Cukupkah Jika Covid-19 Hanya Memperhatikan Kelompok Pra-Sejahtera?

Karinorz
Cukupkah Jika Covid-19 Hanya Memperhatikan Kelompok Pra-Sejahtera?
Assessing Vulnerable Group using Intersectionality Approach (dokumentasi Karina Oriza)

Baik di negara berkembang ataupun maju, masih memiliki persoalan terkait dengan ketimpangan gender. Sistem sosial di masa pra-bencana pandemi Covid-19 telah menggambarkan bagaimana ketimpangan gender terjadi secara masif pada berbagai tempat dan aspek kehidupan.

Pada aspek penggunaan waktu, baik lelaki maupun perempuan menghabiskan waktu sebanyak 11 jam per hari untuk kegiatan personal seperti tidur, makan, minum, kebersihan diri, dan bersolek. Namun, pekerjaan domestik tak berbayar (mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga) pada perempuan memangkas waktu 5,1 jam per hari, sedangkan bagi laki-laki hanya 2 jam per hari.

Pada aspek kesempatan kerja, partisipasi kerja perempuan Indonesia yakni sebanyak 51% dari seluruh jumlah wanita, sementara partisipasi kerja laki-laki telah mencapai 84% dari seluruh jumlah lelaki.

Tentu persoalan kesempatan kerja memiliki akar salah satunya yakni pada kesempatan untuk mengakses pendidikan, yang mana sejumlah 32,53% perempuan menamatkan pendidikan pada tingkat SMA ke atas, sementara sebanyak 37,70% laki-laki menamatkan pendidikan pada tingkat yang sama.

Pada masa bencana Covid-19 merebak, kondisi pra-bencana semakin diperunyam dengan diselenggarakannya berbagai kebijakan yang berdampak luas secara ekonomi dan sosial. Adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar berakibat tutupnya hotel, restoran, objek wisata, berkurangnya pengguna transportasi publik, hingga pemangkasan jumlah pekerja pada sebagian pabrik atau perkantoran.

Dinamika lapangan kerja utamanya akan lebih mengancam keberadaan pihak pekerja berstatus kontrak ataupun tidak tetap yang kemudian sangat mungkin untuk langsung mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara mendadak ataupun pemberhentian dini.

Selain itu, terdapat pula jenis-jenis pekerjaan di sektor informal yang terdampak seperti pekerjaan transportasi semi-publik (ojek daring), makanan dan minuman, ataupun pariwisata yang didominasi oleh pekerja informal, dan sebagian besar adalah perempuan.

Pandemi Covid-19 yang memiliki implikasi masif, bahkan 88 – 115 juta penduduk global dinyatakan akan menjadi miskin di tahun 2020, yang mana 8 juta di antaranya adalah masyarakat Indonesia. Pendekatan sapu jagad atau one size fit for all diberlakukan dalam penanganan dampak Covid-19, yang mana menjadikan pemberian bantuan berjalan kurang menyasar secara inklusif.

Berbagai aspek kehidupan menunjukkan terjadinya penurunan kualitas sebagai dampak atas Covid-19, termasuk aspek kehidupan bagi perempuan berbagai kalangan yang dapat dilihat dengan pendekatan interseksionalitas. Pendekatan interseksionalitas sendiri dapat didefinisikan sebagai interaksi antar tiap-tiap identitas di dalam satu golongan yang dianggap sebagai perbedaan dalam kehidupan individu.

Dengan kata lain, bukan hanya kelompok pra-sejahtera atau penyandang disabilitas atau perempuan semata, melainkan "irisan" dari berbagai kelompok rentan tersebutlah yang disebut sebagai pendekatan interseksionalitas. Pada masa Covid-19, perempuan mengalami dampak yang sangat signifikan. Dampak yang dirasakan serta kebutuhan yang diperlukan oleh perempuan pada tiap-tiap golongannya bisa berbeda-beda.

Dengan adanya pandemi Covid-19, berapa pekerja disabilitas kehilangan kesempatannya untuk bekerja, dan 67% di antaranya adalah perempuan. Sebanyak 95% kematian terjadi pada usia lebih dari 60 tahun, yang mana perempuan lansia memiliki potensi dua kali lebih besar dalam mengalami tindakan kekerasa, penelantara, dan diskriminasi karena statusnya sebagai perempuan dan terbatasnya akses yang bisa diraih seiring usianya yang sudah lanjut.

Di tahun 2018, dari total 15,7% perempuan sebagai kepala keluarga sebanyak 42,57% perempuan sebagai kepala keluarga tidak memiliki ijazah mengalami kesulitan secara ekonomi.

