Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus terdapat berbagai macam, salah satunya adalah pendidikan inklusi. Di beberapa sekolah umum di Indonesia telah menerapkan program inklusi dan tak jarang pula terdapat ketimpangan-ketimpangan dalam prosesnya. Hal itulah yang membuat pendidikan inklusi di Indonesia menjadi sangat terpuruk dan kurang diminati oleh masyarakat. Tentunya ada faktor-faktor yang membuat hal tersebut dapat terjadi.
Menurut The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education, pendidikan inklusif memiliki arti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa menghiraukan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lain mereka. Hal ini termasuk anak berkebutuhan khusus dan anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari populasi terpencil dan pengembara, anak dari linguistik, etnik dan budaya minoritas dan anak-anak dari bidang kelemahan atau kelompok marginal lain.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi merupakan program pembelajaran yang sangat toleransi yang programnya secara terstruktur mengikuti kemampuan dan kelebihan yang dimiliki anak. Namun sayangnya, penerapannya di Indonesia dari pengertian tersebut masih dibilang kurang. Baik itu dari faktor pendidiknya, kurikulumnya, fasilitasnya, sampai dengan anak berkebutuhan khususnya yang sangat sulit untuk menyesuaikan diri dengan teman-temannya.
Sekolah inklusi di Indonesia, khususnya di Jakarta memang masih sangat sedikit dan di antara sekolah-sekolah umum yang menerapkan program inklusi ternyata belum sepenuhnya siap untuk menjalankan program tersebut. Seperti kekurangan Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang memang lulusan dari Pendidikan Luar Biasa (PLB). Sekolah-sekolah umum yang belum siap tersebut terpaksa menjadikan guru-guru yang bukan lulusan dari PLB sebagai Guru Pembimbing Khusus. Akibatnya, banyak dari mereka yang tidak mengerti cara menangani anak-anak berkebutuhan khusus yang sedang kumat atau kambuh baik dalam bidang emosinya atau bidang kognitifnya.
Perbedaan yang mencolok antara pendidikan inklusi di negara-negara Eropa dengan di Indonesia adalah persiapan mereka yang benar-benar sudah matang untuk mengadakan program inklusi di sekolah-sekolah umum. Pendidikan inklusi di Eropa lebih maju karena mereka lebih dulu sudah melakukan intervensi dini sebelum mulai melaksanakan program.
Arti dai pernyataan di atas adalah pendidkikan inklusi yang dikembangkan di negara-negara eropa tersebut dikembangkan dengan metode pendekatan berbasis kompetensi, dimana kesiapan guru menjadi prioritas utama dalam menentukan tingkat keberhasilan pendidikan inklusi. Sayangnya, di Indonesia sendiri malah memulai program inklusi tersebut tanpa memiliki persiapan yang matang dan terlambat dalam melakukan intervensi dini. Oleh sebab itu, pendidikan inklusi di indonesia masih dibilang sangat jauh dari harapan masyarakat.
Mentalitas pendidikan inklusi dianggap rendah karena terdapat pandangan orang tua lain kadang masih negatif. Mereka merasa ragu mendaftarkan anaknya ke sebuah sekolah jika mengetahui di sana ada siswa berkebutuhan khusus. Oleh sebab itu, sekolah inklusi jumlahnya sangat kurang dan Guru Pembimbing Khususnya pun masih sangat kurang di sekolah inklusi yang kurang tersebut sehingga, karena anggapan orang tua lain itu membuat guru-guru biasa yang mengajarkan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi semena-mena dan tidak mengikuti program yang ada. Akhirnya, anak berkebutuhan khusus tersebut berhenti sekolah karena merasa tidak nyaman dengan proses belajarnya dan sekolah inklusi menjadi kurang diminati masyarakat.
Bukti yang menunjukkan bahwa mentalitas pendidikan inklusi masih rendah adalah banyak peserta didik yang berkebutuhan khusus bersekolah di sekolah dekat dengan tempat tinggal mereka. Hal ini disebabkan karena tidak semua sekolah inklusi menerima semua peserta didik yang berkebutuhan khusus yang ingin bersekolah di sana. Penyebabnya berujung pada kurangnya Guru Pembimbing Khusus yang profesional yang mengakibatkan sekolah takut untuk menerima anak berkebutuhan khusus yang terlalu banyak.
Faktor selanjutnya adalah Guru Pembimbing Khusus dan guru-guru lain yang mengajar di sekolah inklusi. Pada umumnya, guru sekolah inklusi belum sepenuhnya memadai melakukan identifikasi atau asesmen terhadap karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus. Hal ini masih masih dilakukan sepenuhnya oleh Guru Pembimbing Khusus yang seharusnya dilakukan secara bersama-sama agar hasilnya dapat segera ditindaklanjuti dengan penyusunan rencana individual bagi anak berkebutuhan khusus yang bersangkutan.
Faktor lainnya yaitu kurangnya sarana prasarana di sekolah inklusi dapat mempengaruhi kinerja sekolah itu. Seperti yang diketahui bahwa anak berkebutuhan khusus sangat membutuhkan fasilitas belajar yang mampu untuk menunjang pembelajaran mereka. Jika fasilitas itu tidak terpenuhi, maka proses belajar pada anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi tidak dapat tersalurkan dengan baik dan kemampuan anak berkebutuhan khusus pun tidak dapat dikembangkan. Akhirnya, sekolah inklusi tersebut menjadi sekolah yang bermental rendah.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya mentalitas pendidikan inklusi dapat dijadikan satu untuk dibuatkan solusi yang akan berguna bagi pendidikan inklusi di masa yang akan datang. Solusi tersebut dapat berupa memperbanyak Guru Pembimbing Khusus yang tentunya merupakan lulusan dari PLB dan memperbanyak sarana prasarana yang dapat membantu anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran mereka. Tidak hanya pendidikannya saja yang dapat meningkat, tetapi peserta didik yang sekolah di sekolah inklusi pun dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki dan sekolah inklusi maupun pendidikan inklusi dapat diminati kembali oleh masayarakat umum.
Sumber rujukan:
https://www.solopos.com/2014/10/05/ini-masalah-yang-dihadapi-sekolah-inklusi-541647
Rudiyati, Sari. 2011. Potret Sekolah Inklusif di Indonesia. Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta