Cium Tangan Jokowi ke Ba'asyir: Rekonsiliasi Tulus atau Manuver Politik?

M. Reza Sulaiman
Cium Tangan Jokowi ke Ba'asyir: Rekonsiliasi Tulus atau Manuver Politik?
Presiden ke-7 Jokowo kaget dengan kedatangan pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mukmin Ngruki Sukoharjo Ustad Abu Bakar Ba'asyir ke kediamannya di Jalan Kutai Utara 1 Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Senin (29/9/2025). [Suara.com/Ari Welianto]

Pertemuan antara mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ustaz Abu Bakar Ba'asyir di Solo beberapa waktu lalu memang bikin heboh. Jokowi sendiri ngaku "sangat kaget" didatangi oleh tokoh sepuh tersebut.

Tapi, di balik semua senyum dan cium tangan yang terekam kamera, ada dugaan rekayasa besar yang sedang dimainkan. Mantan anggota Badan Intelijen Negara (BIN), Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra, membongkar habis-habisan apa yang ia sebut sebagai "fabrikasi narasi" dari pihak Jokowi.

Menurutnya, Ba'asyir datang bukan untuk mendukung, tapi untuk menegur! Dan pertemuan itu sengaja "didesain" untuk kepentingan pencitraan.

Versi Resmi: Kaget, Dapat Nasihat, dan Cium Tangan

Kalau kita lihat dari pemberitaan, ceritanya manis banget. Ba'asyir datang, Jokowi kaget tapi menyambut dengan hangat sampai cium tangan. Jokowi bilang ia dapat nasihat untuk "mengabdi pada Islam". Ba'asyir pun bilang kalau ia datang untuk "menasihati pemimpin".

Semuanya terlihat seperti sebuah momen rekonsiliasi yang indah. Tapi, benarkah sesederhana itu?

Versi Eks Intel BIN: Sengaja Disuruh Nunggu & 'Didramatisir'

Nah, di sinilah letak "bom"-nya. Menurut Radjasa, yang terjadi di balik layar jauh lebih kompleks. Ia membenarkan kalau inisiatif pertemuan itu memang datang dari Ba'asyir. Tapi tujuannya bukan buat silaturahmi.

“Dia (Ba’asyir) melihat bahwa ada yang melampaui batas, yang dilakukan oleh Jokowi, sebagai ulama dia berkewajiban untuk menegur,” tegas Radjasa dalam podcast Abraham Samad SPEAK UP.

Radjasa kemudian membongkar dugaan rekayasanya. Menurut info yang ia dapat, saat Ba'asyir datang, ia sengaja diminta menunggu oleh staf dengan alasan Jokowi sedang tidak di rumah.

“Informasi yang saya dapat, dia (Jokowi) ada di rumah, cuma dia minta waktu sampai jam 1 agar mendesain pertemuan ini untuk kepentingan Jokowi, untuk kepentingan media,” papar Radjasa.

Tujuannya? Agar pertemuan itu bisa "didramatisir" dan difabrikasi, seolah-olah kedatangan Ba'asyir adalah bentuk dukungan di saat Jokowi sedang "teraniaya" oleh berbagai isu politik.

Radjasa bahkan menggunakan istilah yang super pedas untuk menggambarkan manuver ini: ulama trafficking, seolah-olah Jokowi "menjual" figur ulama untuk kepentingan citranya.

Rocky Gerung 'Nambahin': Manuver Cari 'Payung Kultural'

Analisis pedas ini ternyata "diamini" juga oleh Rocky Gerung. Menurut Rocky, langkah Jokowi ini adalah sebuah manuver cerdik untuk mencari 'payung kultural' dari kekuatan politik Islam.

“Mungkin ada semacam... keinginan atau kepentingan Pak Jokowi untuk memperoleh semacam payung kultural,” ujar Rocky.

Bagi Rocky, Ba'asyir bukanlah politisi, tapi tokoh kultur politik muslim yang pengaruhnya masih kuat. Dengan "merangkul" Ba'asyir, Jokowi seolah ingin menunjukkan bahwa ia masih punya dukungan kuat dari kalangan Islam non-partai, di tengah semua serangan yang ia hadapi.

Jadi, Mana yang Benar?

Kini, kita dihadapkan pada dua narasi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, ada narasi "indah" dari Istana soal pertemuan yang penuh nasihat dan kehangatan. Di sisi lain, ada tuduhan serius soal rekayasa dan "perdagangan" figur ulama untuk kepentingan politik.

Jadi, pertemuan ini murni sebuah silaturahmi yang tulus, atau memang sebuah episode baru dari sinetron politik tingkat tinggi?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak