Konflik merupakan gejala masyarakat yang melekat dalam kehidupan, sehingga timbulnya suatu pertentangan secara langsung dan sadar antara kelompok satu dan yang lain sangat mungkin terjadi untuk mendapatkan cita-cita yang mereka inginkan.
Menurut Yesmil dan Adang(2013:169) agar mendapatkan hal-hal yang baik suatu pihak merasa memiliki hak untuk mendapatkan hal tersebut, maka kemungkinan besar akan terjadi suatu pertikaian atau konflik, selalu terjadi perebutan atas kekayaan, kekuasaan, kedudukan, dan seterusnya, jadi suatu pihak berusaha akan menghancurkan pihak yang lain.
Urutan perselisihan antara Amerika Serikat dan Iran kembali memanas setelah terjadinya pengiriman rudal atas perintah Presiden Trump untuk menyasar Jendral Qasim Soeilemani. Sebelumnya hubungan ini juga diusik oleh serangan rudal Iran yang membunuh sekitar 64 tentara AS pada jumat, 31 Januari 2020. Atas urutan kejadian tersebut timbulah reaksi publik yang mengkhawatirkan terjadinya Perang Dunia ke 3 dan perlu diketahui bahwa kedua negara ini memiliki reaktor nuklir yang dapat digunakan sebagai senjata pemusnah masal.
Hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan Iran dalam hal Politik telah terjalin sejak lama yaitu pada tahun 1957 dimana Iran pada waktu itu masih dipimpin oleh Shah Mohammed Reza Pahlevi yang sangat pro terhadap negara barat dan sekutunya. Tujuan utama Amerika Serikat menancapkan hagemoninya di kawasan Timur tengah karena pada wilayah tersebut sangat kaya akan hasil minyak dan salah satunya yaitu Iran.
Untuk Iran hubungan diplomasi yang dibangun dengan Amerika Serikat tidak hanya sekedar membangun hubungan yang baik dengan Amerika Serikat saja, tetapi juga ingin mengambil hati para sekutunya yang pada saat itu sangat berjaya dan berperan penting dalam perekonomian dunia, dikarenakan Amerika Serikat dan para sekutunya merupakan pemenang dari PD2 yang menjadi sebagai batu loncatan kemajuan dalam bidang teknologi maupun persenjataan.. Ada beberapa tahapan hubungan kerja sama politik antara Amerika Serikat dengan Iran, khususnya dalam bidang sipil dan pertahanan (Nuklir).
Pada tahun 1957 pertama kalinya Iran menandatangani perjanjian kerja sama energi nuklir untuk keperluan politik dengan Amerika Serikat. Inti dari penandatanganan kerjasama yang dituangkan dalam perjanjian antara Amerika Serikat dan Iran adalah untuk memberikan fasilitas nuklir untuk Iran dengan daya sebesar 5 megawaatt sebagai bentuk dukungan Amerika Serikat terhadap peneleitian Iran, hingga saat ini fasilitas tersebut dinamai sebagai Tehran Research Reactor (Hass, 2006:1).
Hasil kerjasama yang mengahasilkan pusat penelitian nuklir yang didanai Amerika Serikat menjadikan dirinya sebagai cikal bakal berdirinya organisasi yang meneliti sumber daya atom pertama di Iran yang disebut sebagai AEOI (Atomic Energy Organization of Iran) dengan tujuan untuk mencari sumber energi alternatif untuk menghilangkan ketergantungan berlebih Iran terhadap sumber daya alam utama mereka yaitu minyak bumi yang merupakan sumber energi fosil dan tidak bisa diperbaharui.
Kemudian pada tanggal 1 juli 1968 Iran menandatangani perjanjian Non-Proliferation Nuclear atau yang dikenal dengan NPT (Non Proliferation Treaty). Kerja sama ini di perpanjang oleh Amerika Serikat dalam jangka waktu 10 tahun kedepan, yang terhitung sejak ditandatanganinya isi amandemen tersebut pada 13 maret 1969 (Pratama, 1975:186).
Pada tahun 1970 Iran melanjutkan kerja sama dengan Amerika Serikat yaitu perjanjian NPT. Setelah jangka waktu 2 tahun Iran baru mengeluarkan pernyataan resmi yang isinya bahwa Iran dalam jangka waktu 10 tahun kedepan terhitung sejak 1972 akan mulai membangun fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Pembangkit listrik tenaga nuklir tersebut nantinya akan dimanfaatkan sebagai energi alternatif pengganti konsumsi bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik. Kedekatan Iran dengan Amerika Serikat serta kebijakan dan gaya kepemimpinan yang diktator mulai menyadarkan masyarakat Iran mengenai perlu adanya perubahan di Iran untuk menggantikan Reza Phalevi.
