Kekerasan Struktural dalam Omnibus Law: UU Cipta Kerja

Tri Apriyani | Ferdian Ahya Al Putra
Kekerasan Struktural dalam Omnibus Law: UU Cipta Kerja
ilustrasi hukum, jaksa, pengadilan, vonis

Baru-baru ini situasi di Indonesia tengah memanas, bukan karena semakin meningkatnya kasus Covid-19 atau terjadinya bencana alam, melainkan karena pengesahan Omnibus Law oleh kelompok yang menyebut diri mereka sebagai “wakil rakyat”.

Salah satu regulasi dalam Omnibus Law yang menuai kontroversi dari berbagai pihak adalah Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. UU Cipta kerja dinilai terlalu memihak pada pengusaha, sehingga hal ini merugikan pekerja. Indonesia sejatinya telah memiliki Undang-Undang No. 13 tahun 2003 yang mengatur mengenai ketenagakerjaan.

UU Cipta Kerja mengubah pasal-pasal yang ada dalam UU Ketenagakerjaan yang meliputi, waktu istirahat dan cuti, jam kerja, upah, uang penggantian hak, status kerja, jaminan sosial, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan tenaga kerja asing (TKA).

Pasal-pasal yang diubah dikatakan memihak pengusaha karena mengurangi hak-hak yang seharusnya diterima pekerja. Dalam konteks waktu istirahat misalnya, pasal yang baru menghapus istirahat mingguan menjadi 1 hari dalam seminggu. Aturan ini merugikan pekerja karena dengan upah yang sama, waktu kerja pekerja justru semakin bertambah.

Kemudian terdapat penghapusan sanksi atau aturan yang mencegah pengusaha bertindak sewenang-wenang dalam UU Cipta Kerja. Misalnya terkait jaminan sosial, terdapat pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pengusaha yang tak mengikutsertakan pekerja yang terkena PHK karena usia pensiun pada program pensiun wajib memberikan uang pesangon sebesar 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali dan uang penggantian hak.

Jika hal tersebut tidak dipenuhi, maka pengusaha dapat terkena sanksi pidana. UU Cipta Kerja menghapus sanksi pidana tersebut. Tentu hal ini dapat menyebabkan tindakan pengusaha menjadi sewenang-wenang di masa depan, dan sekaligus ini berdampak pada hilangnya hak pekerja atas uang penggantian hak.

Pasal-pasal perubahan tersebut menghasilkan ketidakseimbangan dalam perlindungan hukum terhadap pekerja. Dewasa ini, persoalan seperti kemiskinan tidak terjadi begitu saja, melainkan ada faktor lain yang menyebabkan bahwa masyarakat sulit keluar dari jurang kemiskinan.

Kondisi ini adalah apa yang sering dikenal dengan istilah kekerasan struktural. Konsep mengenai kekerasan struktural diperkenalkan oleh seorang sosiolog dan ahli matematika asal Norwegia, Johan Galtung, yang melihat bahwa kekerasan struktural merujuk pada frasa “the absence of social justice”. Dengan kata lain, kekerasan stuktural terjadi ketika ketidakadilan sosial terjadi dimana-mana.

Ia menguraikan bahwa persoalan-persoalan seperti kemiskinan, ketidaksetaraan hak, dan lemahnya perlindungan serta penegakan hukum merupakan kondisi-kondisi yang diciptakan oleh mereka yang berada dalam struktur, terutama dalam struktur pemerintahan. UU Cipta kerja dalam konteks ini merupakan wujud dari ketidakadilan sosial yang diciptakan oleh DPR, yang merupakan Lembaga legislatif dalam pemerintahan.

Regulasi yang berat sebelah ibarat sebuah dinding yang besar dan kokoh, yang sulit dilalui oleh mereka yang tidak memiliki tangga yang memadai, sehingga masyarakat menengah ke bawah pada akhirnya terjebak di balik dinding tersebut. Galtung mengatakan bahwa cara untuk mengatasi kekerasan struktural ialah dengan menciptakan keadilan sosial, yang dalam analogi ini diibaratkan sebagai sebuah palu dan peralatan lain yang dapat digunakan untuk merobohkan dinding tersebut.

Pengesahan UU Cipta Kerja menimbulkan aksi unjuk rasa yang terjadi di berbagai tempat. Namun, banyak stigma buruk yang berkembang dalam masyarakat, bahwasanya aksi unjuk rasa selalu berujung anarkis dan kerusakan. Menurut Galtung stigma ini adalah pemikiran yang keliru, yang dikenal dengan istilah kekerasan kultural. Masalah muncul ketika masyarakat yang memiliki stigma tersebut tidak benar-benar memahami persoalan yang terjadi.

Poin penting yang harus digarisbawahi ialah munculnya berbagai aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa, pekerja, maupun masyarakat menandakan berjalannya proses demokrasi. Proses check and balance yang diutarakan oleh pemikir liberal sangat penting untuk mencegah negara supaya tidak menjadi perpanjangan tangan dari pemilik modal. Namun, yang menjadi pertanyaan, sejauh mana proses check and balance ini dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah?

Proses check and balance dinilai berhasil ketika proses tersebut mampu mendorong pemerintah untuk melakukan tindakan yang disuarakan oleh rakyat, yang dalam konteks ini merujuk pada upaya pencabutan UU Cipta Kerja. Namun, jika proses ini hanya menjadi dinamika semata, artinya tujuan dari proses ini belum berhasil.

Namun, proses ini penting dilakukan untuk menciptakan keadilan sosial demi tercapainya perdamaian positif sebagaimana yang diutarakan Galtung. Negara menurut pemikir liberal, harus menjamin kebebasan kebebasan dan hak individu.

Dalam konteks ini, sudah semestinya pemerintah memberikan ruang sebesar-besarnya untuk proses demokrasi, memberikan kesempatan bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi, serta mendengarkan aspirasi tersebut untuk selanjutnya ditindaklanjuti, bukan dibiarkan saja hingga berujung pada tindakan yang destruktif.

Kesimpulannya, persoalan mengenai UU Cipta Kerja ini bersifat struktural, sehingga cara yang paling tepat untuk mengatasinya ialah dengan menciptakan good governance melalui perbaikan struktur dalam pemerintahan itu sendiri.

Tindakan paling realistis untuk saat ini yang dapat dilakukan oleh pemerintah ialah dengan mengajak perwakilan dari rakyat dan aktivis untuk berunding bersama untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang muncul. Tindakan ini merupakan learning proses untuk mencapai suatu tujuan yang memberikan manfaat bersama, mengingat bahwa pemerintah merupakan kumpulan orang yang dipilih dan bekerja untuk kepentingan rakyat.

Referensi

  • Dunne, T., & Schmidt, B. C. (2001). In J. Baylis, & S. Smith, The Globalization of World Politic 2nd Edition. Oxford: Oxford University Press.
  • Galtung, J. (1969). Violence, Peace, and Peace Research. Journal of Peace Research, Vol. 6, No. 3, 167-191.
  • Galtung, J. (1990). Cultural Violence. Journal of Peace Research, Vol. 27, No. 3., 291-305.
  • Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
  • Undang-Undang Cipta kerja

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak