19 akan membuat utang luar negeri (ULN) Indonesia makin membengkak. Menurut Ekonom Bank BNI Ryan Kiryanto pembiayaan penanganan COVID-19 membutuhkan biaya besar dan penyelesaian pandemi yang berlarut-larut membuat kebutuhan biaya semakin tinggi. Keperluan biaya besar tersebut berpotensi meningkatkan utang pemerintah, baik utang domestik maupun ULN.

"Dari berbagai skenario dan hitung-hitungan berbagai sumber, kebutuhan pembiayaan penangan COVID-19 semakin membesar," ujar Ryan, Sabtu (16/5/2020). Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) mencatat ULN Indonesia pada kuartal I 2020 mencapai USD389,3 miliar.

Angka ULN itu terdiri dari utang sektor publik yaitu pemerintah dan bank sentral sebesar USD183,8 miliar dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar USD205,5 miliar.

Meski demikian, kata Ryan, situasi ini tidak hanya dihadapi Indonesia sendiri, juga di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

"Hanya saja, berapa pun lonjakan utang pemerintah, tetap harus diupayakan jangan sampai melampaui ambang batas berstandar internasional, yakni 60% dari PDB. Barangkali batas atas 35% dari PDB masih bisa kita toleransi karena memang kebutuhannya yang mendesak," katanya mewanti-wanti.

Ryan menambahkan, pengelolaan utang juga harus seimbang dengan alokasi dan realokasi anggaran bersumber dari utang yang tepat: tepat guna, tepat waktu, tepat prioritas dan tepat sasaran, mengacu kepada prinsip-prinsip Good Government.

Jadi prinsip efisiensi dan efektivitas harus menjadi dasar utama pengelolaan utang pemerintah. "Tak kalah pentingnya adalah upaya atau strategi pemerintah untuk bisa menjaga tingkat penerimaan yang baik sehingga mampu memenuhi kewajiban saat utang jatuh tempo atau saat pembayaran angsuran utang tersebut," kata Ryan.

Dia menekankan, harus ada keseimbangan yang baik dan stabil antara sisi belanja bersumber dari utang dengan sisi penerimaan. Sehingga defisit APBN tidak melebar, tetapi sesuai dengan yang sudah dipatok oleh pemerintah.

Pelaksanaan kebijakan yang dilakukan pemerintah harus tepat sasaran itu penting mengingat tujuan untuk menambah utang adalah menjaga agar masyarakat tidak terdampak sepenuhnya dari Covid-19.

Tentu saja, munculnya pandemi ini menjadi ujian besar bagi para pemimpin agar keputusan yang dihasilkan bisa menjaga tingkat kewarasan masyarakat serta kegiatan ekonomi kembali menggeliat. Namun keputusan ini bisa menjadi bumerang di kemudian hari, terutama apabila pemerintah mengabaikan rambu-rambu dalam pengelolaan utang, dengan alasan demi kebaikan bersama.

Diah Ayu Kumalasari /Mahasiswi S1 Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak