Sejak pertama kali kasus penderita COVID-19 ditemukan di Indonesia, pasar modal Indonesia porak-poranda. Para regulator berupaya keras dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, tapi tetap saja tak mampu menahan keruntuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Kondisi IHSG pada awal kemunculan pandemi di Indonesia memberikan dampak besar terhadap keadaan pasar modal di Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) makin turun dalam. IHSG merosot ke posisi 4.895,74 pada perdagangan Kamis 12 maret 2020.
Dilansir dari kontan.co.id, Analis Sucor Sekuritas Hendriko Gani mengatakan, sentimen penurunan IHSG tersebut masih disebabkan kepanikan investor atas merebaknya virus corona. Terlebih lagi, pada hari ini, World Health Organization (WHO) secara resmi menetapkan virus corona sebagai pandemi global.
"IHSG sangat merespons berita-berita negatif terkait virus corona. Misalnya saja waktu kasus pertama kematian pasien corona di Indonesia, IHSG juga langsung drop," kata dia saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (12/3).
Untuk beberapa hari ke depan, Hendriko melihat, pergerakan IHSG masih akan dipengaruhi sentimen merebaknya pandemi ini. "Pasar saham dalam negeri juga masih menunggu respons atas langkah pemerintah Amerika Serikat yang akan mengeluarkan kebijakan dalam melawan virus corona," ucap dia.
Selebihnya, pergerakan IHSG akan dipengaruhi kondisi bursa regional dan global. Oleh karena itu, untuk Jumat (13/3), Hendriko memprediksi IHSG masih akan bergerak melemah dengan support di level 4.800 dan resistance di 5.000.
BI menerapkan kebijakan trading halt, yaitu menahan setiap transaksi di pasar modal selama 30 menit, selain trading halt, BEI dan OJK juga menerapkan berbagai kebijakan untuk menahan kepanikan pasar. Seperti mengubah aturan batas bawah auto rejection saham dari 10% menjadi 7%.
Itu artinya sebuah saham yang sudah turun 7% dalam sehari tak bisa diperdagangkan lagi. Kebijakan ini untuk menahan gelombang aksi jual saham yang didorong oleh kepanikan pasar.
Selain itu ada juga kebijakan relaksasi buyback atau membeli kembali saham oleh perusahaan atau emitennya sendiri. Mereka boleh melakukan buyback tanpa harus melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terlebih dahulu. Tujuannya agar emiten bisa menyelamatkan sahamnya sendiri di pasar modal.
Tapi itu semua seakan belum ampuh untuk menyembuhkan pasar modal dari pengaruh COVID-19. Pada 24 Maret 2020 IHSG sudah menyentuh level 3.937. Padahal di awal tahun IHSG berada di level 6.300-an. Turun begitu jauh. Bayangkan, berapa banyak saham yang tumbang.
Di quartal 3 tahun 2020 setelah melaui berbagai gejolak dan perdebatan, banyak kebijakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang mengakibatkan pasar modal di Indonesia perlahan mulai membaik keadaannya.
Setelah sempat turun ke level 3.937 , Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya menembus level 6.000 pada sesi pertama hari ini, Senin (14/12/2020).
Kinerja IHSG yang menembus level 6.000 tentu saja menjadi kabar gembira karena sejak Februari 2020 indeks sudah jatuh di bawah level psikologis. Bahkan, akibat pandemi, IHSG pernah berada di titik nadir 3.937 pada akhir Maret 2020.
Nah, dalam periode enam bulan terakhir, IHSG sudah naik 21,45 persen. Kalau dihitung dari titik terendah pada akhir Maret 2020, posisi IHSG saat ini sudah naik 52 persen.
Sebanyak 271 saham menguat, 183 saham melemah, dan 149 saham stagnan hingga sesi pertama. Berdasarkan nilai transaksi, saham PT Bank BRI Syariah Tbk. (BRIS) menjadi saham yang paling aktif diperdagangkan.
Dilansir dari bisnis.com, Saham BRIS diperdagangkan sebanyak 426,9 juta lembar dengan nilai transaksi Rp838,6 miliar. Saham BRIS melonjak 12,04 persen ke posisi 2.000.
Selain BRIS, saham PT Bank Central Asia Tbk. dan PT Aneka Tambang Tbk. juga turut menghijau dan diburu investor. Saham BBCA naik 1,11 persen ke level 34.050 dan ditransaksikan senilai Rp568,4 miliar.
Setali tiga uang, saham ANTM juga naik 5,17 persen ke posisi 1.525. Saham ANTM diperdagangkan sebanyak 283 juta lembar dengan nilai transaksi Rp427,4 miliar.
Secara umum, total transaksi saham di sesi pertama mencapai 16,04 miliar lembar dengan nilai transaksi Rp10,29 triliun. Investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih atau net sell senilai Rp148,84 miliar di seluruh pasar.
Disisi lain, jumlah investor di Indonesia selama pandemic juga mengalami kenaikan, hal ini merupakan salah satu factor penyosong ihsg Kembali ke tingkat 6000 selain akibat kebijakan pemerintah serta kondisi pandemi yang sedang berlangsung.
Dilansir dari kompas.com, Pertumbuhan jumlah investor ritel pasar modal di tengah pandemi melesat mencapai 4,16 juta dari posisi tahun 2019 yang sebanyak 2,48 juta. Kendati demikian, jumlah investor Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara lainnya. Direktur Eksekutif Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia, Donny Hutabarat mengatakan, dengan jumlah penduduk Indonesia usia produktif sebanyak 189 juta dan jumlah investor ritel di pasar modal 4,16 juta, maka rasionya hanya sekitar 2,2 persen.
Rasio keterlibatan penduduk Indonesia yang berinvestasi di pasar modal kurang dari 5 persen, tertinggal jauh dari Amerika Serikat (AS) dengan rasio mencapai 55 persen, Singapura mencapai 26 persen, bahkan Malaysia mencapai 9 persen.
"Dibandingkan negara lain itu kita masih sangat rendah. Angka 5 persen itu tidak cukup, dibandingkan dengan jumlah penduduk usia produktif, itu masih dibawah 5 persen, bahkan masih sekitar 2 persen-an," ungkapnya dalam acara Bareksa-Kontan-Ovo Fund Awards 2020, Rabu (21/10/2020) malam.
Oleh sebab itu, Donny melihat masih ada ruang yang besar untuk mengembangkan investor ritel di Indonesia. Sehingga diharapkan kedepannya jumlah investor domestik terus bertambah, dan tak lagi bergantung pada investor asing. Saat ini kepemilikan instrumen investasi di pasar modal oleh investor domestik sudah mencapai 58 persen, lebih tinggi dari kepemilikan investor asing.
"Jadi potensi investor ritel di Indonesia itu masih sangat tinggi. Ini memang jadi sasaran untuk penyeimbang struktur investor pasar keuangan kita, jadi tidak terlalu mengandalkan investor asing," jelasnya. Ia mengatakan, tingginya keterlibatan penduduk dalam investasi di pasar modal sangat penting untuk menekan gejolak akibat keluarnya investor asing di tengah pelemahan ekonomi.
Oleh: Kenny Leonaltus/ Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi 2018, Universitas Negeri Jakarta