Ruang kelas Psikologi Universitas Jambi tampak berbeda dari biasanya pagi ini, Minggu (25/5/2025). Bukan dipenuhi mahasiswa yang hendak kuliah, melainkan sekelompok remaja sekolah menengah atas yang duduk rapi dan penuh antusias. Mereka adalah peserta kegiatan psikoedukasi bertema goal setting, yang diinisiasi oleh komunitas Maga sebuah komunitas mahasiswa Psikologi Universitas Jambi yang telah aktif selama dua tahun terakhir dalam berbagai kegiatan pengabdian masyarakat.
Kegiatan ini tidak sekadar sebuah pelatihan, melainkan bagian dari gerakan mahasiswa untuk menghadirkan ilmu psikologi ke ruang-ruang kehidupan nyata. Dengan menggandeng puluhan remaja dari Desa Pulau Pandan, kegiatan ini bertujuan untuk membantu para peserta mengenal dan menyusun arah hidup mereka melalui pendekatan psikologis yang aplikatif dan mudah dipahami.
Komunitas Maga sendiri merupakan wadah yang dibentuk oleh tujuh mahasiswa Psikologi UNJA, yakni Adit, Aulia, Salsabila, Bintang, Davina, Viona, dan Rosa. Sejak berdiri dua tahun lalu, komunitas ini telah konsisten menyelenggarakan kegiatan edukatif di berbagai lokasi, dari sekolah hingga desa, dengan semangat utama membumikan ilmu psikologi untuk kepentingan masyarakat luas, khususnya anak muda.
Pagi itu, suasana ruang kelas berubah menjadi ruang tumbuh bagi remaja yang ingin belajar mengenali mimpi dan menata masa depan. Tidak ada kesan kaku seperti kelas pada umumnya. Meja dan kursi disusun melingkar, dan dekorasi sederhana bertema motivasi menghiasi dinding kelas. Musik latar yang lembut mengiringi kedatangan para peserta yang tampak penasaran dengan apa yang akan mereka pelajari hari itu.
Kegiatan dibuka secara resmi oleh Rion Nofrianda, M.Psi., Psikolog, dosen Psikologi Universitas Jambi sekaligus pembimbing komunitas Maga. Dalam sambutannya, Rion menyampaikan rasa bangganya terhadap semangat mahasiswanya yang aktif turun ke lapangan dan membawa psikologi ke tengah masyarakat.
“Saya sangat bangga pada adik-adik mahasiswa yang tidak hanya belajar teori di kampus, tapi juga menerapkannya dalam bentuk nyata seperti ini. Ini bukan sekadar pengabdian, tetapi panggilan moral untuk mengajak adik-adik remaja kita menyusun masa depan mereka sejak dini. Karena hidup tanpa tujuan seperti kapal tanpa nahkoda bergerak, tapi tak tentu arah. Maka mulai hari ini, kita belajar bermimpi, menyusun langkah, dan menumbuhkan keberanian untuk berjalan menuju cita-cita itu,” ucap Rion dalam sambutan yang disambut tepuk tangan hangat para peserta.
Sesi inti kegiatan dipandu oleh Davina, salah satu anggota komunitas Maga yang juga berperan sebagai fasilitator. Davina membuka materinya dengan kisah-kisah inspiratif dari tokoh-tokoh muda yang berhasil mewujudkan mimpinya melalui perencanaan yang terarah. Ia kemudian memperkenalkan konsep goal setting, dan bagaimana remaja dapat mulai menyusun tujuan hidup dengan pendekatan SMART; Spesifik, Measurable, Achievable, Relevant, dan Time-bound.
“Bermimpi itu mudah, tapi merancang langkah-langkah untuk mencapainya butuh proses yang konsisten. Kadang kita merasa tujuan kita terlalu jauh, tapi saat kita memecahnya ke dalam langkah-langkah kecil, ternyata bisa dicapai. Di sinilah pentingnya metode SMART. Dengan SMART, kita belajar untuk tidak hanya bermimpi, tapi juga menulis, mengukur, dan mengatur waktu agar mimpi itu bisa kita raih secara bertahap,” jelas Davina kepada peserta dengan gaya yang santai namun menggugah.
Davina tidak hanya berbicara dari depan kelas. Ia menyusuri setiap meja, berinteraksi langsung dengan peserta, dan mengajak mereka mengisi lembar kerja yang telah disiapkan. Lembar kerja itu berisi panduan untuk menuliskan mimpi peserta, lalu memetakannya ke dalam kerangka SMART. Kelas menjadi hidup dengan diskusi, tanya jawab, dan cerita-cerita yang mencerminkan kegelisahan dan harapan remaja akan masa depan mereka.
Peserta yang hadir berasal dari berbagai latar belakang dan jenjang kelas, namun semangat mereka tampak sama yaitu ingin tahu lebih banyak tentang diri mereka dan bagaimana meraih impian. Komunitas Maga sendiri telah merancang kegiatan ini dalam dua hari pelaksanaan, yang terbagi dalam dua pekan agar proses pembelajaran berlangsung secara bertahap dan mendalam. Hari pertama difokuskan pada pengenalan konsep dan latihan goal setting, sementara hari kedua yang akan diselenggarakan pekan depan akan membahas self-motivation, time management, dan sesi coaching pribadi.
“Kalau hanya sehari, biasanya peserta cuma semangat sesaat. Tapi kalau kita lanjutkan dan dampingi, kita bisa bantu mereka konsisten,” ujar Adit, salah satu anggota dari komunitas Maga. Ia menambahkan bahwa setelah kegiatan ini selesai, pihak komunitas juga akan membuka kanal mentoring daring untuk para peserta yang ingin terus berkonsultasi atau berbagi perkembangan mereka.
Kegiatan ini juga menjadi ajang pertukaran semangat antara mahasiswa dan para remaja. Mahasiswa belajar mengenali dinamika sosial secara langsung, sementara peserta merasakan bahwa kampus bukanlah tempat yang jauh dan asing mereka bahkan merasa diterima dan dianggap penting di ruang akademik.
Selain materi utama, kegiatan juga diwarnai dengan ice breaking, sesi berbagi cerita, dan permainan reflektif. Suasana kelas dibuat senyaman mungkin agar peserta tidak terintimidasi. Komunitas Maga percaya bahwa suasana yang hangat adalah kunci keberhasilan dalam proses psikoedukasi.
Kegiatan hari pertama ditutup dengan refleksi singkat. Para peserta diajak menuliskan satu hal yang mereka pelajari hari itu dan satu langkah kecil yang akan mereka lakukan mulai malam nanti. Mereka lalu diminta menyimpan catatan itu sebagai pengingat, dan akan dibawa kembali pada pertemuan kedua pekan depan.
“Saya yakin dari sini akan lahir banyak kisah perubahan. Kita tidak bisa mengubah hidup orang lain dalam satu hari, tapi kita bisa menyalakan satu percikan kecil yang kelak menjadi nyala besar. Dan saya percaya, percikan itu hari ini mulai menyala,” ucap Rion saat menutup kegiatan dengan suara bergetar haru.
Komunitas Maga akan melanjutkan sesi kedua pekan depan dengan format yang lebih dalam, termasuk sesi coaching individu, di mana masing-masing peserta akan berdiskusi langsung dengan fasilitator untuk menyusun strategi personal dalam mencapai tujuan mereka. Bagi Davina dan teman-temannya, kegiatan ini bukan hanya tugas kampus, tapi panggilan hati.
“Kalau kami hanya belajar teori di kelas tanpa menyentuh kehidupan nyata, rasanya ada yang kurang. Kami ingin ilmu yang kami pelajari punya nyawa, bisa dirasakan manfaatnya oleh orang lain. Dan hari ini, kami merasakan sendiri bagaimana ilmu psikologi bisa menjadi jembatan perubahan,” ujar Davina.
Melalui kegiatan ini, komunitas Maga membuktikan bahwa kampus bukanlah menara gading yang jauh dari masyarakat. Ilmu, jika dibawa dengan empati dan kerendahan hati, bisa menjadi alat untuk menumbuhkan semangat, membuka wawasan, dan merancang masa depan khususnya bagi remaja yang sedang mencari arah hidup mereka.