Apakah kalian tau maskot dari kota Jakarta? Mungkin banyak yang sering melihat lambang ini namun tidak mengetahui bahwa lambang ini merupakan maskot dari kota Jakarta. Sebagian besar masyarakat mengira bahwa maskot kota Jakarta adalah Monas atau ondel-ondel. Hal ini dikarenakan menurunnya eksistensi flora dan fauna di kota Jakarta.
Pada tahun 1989, saat Gubernur DKI Jakarta dipimpin oleh Wiyogo Admodarminto, beliau mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 1796 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa elang bondol (Haliastur indus) dan salak Condet (Salacca zalacca) menjadi maskot DKI Jakarta.
Tanaman salak termasuk dalam suku Palmae (Arecaceae) yang tumbuh berumpun dan dipanen terus menerus. Tanaman ini juga termasuk golongan tumbuhan berumah dua (jantan atau betina), sehingga agar dapat berbuah harus menanamkan jenis jantan dan juga betina.
Berdasarkan kultivarnya, terdapat banyak jenis salak di Indonesia. Di antaranya terdapat salak Sidimpuan dari Sumatra Utara, salak Condet dari DKI Jakarta, salak Pondoh dari Jogjakarta, dan masih banyak lagi.
Saat ini keberadaan tanaman salak di Jakarta sudah jarang ditemui karena sebagian besar lahan sudah didirikan bangunan megah. Tetapi salak Condet masih dibudidayakan di Cagar Buah Condet yang terletak di Balekembang, Condet, Jakarta Timur. Cagar buah ini memiliki luas kurang lebih 3,5 hektar dan untuk mengunjungi cagar buah ini pun tidak dikenakan biaya.
Salak Condet memiliki ciri yaitu kulitnya bersisik agak besar, bewarna coklat kehitaman, daging buahnya putih kekuningan tebal, masir, dan kesat. Keistimewaan salak Condet adalah salak ini memiliki aroma yang wangi.
Berdasarkan hasil Survei Pertanian Hortikultura (SPH) yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian didapatkan bahwa produksi salak di DKI Jakarta tahun 2017-2019 menurun. Pada tahun 2017 produksi salak sebesar 4.054 kwintal.
Kemudian tahun 2018 produksi salak menurun menjadi 3.218 kwintal, 85 kwintal berasal dari Jakarta Selatan dan 3.133 kwintal dari Jakarta Timur. Tahun 2019 produksi salak sebesar 3.139 kwintal, 208 kwintal berasal dari Jakarta Selatan dan 2.931 kwintal dari Jakarta Timur. Dari sini dapat dilihat bahwa Jakarta Timur menghasilkan produksi salak terbanyak di DKI Jakarta. Hal ini karena sentra produksi salak di DKI Jakarta berada di Condet dan juga pengaruh dari adanya Cagar Buah Condet.
Penurunan produksi salak Condet ini disebabkan oleh banyak masyarakat setempat yang menjual tanahnya karena dirasa lebih menguntungan dibandingkan dengan menanam salak. Hal ini membuat luas lahan tanaman salak Condet semakin berkurang dan menyebabkan produksi salak Condet pun berkurang.
Kawasan Condet sangat berpeluang untuk dibudidayakan sehingga diperlukan pelestarian dan konservasi lingkungan agar lahannya tetap terjaga dan bermanfaat di masa yang akan datang, serta untuk meningkatkan kembali eksistensi flora di kota Jakarta.
Produksi salak di DKI Jakarta terus menurun, tetapi jika dilihat secara nasional produksi buah salak di Indonesia pada tahun 2018 menurun sebesar 6.01% dari 9.538.530 kwintal menjadi 8.965.040 kwintal tetapi tahun 2019 kembali meningkat sebesar 6.61% menjadi 9.557.630 kwintal. Provinsi Jawa Tengah berada diurutan pertama yang memproduksi salak terbanyak di Indonesia yaitu sekitar 50.53% dari total produksi salak nasional.
Masalah yang sering terjadi terkait produksi salak adalah sentra produksi salak masih terfokus pada daerah tertentu, skala usahanya sempit dan lahannya masih terpencar, penambahan luas tanaman salak sangat kecil, resiko tinggi terhadap hama dan penyakit tanaman, penyediaan dan penggunaan bibit berkualitas masih terbatas. Selain itu, ketidak pastian harga, berkurangnya tenaga kerja petani, dan belum optimalnya peran kelembagaan petani juga sering menjadi masalah dalam pembangunan hortikultura tanaman salak.
Berdasarkan Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Hortikultura tahun 2018, salah satu penyebab produksi salak di Indonesia menurun adalah kawasan salak 25 hektare di Kabupaten Magelang, di mana Jawa Tengah merupakan pemasok produksi salak terbesar di Indonesia, tidak dapat terealisasi karena benih salak bersertifikat tidak tersedia. Faktor lain yang berpengaruh besar terhadap tingkat produksi adalah perubahan iklim yang tidak menentu sehingga perlu dipelajari lebih lanjut pola tanam yang sesuai dengan kondisi musim.
Untuk meningkatkan produksi salak, diperlukan pengembangan kawasan tanaman salak karena faktor luas lahan berpengaruh terhadap peningkatan produksi salak. Pemerintah juga diharapkan dapat memberikan penyuluhan mengenai cara menanam dan merawat tanaman salak agar salak yang telah dipanen tidak cepat membusuk. Dari sisi petani juga harus selalu memerhatikan pola budidaya tanaman salaknya.
Kerja sama yang sinergis dan terintegrasi antara Kementerian Pertanian khususnya Direktorat Jenderal Hortikultura, BPS, para petani , dan pihak lainnya sangat diperlukan agar produksi salak dapat meningkat dan berdampak pula pada pembangunan ekonomi nasional dan juga meningkatkan kesejahteraan para petani.