Pidato Kenegaraan Prabowo Dinilai Kontradiktif: Ekonomi Melesat, Lingkungan Terpuruk

Bimo Aria Fundrika
Pidato Kenegaraan Prabowo Dinilai Kontradiktif: Ekonomi Melesat, Lingkungan Terpuruk
Presiden Prabowo Subianto [Tangkapan layar]

Pidato kenegaraan sekaligus nota keuangan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD, Jumat (15/08/2025), menuai kritik tajam dari Greenpeace. Menjelang perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, isu krisis iklim yang semakin nyata dirasakan rakyat dinilai absen dari prioritas pemerintah.

Dalam pidatonya, Presiden menekankan keberhasilan ekonomi, termasuk pertumbuhan 5,12% per tahun dan klaim penurunan kemiskinan. Namun Greenpeace menyebut narasi itu jauh dari kenyataan.

“Pertumbuhan ekonomi pada kenyataannya tidak dirasakan masyarakat, terutama mereka yang paling terdampak krisis iklim,” kata Jeanny Sirait, Juru Kampanye Keadilan Iklim Greenpeace.

Ia menilai klaim meningkatnya kesejahteraan tidak berdasar, sebab distribusi ekonomi masih timpang dan patokan kemiskinan yang dipakai pemerintah lebih rendah dari standar Bank Dunia.

Ilustrasi krisis iklim. (unsplash.com/@dibakar16roy)
Ilustrasi krisis iklim. (unsplash.com/@dibakar16roy)

Menurut Greenpeace, setengah dari penduduk Indonesia sudah merasakan dampak perubahan iklim, angka yang lebih tinggi dibanding negara-negara di belahan utara. Ironisnya, kelompok yang paling rentan justru luput dari pidato Presiden.

“Masyarakat adat dan komunitas lokal adalah aktor penting dalam menjaga hutan, tanah, dan air Indonesia. Mereka seharusnya diakui dan dilibatkan sebagai bagian dari solusi. Nyatanya, keberadaan mereka pun tidak disebut,” ungkap Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Peluang Ekonomi Hijau yang Hilang

Greenpeace juga menyoroti peluang besar yang dilewatkan pemerintah dalam membangun ekonomi hijau. Instrumen fiskal seperti pajak karbon, windfall tax bagi industri perusak lingkungan, serta pajak untuk kelompok super kaya dinilai lebih adil dibanding membebani kelas menengah dengan pajak tambahan.

Selain itu, potensi keuangan syariah yang bisa diarahkan untuk mendukung transisi energi dan pemberdayaan masyarakat hingga kini belum dimaksimalkan.

Dalam nota keuangan, Presiden menyatakan ambisi untuk mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan. Namun, proyeksi resmi justru menunjukkan kontradiksi.

Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), pada 2034 porsi energi terbarukan hanya diproyeksikan mencapai 29% dari listrik nasional, jauh dari target penuh. Lebih jauh, lima tahun pertama RUPTL justru menambah kapasitas pembangkit gas hingga 10,3 GW.

“Ambisi 100 persen energi terbarukan sulit tercapai jika pemerintah masih membuka jalan bagi energi fosil. Padahal untuk mengejar target itu, fokus pada pembangkit listrik terbarukan saja sudah cukup,” tegas Iqbal Damanik, Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Tuntutan Keadilan Iklim

Greenpeace menegaskan, keadilan iklim harus menjadi pondasi pembangunan nasional. Setiap warga, terutama kelompok rentan, harus dilindungi dari dampak hilangnya tanah, air, dan udara bersih akibat krisis iklim.

“Pidato Presiden penuh kontradiksi, baik dalam kebijakan ekonomi maupun politik energi. Ini tak lepas dari konsentrasi kekuasaan di pemerintahan Prabowo-Gibran,” ujar Jeanny Sirait.

Bagi Greenpeace, makna kemerdekaan sejati di usia 80 tahun Indonesia bukan sekadar angka pertumbuhan, melainkan jaminan hidup layak, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat.

Penulis: Muhammad Ryan Sabiti

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak