Dalam menjaga kekuatan politiknya, banyak orang berkuasa melahirkan orang berkuasa lainnya demi terciptanya regenerasi kekuatan politik yang abadi. Politik dinasti sendiri menurut Querubin merujuk kepada kekuatan politik yang dialami oleh anggota keluarga dengan lebih dari satu generasi.
Makna negatif dari politik dinasti disini didefinisikan dalam bentuk keluarga atau keturunan yang dipilih dalam sebuah pemilihan wewenang dan kekuasaan yang semata-mata karena kedudukannya sebagai salah satu kerabat politisi yang sudah duduk di bangku politik (ascribed status).
Dengan demikian, hal ini cenderung sangat tidak sesuai dengan norma maupun etika politik terutama apabila dipilihnya ia akibat privilege kekerabatannya.
Leo Agustino mengungkapkan dalam tulisannya bahwa dalam dinasti politik, para penguasa akan berusaha untuk mengkonstruksi sebuah kerajaan berisikan keluarga, saudara, maupun kerabat dalam perpolitikannya di pemerintahan sehingga sesama anggota akan dapat saling menjaga kekekalannya dalam praktik kekuasaan. Selain itu, hal ini juga dilakukan untuk mengendalikan departemen agar dapat sesuai dengan keinginan dinasti.
Praktik dinasti politik sendiri terbagi menjadi empat, yaitu populism dynasties atau dinasti populisme merupakan dinasti politik yang terjadi saat seseorang yang memiliki kepribadian yang mengayomi masyarakat di daerah tersebut terutama dengan rakyat kecil menjadi seorang petinggi daerah, agar program pemerintahan di daerah tersebut dapat tetap berjalan lanjut, anggota keluarga dari pemimpin ini akan didorong untuk maju menggantikan kepemimpinan orang tersebut.
Octopussy dynasties atau jejaring kuasa informal adalah sebuah dinasti politik yang terjadi saat salah satu anggota keluarga memiliki jabatan tinggi dalam pemerintahan, seperti gubernur, membuat anggota keluarganya ikut menjabat di daerah tersebut. Dibandingkan dengan karakter pemerintahan dalam dinasti populisme, jaringan kuasa lebih tertutup, sengaja diciptakan, dan bersifat oligarkis.
Tribalism Dynasties atau dinasti tribalisme merupakan sebuah dinasti politik yang didasari oleh asal suku seseorang, ikatan primordialisme, klan politik, dan stratifikasi sosial.
Feudalism Dynasties atau dinasti feodalisme adalah politik dinasti yang muncul diakibatkan daerah tersebut pernah menjadi sebuah kerajaan sebelum Indonesia merdeka. Daerah yang mengalami politik dinasti ini biasanya memiliki nilai primordialisme yang kuat terhadap kebudayaan tradisional mereka.
Di Indonesia, perkembangan politik dinasti telah menjamur dan ada sejak lama di beberapa daerah. Tidak hanya akibat sejarah Indonesia yang merupakan kerajaan, namun dewasa ini fenomena politik dinasti juga turut timbul akibat tokoh masyarakat terpilih yang kemudian maju sebagai kepala daerah atau dewan perwakilan dan kemudian pada masa jabatannya turut mendorong saudara, pasangan, maupun anggota keluarga lainnya untuk maju dalam pemilihan kepala daerah yang dipimpinnya.
Fenomena ini menjadi isu yang sangat hangat diperbincangkan pada pilkada kemarin karena jumlahnya yang cukup banyak terjadi. Hal ini tentunya terjadi bukan tanpa alasan, Mahkamah Konstitusi yang mengeluarkan Putusan No 33/PUU-XIII/2015 membuat praktik politik dinasti di Indonesia semakin banyak karena dianggap sah dalam putusan ini. Banten menjadi salah satu daerah yang tidak luput terlibat dalam fenomena praktik politik dinasti ini.
Wilayah yang pernah menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat ini, resmi melepaskan diri dan menjadi bagian Provinsi Banten sendiri sejak tahun 2000 melalui keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 dan pertama kali dipimpin oleh pasangan Hakamudin Djamal (2000-2002) sebagai gubernur pertama.
Periode berikutnya beliau digantikan oleh Djoko Munandar dan Ratu Atut Chosiyah (2002-2005) walau pada 11 Oktober 2005 Djoko Munandar harus rela diberhentikan karena dugaan kasus korupsi dana perumahan DPRD Banten 2001-2004 sehingga menjadikan wakil Gubernurnya menggantikan posisi Gubernur Provinsi Banten pada saat itu.
Setelah putaran kedua masuk, Provinsi Banten didominasi dibawah kepemimpinan Ratu Atut Chosiyah yang berakhir di tahun 2017. Ratu Atut Chosiyah sendiri merupakan Gubernur Provinsi Banten yang sudah dikenal oleh masyarakat atas tindak dinasti politik yang begitu mengakar di kanca pemerintahan Provinsi Banten.
Dalam menganalisa tentang bagaimana Dinasti Politik Banten ini berjalan dan hubungannya dengan tipologi dinasti politik yang telah ada, penguasan Ratu Atut Chosiyah pada Provinsi Banten ini erat dengan tipologi octopussy dynasties, di mana terbentuk berdasar kepada Patrimonialisme, kharismatik figur, sinergi aktor formal dan informal, korporatisme masyarakat, dibentuk by design.
Octopussy dynasties bercirikan dengan sistem Tertutup, oligarkis, Semi-demokrasi (Efendi,2018). Octopussy dynasties yang tergambar dari adanya penggunaan kekuasaan Ratu Atut Chosiyah dalam menjalin hubungan dan sinergi dengan aktor keluarga.
Anak, menantu, hingga cucunya yang menjadi pejabat eksekutif maupun legislatif di pemerintahan lokal provinsi banten, di mana masuknya keluarga dalam arena politik sendiri bukanlah didasarkan kepada ke-sukarelawan nya (consent) namun lebih dimaknai atas dasar kehormatan (honor) untuk menjaga eksistensi pengaruh keluarga (Mc Coy,1994).
Dengan adanya pemaknaan kehormatan pada dinasti Provinsi Banten ini belum tentu sejalan dengan kapabilitas manajerial dalam politik yang menyebabkan kontribusi yang terjadi hanyalah simbolisme saja (Efendi,2018).
Birokrasi Banten yang ternyata terdapat politik dinasti ternyata telah terbukti melakukan berbagai kegiatan politik uang atau suap kepada berbagai pejabat politik lainya untuk mempertahankan kekuasaannya. Perilaku pemerintah daerah Banten ini tidak dapat dipisahkan dengan etika pegawai negeri sipil yang ada di daerah tersebut.
Etika merupakan salah satu cabang filsafat dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang berhubungan dengan perilaku manusia, perilaku yang dianggap baik oleh masyarakat, dan juga memiliki hubungan dengan baik atau salahnya perbuatan seseorang.
Salah satu cabang utama etika, yaitu etika normatif membahas secara khusus mengenai benar-salahnya suatu tindakan manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan memunculkan beberapa teori etika. Seperti etika deontologis yang membahas bahwa keputusan etis harus dibuat melalui pertimbangan tugas dan kewajiban seseorang bersama dengan hak individu lainya.
Adapun etika teleologis yang membahas bahwa moralitas yang terikat dengan suatu tindakan terkait dengan hasil atau akibat dari tindakan tersebut, dan etika kebajikan yang menggambarkan tekanan peran karakter dan kebajikan filosofi moral yang bertindak sebagai orang yang berbudi luhur saat bertindak dalam berbagai situasi.
Fenomena “Gurita” di pemerintahan Provinsi Banten dimulai ketika Ratu Atut Chosiyah naik menjadi Gubernur Provinsi Banten menggantikan Gubernur sebelumnya, Djoko Munandar yang menjadi tersangka kasus korupsi Perumahan DPRD Provinsi.
Ratu Atut memanfaatkan kesempatan emas tersebut untuk mengangkat sanak kerabatnya dalam posisi strategis di pemerintahan. Misalnya, mendiang Hikmat Tomet, sang suami berhasil terpilih menjadi anggota DPR RI dari partai Golkar.
Selain itu, Khaerul Jaman, Adik dari Ratu Atut menjabat sebagai Wakil Walikota Serang dan masih banyak contoh lainnya. Contoh-contoh tersebut semakin meyakinkan bahwa jabatan-jabatan politik maupun non-politik diatur sedemikian rupa (By Design), sehingga pantas disebut sebagai politik dinasti yang “menggurita” atau octopussy.
Dalam memandang fenomena tersebut, masyarakat perlu sadar bahwa apakah hal tersebut merupakan suatu kewajaran atau kekeliruan dalam berdemokrasi, salah satunya dapat dilihat dari kacamata Etika Normatif. Dalam menilai praktik politik dinasti di Banten, Etika Normatif menawarkan setidaknya tiga sudut pandang seperti yang telah disebutkan sebelumnya yaitu:
1. Etika Deontologis
“Gurita” yang diprakarsai oleh Ratu Atut secara sekilas memang hal yang lumrah dan diperbolehkan, seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 43 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap warga negara berhak diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Namun, jika masyarakat mau menelaah lebih dalam lagi, praktik politik dinasti tidak sepenuhnya benar dan baik. Sebab, dengan mengangkat sanak-keluarga dan kerabat dalam mengisi kursi pemerintahan jelas menutup kemungkinan bagi warga negara lain, khususnya masyarakat Provinsi Banten lainnya dalam memenangkan kontestasi politik yang diselenggarakan.
2. Etika Teleology
Profesor Hamdi Muluk sebagai Pengamat Politik dari Universitas Indonesia (UI) menilai bahwa dinasti politik di Provinsi Banten cukup membingungkan, sebab tak ada tujuan yang jelas mengapa itu dilakukan. Namun, apabila masyarakat mengamati, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seringkali menangkap “basah” atau OTT para pejabat di Pemerintahan Provinsi Banten. Misalnya, 7 tahun yang lalu, kasus korupsi Akil Mochtar yang menyeret adik dari Ratu Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Sehingga, kasus korupsi yang sering terjadi membuktikan bahwa praktik politik dinasti di Banten tidaklah dibenarkan secara latar belakang maupun tujuan.
3. Etika Karakter Kebajikan
Masyarakat mampu menilai praktik dinasti ini baik atau tidak berdasar tindakan Ratu Atut dan keluarga yang menjabat. Tetapi kelemahan dari teori Etika ini ialah Tindakan yang mereka lakukan sudah rasional atau sesuai kaidah administrasi dan politik diperlukana analisis lebih lanjut dan mendalam.
“Gurita” dalam pemerintahan Provinsi Banten sudah berlangsung cukup lama, padahal secara etika normatif hal tersebut tidak dibenarkan sepenuhnya. Namun, keunikan dari kasus ini ialah elektabilitas dari Ratu Atut dan keluarga masih tinggi di masyarakat, kepercayaan masyarakat akan kepemimpinan mereka masih dapat dirasakan melalui kontestasi politik yang berlangsung dalam waktu dekat ini. Oleh karena itu, praktik politik dinasti ini bukan sepenuhnya salah mereka yang menduduki oligarki, tetapi masyarakat juga turut salah apabila hanya diam dan tidak mau belajar.