Annus Horribilis, sebuah ungkapan yang diutarakan oleh Ratu Elizabeth II pada pidatonya tahun 1992 yang menggambarkan betapa menyedihkannya tahun tersebut bagi kerajaan Inggris saat itu (The Royal Family, 1992). Bergeser pada situasi sekarang, tahun 2020 sudah berlalu dan mungkin banyak dari kita yang menganggap bahwa tahun 2020 sebagai “New Annus Horribilis” seperti apa yang dikatakan oleh Ratu Elizabeth II pada saat itu.
Dengan adanya pandemi Covid-19 kehidupan masyarakat berubah aktivitas di luar rumah dilarang mau tidak mau semua aktivitas harus dilakukan di dalam rumah dan dilakukan secara daring, dari segi perekonomian negara Indonesia telah mengalami resesi ekonomi karena telah mengalami pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut(Fauzia, 2020). Juga dari sisi perpajakan penerimaan negara Indonesia mengalami kolaps tercatat pada akhir tahun 2020 pendapatan negara turun sebesar 18,5% jauh dibandingkan pada tahun 2019 (PajakOnline, 2020).
Menariknya jika kita memperhatikan lebih lanjut dari sisi perpajakan, ada beberapa jenis penerimaan pajak yang meningkat di tengah penurunan penerimaan pajak negara Indonesia yaitu Pajak Pertambahan Nilai. Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati, beliau menjelaskan bahwa pada bulan Juli dan Agustus periode tahun 2020 Pajak Pertambahan Nilai secara agregat telah mengalami peningkatan masing-masing sejumlah minus 5,1% dan positif 1,6% yang mengindikasikan bahwasanya Pajak Pertambahan Nilai mengalami rebound dari yang sebelumnya mengalami penurunan dan ditargetkan akan meningkat pada akhir tahun 2020 (Santoso, 2020).
Secara konsep perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan atas pertambahan nilai atau value added atas barang ataupun jasa pada setiap rantai distribusi dan produksi, akan halnya legal character Pajak Pertambahan Nilai yaitu general indirect tax on consumption, artinya Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung atas pengenaan konsumsi secara umum(Rosdiana and Irianto, 2014).
Pada pandemi saat ini memang aktivitas masyarakat hanya dirumah saja dan berkembangnya e-commerce saat ini membuat aktivitas belanja daring mengalami peningkatan signifikan. Bahkan dari data yang dikeluarkan oleh McKinsey & Company bahwa pada tahun 2022 perkembangan e-commerce di Indonesia akan meningkat sampai USD 65 Milyar (Das et al., 2018).
Transaksi elektronik tersebut sangat beragam contohnya seperti penggunaan aplikasi online, langganan musik, langganan film, pembelian game online, dan masih banyak langganan over the top lainnya. Jika kita mengkaitkan hal tersebut dengan konsep Pajak Pertambahan Nilai, pembelian barang-barang tersebut telah memenuhi legal character dari Pajak Pertambahan Nilai itu sendiri dan sudah sewajarnya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Selama ini transaksi belanja daring yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia terutama barang yang tidak berwujud seperti penjelasan di atas belum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam Pasal 4 ayat 1 huruf d dan e UndangUndang No 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai bahwasanya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean akan dikenakan di dalam Daerah Pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilaidan sejatinya telah sesuai dengan prinsip destination principle (Rosdiana, Irianto and Putranti, 2011). Pada tahun 2020, pemerintah merespons fenomena ini dengan mengeluarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2020 yang mengatur Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Sakti, 2020).
Sejatinya produk hukum ini memiliki spirit untuk menciptakan fair playing field bagi pedagang yang berdagang secara online dengan pedagang yang konvensional (Nugroho, 2020) dan berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kontan.co.id adanya pengenaan pajak baru tersebut merupakan respons untuk mengatasi permasalahan penerimaan negara karena adanya pandemi COVID-19 (Damayanti, 2020).
Menengok negara lain yang sudah menerapkan peraturan ini sebelumnya, pendapatan negara dari negara tersebut meningkat tajam seperti negara Afrika Selatan yang mampu mengumpulkan pemasukan Pajak Pertambahan Nilai digital sebesar Rp 7,6 triliun dalam jangka waktu 5 tahun dan negara Australia hanya dalam jangka waktu 2 tahun telah dapat mengumpulkan sebesar Rp 10,7 triliun, harapannya dengan adanya pengenaan pajak baru ini dan dengan melihat besarnya potensi yang akan didapatkan maka penerimaan negara Indonesia dari pajak akan sangat terbantu (Wildan, 2020).
Permasalahan yang Timbul
Akan tetapi, jika kita melihat lebih lanjut produk hukum Pajak Pertambahan Nilai digital ini yang diatur dalam UU No 2 Tahun 2020 yang ketentuan teknisnya lebih lanjut diatur dalam PMK 48/PMK 03/2020, memiliki beberapa celah hukum yang saling tumpang tindih dan dapat memiliki potensi kontraproduktif kedepannya jika tidak ada reaksi positif dari fiskus.
Beberapa permasalahan yang timbul antara lain seperti perbedaan penetapan pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang diatur dalam PMK 48/PMK 03/2020 dengan penetapan pemungut Pajak Pertambahan Nilai yang diatur dalam PMK 197/PMK 03/2013.
Dalam penjelasan yang disampaikan oleh pemerintah alasan perbedaan penetapan pemungut pajak tersebut adalah merujuk kepada negara Australia yang sudah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai digital sebelumnya, akan tetapi menurut penulis tidak apple to apple rasanya jika kita menjadikan Australia sebagai patokan dalam penetapan hukum pajak tersebut dikarenakan perbedaan mendasar seperti tax compliance yang sangat timpang, bahkan di negara Australia tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di negara tersebut mencapai angka 93% sedangkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan mencapai angka 82%, sedangkan di negara Indonesia pada tahun 2019 tingkat kepatuhan pajak hanya mencapai angka 72,92% secara umum (Santoso, 2020).
Permasalahan hukum yang lain yaitu perbedaan yang mencolok di dalam ketentuan UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dengan UU No 2 Tahun 2020 yang mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yaitu mengenai penerapan kriteria pemungut pajak dalam UU No 2 Tahun 2020 menjelaskan bahwasanya pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dapat dijadikan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) jika memenuhi significant economic principle akan tetapi dalam UU No 36 Tahun 2008, Bentuk Usaha Tetap (BUT) ditetapkan jika memenuhi physical presence. Perbedaan ini menjadi catatan bahwasanya tidak ada koordinasi dalam penetapan hukum pajak di Indonesia.
Dari sisi penegakan hukum, ada dua jenis sanksi yang diterapkan jika pemungut pajak tidak patuh antara lain sanksi administratif sesuai dengan UU No 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan sanksi pemutusan akses (Wildan, 2020).
Menarik jika kita memperhatikan dua jenis sanksi yang akan diterapkan nantinya jika pemungut pajak tidak patuh, pertama sangat sulit rasanya jika fiskus akan mengenakan sanksi bagi pemungut pajak yang tidak mempunyai badan hukum di negara Indonesia karena seperti yang kita tahu perusahaan Google, Netflix, Spotify, dan yang lainnya belum mempunyai badan hukum di Indonesia.
Jika sanksi kedua diterapkan yaitu pemutusan akses atas penggunaannya, maka akan merugikan masyarakat Indonesia itu sendiri karena seperti yang kita tahu bahwasanya kita sangat bergantung dengan layanan tersebut dalam kehidupan sehari-hari dan tidak bisa dipungkiri bahwa dengan adanya sanksi tersebut akan menimbulkan shadow economy digital dikarenakan harus shifting dari yang ke digital legal ke digital ilegal.
Sebenarnya pemerintah Indonesia telah melakukan upaya dalam mengatasi permasalahan ketidakpatuhan pemungut pajak yaitu dengan menggunakan Automatic Exchange of Information (AEoI), sebuah platform pertukaran data pajak secara otomatis antar negara yang digunakan untuk mengawasi dan mengetahui potensi pajak atau juga menjadi platform pengawasan atas tax fraud yang nantinya dapat terjadi.
Akan tetapi sayangnya, belum semua negara melakukan hal ini, salah satu contohnya adalah negara Amerika Serikat dengan dominasinya atas ekonomi digital dunia. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam menerapkan peraturan Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Solusi
Untuk mengatasi permasalahan ini ada beberapa ide yang menurut penulis cocok jika diterapkan. Pertama, sangat disayangkan semangat omnibus law yang dibawa oleh pemerintah untuk memangkas peraturan hukum yang tumpang tindih tampaknya tidak terlihat di segi perpajakan dengan bukti seperti diatas yaitu ada beberapa peraturan pajak yang saling overlap dan membuat para pelaku bisnis digital tidak memiliki kepastian dalam hukum pajak.
Padahal salah satu konsep dari pengenaan pajak kepada masyarakat adalah certainty (Rosdiana and Irianto, 2014) yaitu kepastian pajak. Maka dari itu, menurut penulis dengan adanya semangat omnibus law yang dibawa oleh pemerintah seharusnya dapat menghasilkan peraturan yang holistik yang mencakup semua hal kaitannya dalam hukum perpajakan sehingga timbulnya kepastian dan ditambah dengan peraturan turunan yang saling berkaitan satu sama lain dan tidak tumpang tindih.
Kedua, dari segi teknis pemungutan Pajak Pertambahan Nilai digital ada beberapa solusi yang jika diterapkan dapat membantu pemerintah dalam melakukan pemenuhan peraturan pajak yaitu kombinasi blockchain dengan split payment method.
Secara singkat, dengan adanya blockchain pemerintah akan mudah dalam proses administrasi perpajakan karena Pajak Pertambahan Nilai yang nantinya dipungut oleh pemungut pajak akan tercatat secara lengkap dalam ledger yang sama atau dapat dikatakan sebagai sharing ledger. Jika kita melihat besarnya potensi ekonomi digital di Indonesia penerapan blockchain di Indonesia merupakan ide yang cocok (Frankowski, Baraski and Bronowska, 2017).
Ditambah dengan adanya kombinasi dari split payment method yaitu sebuah metode pemisahan transaksi biasa dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut, secara teknis yaitu pemisahan transaksi yang nantinya akan di transfer dari bank luar negeri di tempat pemungut pajak ke negara Indonesia sebagai negara asal pemanfaatan barang. Metode ini dapat mengurangi biaya yang timbul yaitu pemungut pajak tidak harus mempunyai keberadaan fisik di Indonesia dan tidak harus memungut pajak tersebut karena sudah di-cover oleh pihak bank.
Penerapan split payment method sudah berlaku di Polandia dan memiliki dampak positif atas kemudahan pemenuhan pajak dan penerimaan negara dari pajak (PwC, 2020). Dengan adanya harmonisasi hukum pajak di Indonesia dan teknis yang memadai dari pemerintah, diharapkan dengan adanya Pajak Pertambahan Nilai atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik merupakan solusi atas penerimaan negara dan dapat menciptakan fair playing field di Indonesia dan semoga dunia perpajakan di Indonesia semakin progresif, inklusif, dan maju.