Beban pengeluaran bagi perempuan sebagai kepala keluarga pasti akan lebih tinggi daripada masa pra-bencana Covid-19 sehingga bisa saja terdapat perempuan sebagai kepala keluarga yang tidak tergolong pra-sejahtera namun memiliki pengeluaran tambahan untuk penghidupan keluarganya sehingga juga dianggap perlu untuk diperhatikan oleh pemerintah, misalkan diikutsertakan pada Program Keluarga Harapan (PKH). Namun, sayangnya program PKH masih belum meyediakan kuota tersendiri untuk wanita sebagai kepala keluarga.

Selain itu, pandemi korona juga membuat perempuan penyandang disabilitas mengalami  penurunan pemasukan hingga 80% dan juga mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dari pihak keluarganya. Kesulitan ekonomi menjadi penyulut emosi yang kemudian dilampiaskan suami kepada istrinya yang menyandang disabilitas.

Di sisi lain, bentuk kekerasan lain yang tanpa sadar diterima penyintas adalah kekerasan verbal yang mana justru dilakukan oleh kalangan keluarga penyandang disabilitas itu sendiri.

Perempuan lansia juga patut dijadikan salah satu yang diprioritaskan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan bahwa isu kekerasan, penelantaran, dan diskriminasi ganda terhadap lansia perempuan sering diabaikan dan cenderung meningkat.

Namun, pemerintah telah mengambil inisiatif salah satunya dengan menerapkan Panduan Perlindungan Lanjut Usia Berperspektif Gender pada Masa Covid-19 sebagai acuan berbagai pihak dalam melindungan Lansia di masa Covid-19, meskipun perlu pengawasan lebih lanjut terkait penerapannya.

Anak-anak, remaja perempuan dan laki-laki, lansia penyandang disabilitas, penyintas masalah kesehatan jiwa berisiko lebih tinggi dalam hal kekerasan baik verbal maupun fisik, terlebih jika menghuni rumah yang sama dengan pelaku tindak kekerasan.

Namun, hal ini semakin menjadi rentan jika melihat bahwa kesempatan yang mereka miliki dalam meminta bantuan semakin kecil karena akses daring maupun luring yang tertutup, baik kepada lembaga terkait maupun kepada warga sekitar lantaran pembatasan penggunaan gawai atau memang lokasi yang tidak memungkinkan.

WHO (2020) menguatkan bahwa di berbagai negara terdampak Covid-19, catatan-catatan dari saluran bantuan, polisi, dan penyedia jasa lainnya mengindikasikan peningkatan pelaporan kasus kekerasan domestik yang utamanya terjadi pada anak dan pasangan perempuan hingga 10-50%.

Kondisi spasial permukiman dengan kepadatan penduduk tinggi dengan minimnya ruang publik ataupun akses penghuni rumah ke ruang publik (Kasang, 2014), serta minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) (Bogar dan Beyer, 2015), akan meningkatkan kemungkinan terjadinya tindak kekerasan.

WHO menyarankan dilakukannya beberapa program oleh para pembuat kebijakan publik sebagai upaya perlindungan terhadap kelompok rentan penyintas kekerasan selama pagebluk ini. Program tersebut berupa (1) perlindungan dan pembaruan pendataan direktori dan jalur pelayanan rujukan, (2) prioritasisasi kunjungan ke rumah dan kontak dengan populasi rentan, (3) pencegahan melalui pendampaingan terhadap pengguna tembakau, alkohol, dan obat-obatan, serta (4) koordinasi dengan lembaga non-pemerintah dan institusi-institusi terkait.

Dengan demikian, jika pendekatan sapu jagad ditujukan hanya kepada kelompok pra-sejahtera, maka akan berdampak pada semakin tertinggalnya dan terlantarnya kehidupan perempuan kelompok selain pra-sejahtera seperti perempuan sebagai kepala keluarga, perempuan disabilitas, perempuan lansia, dan perempuan hamil yang tinggal sendiri.

Hal ini pun jika luput untuk diatasi bisa saja termasuk menjadi salah satu gelombang kemiskinan baru yang akan menyerang akibat Covid-19. Oleh karenanya, dalam perumusan solusi, termasuk salah satunya pemberian bantuan akan lebih baik jika menerapkan pendekatan interseksionalitas terlebih dahulu sebelum menentukan target penerima sehingga dapat lebih efektif, efisien, tepat sasaran, dan inklusif untuk berbagai golongan yang memang membutuhkan.

Daftar Pustaka

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak