Proses lahirnya film Gadis dan Penatu bukan sekadar tentang menulis dan merekam, tapi tentang memahami denyut kota dan seisinya. Dari ide yang lahir di tengah obrolan kolektif, hingga menapaki jalan panjang menyusuri tepian Kali Code.
Di balik layar Gadis dan Penatu, tersimpan perjalanan yang lahir dari ruang-ruang kecil, obrolan sederhana, langkah kaki menyusuri kota, dan kegelisahan yang tumbuh pelan-pelan menjadi cerita. Film ini tak hanya merekam kehidupan, tapi juga memeluk realitas.
Tentang kota yang ternyata tak selalu ramah bagi penduduknya, dan tentang perempuan muda yang berjuang di antara tuntutan hidup dan segenggam cita-cita.
Dari Keresahan Kecil, Sebuah Cerita Tumbuh Menemukan Suaranya

Bagi sang sutradara, M. Alam Alghifari (23) Gadis dan Penatu lahir dari sebuah keresahan kecil yang tumbuh di antara percakapan panjang bersama teman-teman satu kolektif. Sebagian besar dari mereka adalah lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK), dan dari sanalah benih cerita ini bermula.
“Kita tahu bahwa SMK sering dianggap jalur cepat menuju pekerjaan,” ujar Alam kepada Yoursay pada Rabu (8/10/2025). “Tapi kenyataannya, banyak lulusan yang justru tidak bekerja sesuai jurusan. Dari situ kami mulai bertanya, sebenarnya gunanya masuk kejuruan itu apa?” tuturnya.
Pertanyaan sederhana itu menjelma menjadi fondasi ide. Bersama Director of Photography (DOP) Yosef, Alam berjalan menyusuri sudut-sudut Yogyakarta hingga akhirnya berhenti di kawasan Kali Code—ruang hidup yang bersembunyi di tengah kota, di antara kemegahan hotel dan hiruk-pikuk wisata.
Di sanalah mereka menemukan kontras, kota yang dijuluki “Kota Pelajar” ternyata juga menyimpan wajah lain, yaitu ketidakpastian ekonomi, tata kota yang timpang, dan ruang-ruang yang terlupakan.
“Yosef menginterpretasikan bahwa Kali Code itu seperti tempat di tengah kota yang justru berbanding terbalik dengan citra kota,” kenang Alam. Dari sana, munculah pertanyaan baru mengenai “Apakah label ‘Jogja Kota Pelajar’ benar-benar berpihak pada pelajarnya sendiri?”
Namun menemukan ide hanyalah langkah awal. Perjalanan panjang dimulai ketika Alam dan timnya mulai merumuskan naskah.
Proses penulisan Gadis dan Penatu berjalan panjang dan penuh perdebatan. Bukan semata-mata soal jalan cerita, tetapi tentang memastikan satu hal, bahwa Gadis dan Penatu tidak hanya bercerita, tapi juga berbicara.
Berbulan-bulan mereka habiskan untuk menyatukan visi dan menyaring pesan utama yang ingin disampaikan. Naskahnya berganti bentuk berkali-kali, alur diubah, dialog disesuaikan, hingga adegan baru lahir di tengah proses revisi. Salah satunya adalah adegan saat karakter utama, Santi, pulang karena hujan.
“Adegan itu kami tambahkan menjelang final draft,” ujar Alam. “Kami ingin memperlihatkan bahwa Santi bukan hanya sosok yang ingin mengejar cita-cita, tapi juga ada satu hal yang mengingatkan pada sang ibu, yaitu laundry,” tambahnya.
Proses penyusunan naskah yang rumit itu justru menjadi ruang belajar terbesar bagi para crew. Mereka tak sekadar menulis karakter, tetapi berusaha memahami manusia di balik karakter tersebut. Berawal dari keresahan kecil, sebuah suara perlahan tumbuh dan menemukan wujudnya.
Di Antara Harapan dan Denyut Perjuangan

Di sisi lain, Saddam Putra Dewa Rimbawan (23), produser Gadis dan Penatu, menanamkan dua harapan yang tumbuh dari perjalanan film ini: satu untuk industri, satu lagi untuk penonton.
Dari sisi industri, ia berharap film ini dapat menjadi referensi sekaligus motivasi bagi para pembuat film muda untuk berani mengangkat isu sosial-ekonomi yang nyata di sekitar mereka. “Tidak melulu terpaku pada genre horor dan romansa,” ujarnya kepada Yoursay pada Rabu (8/10/2025).
Sementara bagi penonton, Saddam ingin agar Gadis dan Penatu menjadi cermin hubungan antara anak dan orang tua. Ia berharap pesan moral di dalamnya dapat tersampaikan dan memberi dampak positif, sekecil apa pun, dalam kehidupan mereka.
Bagi sang sutradara, Alam, semangat terbesar film ini berdenyut pada satu kata, perjuangan. Ia melihat Gadis dan Penatu sebagai suara dari Santi, seorang anak SMK yang berjuang membantu orang tuanya bekerja. “Semangat perjuangan itu yang ingin kami sebarkan,” ujarnya.
Meski belum sampai pada level industri besar, Alam tetap menyimpan keyakinan sederhana. Ia berharap film ini dapat menjadi referensi bagi karya-karya mahasiswa lainnya. Sebagai ruang kecil untuk belajar, berbagi, dan tumbuh bersama. “Semoga ada hal yang bisa diambil dari film ini, sekecil apa pun itu,” tambahnya.
Hingga pada akhirnya, Bagi Alam, seluruh kisah dalam Gadis dan Penatu berpulang pada satu kata, perjuangan.
Sebuah kata yang tak hanya mengisi layar, tapi juga mengalir di balik setiap langkah bagi seluruh dedikasi crew yang terlibat. Serta di antara harapan, kerja keras, dan denyut hidup yang mereka abadikan lewat film.