Keinginan rakyat ini mulai mencapai puncaknya pada Februari 1979 dimana terjadi pergolakan di Iran dan menggulingkan rezim Pahlevi yang kemudian dikenal dengan Revolusi Islam Iran. Gerakan revolusi ini dipimpin oleh Ayatullah Khomeini yang mengubah bentuk negara menjadi Republik Islam Iran dengan bentuk pemerintahan yang demokrasi. Gaya kepemimpinan Ayatullah Khomeini yang sangat kontra terhadap barat, membuat Iran tidak melakukan kerja sama lagi dengan Amerika Serikat dalam segala hal (Pratama, 1992:140)
Sikap menentang yang dilontarkan Pemrintahan Iran kepada dunia barat merembet kepada kehancuran perekonomian dan infrastruktur yang dimiliki Iran, program pengembangan nuklir dihentikan sementara oleh Iran disebabkan krisis ekonomi yang melanda Iran diakbiatkan oleh perang Iran-Irak.
Pemerintahan Iran yang saat itu dipimpin oleh Ayatollah Khomeni menginginkan program nuklir dihidupkan kembali secara diam-diam dan mencoba membujuk jerman untuk ikut serta dalam pembangunan reaktor nuklir milik mereka yang hancur dibom selama Perang Iran- Irak.
Reaktor nuklir memiliki peran vital dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat Iran terutama dalam konsumsi sumber daya listrik, dimana kebanyakan dari rumah tangga menggunakan jasa dari pembangkit listrik tenaga nuklir untuk kebetuhan sehari- hari.
Melihat peningkatan aktifitas kerja sama dan pengembangan program nuklir Iran, Amerika Serikat memberikan respon dengan mengajak Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi bagi Iran. Bill Clinton yang pada saat itu menjabat sebagai presiden Amerika Serikat menginstruksikan embargo perdagangan dan melarang para investor Amerika Serikat untuk menginvestasikan uangnya di Iran (Simond, 2015:2).
Pergerakan kebijakan nuklir Iran sangat ditentang oleh negara Uni Eropa dikarenakan dianggap berbahaya dan akan sangat mengganggu stabilitas keamanan dunia, serta Uni Eropa khawatir bahwa Iran tidak akan bekerjasama dalam hal pengeksporan minyak bumi yang mereka miliki dikarenakan mereka lebih dekat dengan negara-negara diluar anggota Uni Eropa.
Dampak dari perkembangan kemampuan Iran dalam mengolah uranium membuat Iran mendapat kecaman keras dari presiden George W. Bush. Presiden Bush mengancam akan menyerang Iran dengan kekuatan militer jika Iran tidak mau menghentikan pengembangan nuklirnya.
Langkah Amerika Serikat untuk membatasi perekonomian Iran dibuktikan dengan ajakan terhadap negara-negara Eropa dan PBB untuk memperketat sanksi serta pergerakan Iran dalam sektor nuklir dan kebijakan ekspor minyak mereka yang diharapkan ditolak oleh negara Eropa. Melihat dampak sanksi embargo yang mulai mempengaruhi perekonomian Iran secara drastis membuat Iran mulai membuka dialog diplomasi untuk program nuklirnya yang kemudian pada 7 November 2003 setelah melewati 22 jam negosiasi, Iran akhirnya menyetujui untuk menghentikan sementara aktivitas pengembangan nuklirnya (Elaine, 2004:4)
Selanjutnya pada periode pertama Obama menjabat sebagai presiden Amerika Serikat, Obama menginstruksikan secara rahasia untuk meningkatkan serangan cyber terhadap sistem komputer yang digunakan Iran pada fasilitas utama pengayaan nuklir Iran. dimana hal ini merupakan pertama kalinya bagi Amerika Serikat untuk melakukan serangan cyber secara berkelanjutan terhitung dari jumlah aksi serangan yang dilakukan. Cyberattack ini diberi nama Olympic Games oleh administrasi Bush meskipun pada 2010 kegiatan serangan cyber yang di lakukan Amerika Serikat mampu dideteksi Iran dan mempublikasikannya lewat internet. Pada 19 juli 2008, dimana Iran tetap bersikeras untuk menjalankan program nuklirnya.
Penurunan intensitas konflik antara Iran dan Amerika Serikat pernah terjadi pada masa Presiden Iran Hasan Rouhani yang menelpon Barack Obama setelah sekitar 30 tahun kedua negara tersebut yang mana ini merupakan komunikasi pertama yang terjalin setelah meregangnya hubungan bilateral kedua negara. Hubugan baik tersebut berlanjut dan memberikan sinyal positif bahwa Iran akan membuka dialog untuk menyelesaikan permasalahan nuklirnya.