Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015, melalui Undang-undang No. 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintah daerah dimana dari pemilu tersebut ditegaskan bahwasannya pemilihan kepala daerah dilaksanan secara serentak di seluruh Indonesia. Pilkada serentak hadir untuk memudahkan proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang sebelumnya memakan anggaran yang terlalu berlebihan. Pilkada sebagai salah satu bentuk jalannya demokrasi memang seharusnya dijalankan secara jujur dan adil sehingga dapat menciptakan pemimpin-pemimpin yang dapat sesuai dengan harapan masyarakat.
Pilkada 2020 seharusnya diikuti oleh 269 daerah, namun dikarenakan Pilkada di Kota Makassar diulang pelaksanaannya sehingga total menjadi 270 daerah yang mengikuti Pilkada serentak. Ada hal yang membuat sedikit perbedaan antara Pilkada serentak yang dilaksanakan pada tahun 2015 dengan tahun 2020 sehingga menuai banyak kontroversi dari masyarakat, hal ini dikarenakan Pilkada serentak 2020 dilaksanakan di tengah-tengah pandemi covid-19 yang sudah menelan banyak korban.
I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menuturkan bahwasanya “KPU berharap masyarakat pemilih dan tidak perlu kawatir untuk datang ke TPS, karena semua pengelolaan logistik yang dipakai dalam pemungutan suara sudah sesuai protokol kesehatan”. Protokol kesehatan yang dimaksud di sini adalah dengan penyiapkan alat cuci tangan dan sabun, handsanitizer, sarung tangan plastik untuk pemilih. Setidaknya saat pemungutan suara berlangsung terdapat 12 alat penunjang protokol kesehatan yang disiapkan di tempat pemungutan suara.
Tidak hanya covid-19 yang menjadi hambatan Pilkada serentak 2020, tantangan selanjutnya adalah seperti tahapan pencocokan dan penelitian yang terjadi di kabupaten Bandung Barat terkendala, hal ini dikarenakan terdapat petugas pemutakhuran data pemilih yang positif terkena Covid-19. Kemudian peluang terjadinya praktik money politic sangat besar, hal ini dikarenakan tingkat pemutuasan hubungan kerja di daerah daerah sangat tinggi, belum lagi bahan-bahan makanan yang harganya menjadi berlipat-lipat.
Selanjutnya potensi terjadinya pelanggaran dalam prosedur tata cara pemungutan dan penghitungan surat suara, Koordinator Divisi Hukum, Humas dan Data Informasi Bawaslu mengatakan bahwasanya pada saat mengawasi simulasi Pilkada, terlihat bagaimana cara petugas KPPS yang pada akhirnya lebih menitik fokuskan pada protokol kesehatan dan membuat antrian menjadi lama sehingga mengesampingkan teknis kepemiluannya. Setelah itu tantangan terbesar dan yang paling utama adalah mengajak masyarakat untuk datang pada hari pemungutan suara dan percaya dengan protokol kesehatan yang sudah disediakan itu aman.
Pilkada serentak 2020 juga dihiasi dengan adanya pro kontra dari berbagai lapisan masyarakat, Mahfud MD sebagai Menkopolhukam menyatakan bahwasanya alasan pemerintah memilih menerobos Covid-19 untuk melaksanakan Pilkada serentak adalah karena tidak ada satupun yang bisa memastikan kapa pandemi Covid-19 ini berakhir.
Mantan presiden Jusuf Kalla juga ikut andil dalam memberikan pendapat, menurut beliau Pilkada serentak bisa dilaksanakan pada juni 2021. Memaksakan sesuatu yang jelas-jelas secara rasional membahayakan kehidupan masyakat bukan hanya disebut nekat, melainkan fatal. Beliau juga menambahakan daerah yang menyelenggarakan Pilkada memiliki kepala daerah yang masa jabatannya baru habis tahun depan, sehingga tidak perlu gelisah bahwa akan terjadi kekosongan pemerintahan dalam jangka waktu yang lama.
Terlepas dari itu semua Pilkada serentak 2020 akhirnya mencapai kata sukses. Kesuksesan ini tidak lepas dari strategi yang telah disusun oleh KPU yang mengatur regulasi dengan menyesuaikan kedatangan orang yang secara bertahap untuk menggunakan hak pilih. Para penyelenggara juga dinilai mampu menhadirkan proses demokrasi yang efektif dan transparan.
Oleh: Dhea Olivia Ivank Prastika / Mahasiswa prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang