Zero Apoteker: Kebijakan yang Dinilai Melukai Profesi Apoteker

Ayu Nabila | Rizky Melinda Sari
Zero Apoteker: Kebijakan yang Dinilai Melukai Profesi Apoteker
Ilustrasi Apoteker (Pexels/Karolina Grabowska)

Dikutip dari farmasetika.com, istilah Zero Apoteker mulai muncul dan menarik perhatian banyak pihak di media sosial. Hal ini disebabkan oleh fakta yang menunjukkan bahwa penerimaan CPNS dalam dua tahun terakhir ini tidak lagi mengutamakan lulusan S1 Farmasi dan apoteker untuk tenaga Pengawasan Farmasi dan Makanan Ahli Pertama di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 

Berdasarkan perkataan yang disampaikan oleh apt. Chazali H. Situmorang yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewas PP IAI, serta dikutip dari kompasiana, beliau mengatakan, "Tidak mudah memang menggali persoalan recruitment CPNS di lembaga pemerintah. Kalau dibaca aturan pelaksanaannya semua sudah sesuai dengan SOP dan ketentuan yang berlaku. Mengedepankan prinsip transparansi dan profesional. Namun, tidak pula dipungkiri ada ruang kebijakan dari pengambil keputusan, yang di samping bersifat objektif, juga tidak terlepas dari subjektivitas kebijakan."

apt. Chazali H. Situmorang juga mengatakan untuk memastikan apakah kebijakan ini dikeluarkan secara resmi oleh Kepala BPOM atau hanya disampaikan secara lisan kepada Tim Seleksi Penerimaan CPNS. 

Masih dikutip dari farmasetika.com, peran apoteker di BPOM antara lain mengevaluasi obat, termasuk obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetika, serta pangan dan makanan. Apoteker juga memiliki peran dalam pengawasan peredaran obat di pasar melalui audit yang rutin, pengujian sampel, serta monitoring efek samping obat. Tidak ada profesi lain yang dapat melaksanakan tugas-tugas itu, karena itu semua memang ranahnya para apoteker.

Dilihat dari formasi recruitment CPNS BPOM tahun 2021 yang tertuang dalam Pengumuman BPOM Nomor KP.03.01.2.24.07.21.22 Tentang Revisi Pengumuman Penerimaan CPNS Badan BPOM Tahun Anggaran 2021, pada halaman 6, formasi yang diperlukan untuk jabatan Pengawas Farmasi dan Makanan Ahli Pertama, latar belakang pendidikan yang dibutuhkan yaitu S1 Teknik Lingkungan / S1 Teknik Kimia / Dokter / S1 Kimia /S1 Biologi / S1 Gizi / S1 Teknologi Pangan / S1 Kesehatan Masyarakat / S1 Kriminologi / S1 Hukum Pidana / S1 Dokter Hewan / S1 Kriminologi / S1 Hukum Pidana / S1 Ilmu Komunikasi / Apoteker.

Berdasarkan data tersebut, apoteker ditempatkan di urutan paling akhir. Kebijakan ini dinilai melukai profesi apoteker. Hasilnya, hanya ada sedikit sekali apoteker yang diterima untuk penempatan di 34 provinsi seluruh Indonesia. 

Jika kebijakan Zero Apoteker ini masih terus berlanjut, maka berbagai masalah dan persoalan obat dan makanan akan semakin terjadi. Misalnya, permasalahan CPOB atau Cara Pembuatan Obat yang Baik di dunia industri, kontrol serta perizinan makanan dan obat, hingga penetrasi obat-obatan ilegal yang dapat membahayakan masyarakat serta perekonomian negara Indonesia.

Tanggapan Masyakarat

Berita mengenai Zero Apoteker yang diunggah oleh akun instagram @farmasetika mendapat banyak tanggapan dari masyarakat umum serta mereka yang terlibat dalam dunia kefarmasian. Hingga hari ini, positingan mengenai Zero Apoteker sudah mendapat 1000 lebih suka dan 130 lebih komentar.

Pemilik akun instagram @vero*** menuliskan komentarnya, "Lawak banget, masa nanti yang ngawasin obat bukan orang yang ngerti obat".

Akun instagram @feri*** juga menyatakan ketidaksetujuannya, "Kepala BPOM dan stafnya lebih bagus lagi lulusan Farmasi semua, ini malah di-zero-kan farmasinya".

Pemilik akun @marg*** juga menyampaikan pendapatnya, "Apa alasannya S1 Farmasi maupun Apoteker jadi di-zero-kan seperti itu? Padahal kalo dipikir-pikir dengan baik, justru peran S1 Farmasi maupun Apoteker itu sangatlah besar apalagi di bidang pengawas obat dan makanan (BPOM). Jika ingin melakukan hal tersebut harus memiliki alasan yang jelas".

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak