Usai melarang sekolah menggelar kegiatan study tour dan kunjungan ilmiah yang biasa dilakukan oleh pelajar SMA dan sederajat, kini Dedi Mulyadi juga telah menghapus acara wisuda di sekolah.
Menurut Gubernur Jawa Barat (Jabar) itu, wisuda tidak perlu, sebab hanya menjadi beban orang tua siswa. Baginya, wisuda itu cocoknya untuk lulusan S1 atau diploma. Sementara ia berpegang teguh bahwa acara wisuda TK, SD, SMP, dan SMA ujung-ujungnya hanya menambah biaya.
Dalam sebuah sambutan acara sebagai Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi memberi penjelasan mengenai keputusannya yang menuai kritik tersebut. Ia menyatakan tradisi wisuda yang digelar oleh sekolah tingkat TK hingga SMA tidak lagi relevan, justru hanya membebani orang tua siswa.
“Wisuda TK, wisuda SD, wisuda SMP, wisuda SMA, hapus," tegas Dedi Mulyadi, dikutip dari Instagram @lambegosiip pada Senin (21/4/2025).
Selain itu, pada kesempatan tersebut Dedi Mulyadi juga menyinggung kegiatan yang biasa dilaksanakan oleh lembaga setingkat TK, seperti kegiatan manasik haji, yang menurutnya hal tersebut tidak ada kaitannya dengan peserta didik yang tengah duduk di bangku TK.
"Kebiasaan TK misalnya, kegiatan manasik ditunda, nggak ada kaitannya. Anak TK kok manasik? Toh nanti kalau kita pergi haji, latihan manasik juga. Pergi umrah latihan manasik juga. Ngapain sejak TK sudah manasik?” tambah Dedi.
Lebih lanjut, Dedi menilai kegiatan wisuda dan sejenisnya cenderung hanya memunculkan siklus ekonomi yang memberatkan bagi keluarga siswa.
“Intinya satu, kan itu kegiatan yang siklus ekonomi kemiskinan yang dilahirkan. Yang ikut manasik cucunya, (tapi) kakeknya, neneknya ikut naik truk semua. Meninggalkan pekerjaan di rumah. Ini ditekan," imbuhnya.
Gubernur Jabar menegaskan, kegiatan sekolah yang berorientasi terhadap gaya hidup harus dikurangi agar siswa dapat diarahkan ke arah yang lebih produktif.
Ia pun menjelaskan terkait tujuan dihapusnya wisuda dan kegiatan lain yang menjadi beban ekonomi orang tua siswa.
"Untuk itu apa tujuannya? Satu, orang tua tidak dirampok oleh kegiatan pendidikan. Orang tua tidak dirampok untuk berobat. Orang tua tidak dirampok untuk kebutuhan gaya hidup anak-anaknya," jelas Dedi.
"Semua ditekan ini. Kalau semua ditekan ini, kemudian anak-anaknya diarahkan pada produktivitas, saya yakin ini selesai secara bertahap,” pungkasnya.
Keputusan Dedi Mulyadi ini memicu polemik di tengah masyarakat, terutama kalangan pelajar yang menganggap wisuda sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan selama menempuh masa pendidikan.
Sejumlah pelajar SMA di Jawa Barat meluapkan kekecewaan mereka di media sosial sebagai tanggapan atas keputusan Dedi Mulyadi yang melarang acara wisuda di sekolah.
Keputusan Gubernur Jawa Barat itu dinilai mengabaikan pentingnya momen perpisahan dan euforia kelulusan yang ditunggu-tunggu oleh siswa kelas akhir.
Salah seorang pelajar mengungkapkan isi hatinya dalam deretan kalimat pada sebuah video yang menayangkan kegiatan siswa SMA di luar kelas.
“Kecewa sama aturan gubernur. Padahal kita sudah jadi bahan percobaan Kurikulum Merdeka, ada P5, angkatan Covid-19, sekarang dilarang ngadain perpisahan. Gak ada euforia kenangan apa yang kita dapat? Pray for angkatan 2025,” tulisnya.
Pada tayangan video berikutnya, terlihat seorang siswi SMA berseragam pramuka bersama beberapa siswi lain di dalam kelas tengah menitikkan air mata kekecewaan. Pada video tersebut, tertulis curahan hati mereka yang sudah membayangkan hadir dalam acara wisuda dengan tampil cantik, mengenakan baju kebaya dan batik.
“Kecewa itu ketika udah siapin semua demi wisuda, ngebayangin gimana cantiknya make kebaya dan make up, gagahnya pake batik dan ngebayangin gimana excited-nya momen kelulusan, seketika berubah karena aturan dilarangnya wisuda.”
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS