Hukuman mati adalah hukuman ataupun vonis yang dijatuhkan pengadilan kepada seseorang yang merupakan bentuk hukuman terberat atas apa yang telah diperbuatnya. Hukuman mati di Indonesia dimasukan sebagai rumusan pidana pokok yang termuat pada pasal 10 KUHP .
Di dalam RKUHP hukuman mati ini masih tetap dimasukan dalam pidana pokok namun bersifat khusus yang diancamkan secara alternatif. Pembaruan hukuman mati ini di dalam RKUHP adalah menjadikan hukuman mati ini menjadi hukuman yang bersifat khusus hal ini termuat dalam pasal 67 RKUHP yang memuat penjelasan umum RKUHP menyatakan:
“Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jenis pidana mati adalah yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan”.
Dengan dicantumkannya hukuman mati dalam pasal tersendiri menunjukan bahwa jenis pidana ini benar- benar bersifat khusus. Menjawab pertanyaan ‘Apakah pembaharuan dalam konteks tersebut sudah tepat atau tidak?’ pendapat penulis tidak tepat, meskipun dinyatakan jenis hukuman ini bersifat khusus, tetapi jenis hukuman mati ini tidak memilik dasar yang kuat untuk tetap diberlakukan.
Perlu kita pahami bahwa tujuan dari pemidanaan adalah pembinaan bukan untuk pembalasan. Oleh karena itu, menurut penulis salah satu alasan hukuman mati dicantumkan kembali dalam RKUHP terlepas dari hukuman mati merupakan jalan tengah dari kaum retensionis dan kaum abolisionis adalah dipercayanya hukuman mati menimbulakan efek jera.
Padahal bahasan ini telah ditegaskan oleh PBB melalui kajian tentang hubungan hukuman mati (capital punishment) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 menciptakan kesimpulan bahwa hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup.
Adapun alasan penulis menanggap bahwa pembaharuan hukuman mati tidak tepat didasarkan oleh kemanusiaan dan realita penegakan hukum yang ada di Indonesia. Penolakan berdasarkan pada kemanusiaan:
1. Penghargaan Indonesia Terhadap HAM
Hukuman mati di Indonesia adalah bentuk dari pelanggaran HAM paling nyata di Indonesia di dalam pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 sudah diatur tegas bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Hak untuk ini adalah hak yang paling mendasar dari manusia yang tidak bisa dikurangi atau diambil oleh siapapun.
Lebih dari itu Indonesia telah ikut menandatangani deklarasi Universal HAM dan meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik. Hal itu jelas membuktikan bahwa Indonesia telah memberikan penghargaan kepada HAM secara khusus. Dengan adanya hukuman mati di Indonesia menjadi bentuk pengingkaran negara terhadap HAM yang tidak konstitusional. Hal tersebut juga menunjukan bahwa sistem politik hukum di Indonesia yang kontradiktif dengan tetap memberlakukan hukuman mati.
2. Penyiksaan
Dengan adanya hukuman mati yang merupakan turunan dari pelanggaran HAM adalah bentuk tindak penyiksaan psikologis karena rentang vonis hukuman mati dengan ekeskusinya berlangsung cukup lama. Menurut temuan ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), lebih dari 60 orang menunggu lebih dari 10 tahun waktu eksekusi. Tentunya hal itu merupakan tindakan tidak manusiawi dan kejam.
Perlu kita ketahui Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan mengadopsinya menjadi UU Anti Penyiksaan No.5/1998. Dalam pasal 86 RKUHP pada intinya menyatakan bahwa hukuman mati dapat ditunda dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dan jika terpidana selama masa percobaan menunjukan sikap baik maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
Dalam masa percobaan 10 tahun ini sifatnya tidak pasti karena bergantung dari berbagai alasan:
- reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
- terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
- kedudukan terpidana dalam penyertaan pidana tidak terlalu penting; dan
- ada alasan yang meringankan
Dengan ketentuan tersebut meninggalkan pandangan bahwa ketika sudah divonis hukuman matu tidak akan sulit terjadi perubahan.
Menurut penulis dengan adanya kata "dapat" tersebut mengimpilkasikan bahwa hukuman mati bisa ditunda dan juga bisa tidak ditunda. Selain itu, percobaan atau masa untuk menujukan kelakuan baik seharusnya sudah menjadi hak yang mengikat untuk semua yang divonis hukuman mati bukan berdasarkan keputusan hakim.
3. Tidak sesuai perkembangan peradaban
Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida.
Selanjutnya tujuan akhir dengan adanya hukman mati itu adalah untuk menghapus hukuman mati itu tersebut. Sedangkan di Indonesia hukuman mati yang paling banyak disumbangkan oleh kasus narkotika merupakan cerminan bahwa Indonesia lebih berfokus terhadap kriminalisasi daripada rehabilitasi.
Penolakan berdasarkan realita hukum di Indonesia:
1. Buruknya sistem peradilan di Indonesia
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak kasus proses peradilan yang tidak sesuai dengan asas- asas fair trial dalam penjatuhan hukuman mati yang seharusnya mengikuti asas peradilan yang jujur dan adil untuk menjamin peradilan tersebut bebas dari mafia peradilan.
Ombudsman RI menemukan maladmisitrasi atas eksekusi mati Humphrey warga negara Nigeria yang dipidana kasus narkoba. Seharusnya eksekusi tersebut ditunda karena Humphrey sedang mengajukan grasi.
Bedasarkan pasal 13 undang-undang nomor 22 tahun 2002 yang pada intinya menyatakan bahwa jika kuasa hukum atau keluarga korban mengajukan permohonan grasi, maka pidana mati tidak dapat dilaksankan sebelum keputusan presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.
Hal tersebut mencerminkan buruknya proses peradilan di Indonesia. Contoh lain yaitu kasus Mary jane yang mendapatkan fasilitas penerjemah yang tidak kompeten sehingga kesulitan menerjemahkan pernyataan dan pertanyaan hakim.
2. Sikap politik pemerintah
Pertama, sikap pemerintah yang sangat bias terhadap kalangan elit yang melakukan tindak kejahatan serius seperti korupsi dan pelanggaran HAM khususnya HAM berat.
Kedua, standar ganda pemerintah contoh dalam hal ini adalah kasus Etty Toyyib seorang TKW yang bekerja di Arab Saudi yang dihukum pidana mati karena didakwa menjadi penyebab kematian majikannya yaitu dengan meracuni, pemerintah melakukan banyak upaya untuk membebaskan Etty dari hukuman mati, namun hal itu berbeda dengan WNA Malaysia yang dihukum mati di Sumatara Utara karena penyelundupan narkoba.
Sumber:
- Penjelasan RKUHP
- Eddyono, S. W., Napitupulu, E. A., Kamilah, A. G., Rentjoko, A., & Cipta, L. H. (2015). Hukuman mati dalam R KUHP: jalan tengah yang meragukan. Institute for Criminal Justice Reform.hlm 19
- Matagang, T. (2017). EKSISTENSI HUKUMAN MATI DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. LEX ET SOCIETATIS, 5(3).hal 113
- Sari, E. O. (2009). Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (Dalam Perkara Nomor 176 K/Pid/1998) (Master's thesis).
- KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK. https://toolsfortransformation.net/wp-content/uploads/2017/05/UU_NO_12_2005_hak-hak-sipil-dan-politik.pdf
- Eddyono, S. W., Napitupulu, E. A., Kamilah, A. G., Rentjoko, A., & Cipta, L. H. (2015). Hukuman mati dalam R KUHP: jalan tengah yang meragukan. Institute for Criminal Justice Reform.hlm 10-11
- Primastika, W. (2019, October 11). Betapa Buruknya Vonis Hukuman Mati di Indonesia. Tirto.ID. Retrieved September 24, 2020, from https://tirto.id/betapa-buruknya-vonis-hukuman-mati-di-indonesia-ejxG