Beberapa tahun silam saat saya masih aktif sebagai mahasiswa pernah dalam sebuah diskusi ringan dengan beberapa mahasiswa baru ada sebuah pertanyaan tentang pemilihan pemimpin mahasiswa, kebetulan saat itu saya berencana menyalonkan diri bersama beberapa calon-calon yang lain.
Saat itu memang mendekati masa-masa musyawarah mahasiswa tingkat Universitas dimana dalam kegiatan tersebut ada sebuah pemilihan Presiden mahasiswa atau Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa.
Saat itu mahasiswa baru itu mencoba menggali tanggapan saya terkait kualifikasi beberapa calon dengan santai saya menyampaikan tanggapan saya terkait kelebihan dari calon-calon yang ada, kekuatan tim hingga, kelebihan program mereka. Dan sebagai penutup saya sampaikan beragam kelemahan saya dan problem yang saya hadapi.
Mahasiswa baru itu kaget, kenapa saya malah banyak mengulas kelebihan mereka yang notabenenya adalah lawan saya di pemilihan nanti? Di tengah kebingungan mereka saya jelaskan pemilihan nanti adalah pesta demokrasi jadi kita harus gembira, jika kita sibuk membuat propaganda menjatuhkan lawan maka pesta demokrasi akan terasa mencekam, dan isinya hanya perang opini menjatuhkan lawan, itu tidak sehat.
Tapi kan ini adalah pembelajaran kita kedepan dalam berkompetisi dipesta demokrasi yang sesungguhnya entah sebagai calon atau pengusung, kita harus memahami peta konflik, dan bagaimana kita kita bisa mengelola konflik itu khususnya Kelemahan lawan untuk memenangkan kontestasi ? Mahasiswa itu terus beragumen.
Saya tersenyum simpul dan dengan santai menjawab justru seharusnya saat kita jadi mahasiswa harus bisa berdemokrasi dengan gembira, belajar teori konflik dan manajemen konflik itu perlu tapi alangkah tepatnya jika kita tempatkan pada ranah bagaimana membuat kita dan tim kita lebih baik, dengan cara penguatan program, penguatan visi misi serta upaya meyakinkan pemilih kita dan program kita adalah solusi yang tepat dalam masalah yang terjadi selama ini. Kita harus berkompetisi dengan gagasan bukan hasutan dan caci maki.
Akhirnya diskusipun selesai saat itu dan kita sepakat bahwa pesta demokrasi adalah acara riang gembira, sebuah pesta adu gagasan, adu visi dan misi serta adu program.
Jika pemilihan umum (pemilu), adalah sebuah pesta demokrasi, lantas bagaimana kita seharusnya merayakannya? Harusnya Pesta itu soal kegembiraan. Soal sukacita; soal mempererat persaudaraan Soal tawa, soal senyum. Soal berpelukan, soal bergandengan tangan bersama-sama. Tapi kan jadi lucu rasanya jika pesta itu malah soal ricuh, caci maki, fitnah, apalagi sampai tumpah darah. Harusnya pesta kegembiraan tapi orang-orang malah menebar kebencian.
Lebih dari sekedar pesta menebar kebencian dengan menelanjangi kekurangan lawan kadang pemilu lebih seperti pesta yang bisa menuai rasa sakit, duka, tangis, pedih, dendam, dan iri hati. Dan mirisnya tatkala pesta sudah usaipun residu dari kebencian itu masih ada dan kadang terus dipupuk sedemikian rupa.
Melihat realitas pemilu saat ini entah pilkada, pilpres, pilgub hingga pilbub dan pilwakot melihat pikiran liar saya menyimpulkan jangan-jangan pesta demokrasi cenderung ricuh atau dekat dengan dendam, iri hati, menebar fitnah, ujaran kebencian hingga bentrok antar pendukung. Jadi wajar jika saya bertanya, apakah pesta demokrasi hanya tentang siapa melawan siapa, siapa menyerang siapa, siapa memfitnah siapa, siapa ribut dengan siapa hingga siapa mendapatkan apa ? Terus kemana makna pesta demokrasi sebenarnya?.
Kita tahu saat ini media sosial menjadi etalasi dari kehidupan nyata begitu juga dengan pemilu dimana para pelakunya memanfaatkan ruang dunia digital ini sebagai medan perang. Sangat mudah kita temui di media sosial, pandemi kata kotor dan saling fitnah memanas.
Perang kata antara kubu Paslon A melawan kubu Paslon B tak mampu dibendung massa dan pihak keamanan maya. Unggahan video bertajuk memojokkan, meme fitnah para paslon, dan stiker kampanye yang berisi ejekan mengular di latar beranda media sosial. Sepintas, itulah profil pesta demokrasi di Indonesia. Sangat miris bukan?
Mari kita kembalikan makna pesta demokrasi pada makna sebenarnya yaitu sebuah pesta riang gembira, pesta rakyat yang berdaulat dalam rangka menyiapkan perubahan akan nasibnya menuju era sejahtera sesuai impian rakyat. Pesta demokrasi adalah pesta dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sebuah pesta yang dihiasi oleh ajang adu gagasan, ajang adu ide, adu konsep serta solusi bagi permasalahan masyarakat.
Pesta demokrasi adalah momen gembira ria, di mana masyarakat menyiapkan sebuah pesta gagasan bagi siapa saja peserta pesta yang siap mengabdikan sebagian hingga sepenuh hidupnya untuk masyarakat. Tentunya ide dan gagasan yanf terbaiklah yang akan menang. Pesta gagasan ini harusnya menuntut setiap pesrta fokus oada ide dan konsep yang solutif bagi masyarakat.
Realitas pemilu di negeri ini semakin kesini menggambarkan sebuah pesta perebutan kekuasaan hingga perebutan hal-hal yang lebih cenderung upaya memanfaatkan kepentingan masyarakat untuk kepentingan pribadi. Jadi sungguh hal lumrah jika masyarakat selalu di suguhi oleh sebuah pesta pemilihan yang saling serang, saling caci, saling membunuh karakter.
Visi misi, adu gagasan, adu ide hanyalah sebuah pelengkap formalitas semata mereka hanya fokus bagaimana menang dan bagaimana menjatuhkan lawan sangat minim program yang solutif buat permasalahan masyarakat. Melihat realitas tersebut maka wajar jika timbul dalam benak masyarakat kemana makna pesta demokrasi sebenarnya ? Masihkah pesta ini untuk rakyat ?