Di ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut, banyak orang merasa kehidupan berjalan lebih lambat. Tidak ada dering notifikasi, tidak ada tuntutan sosial, hanya ada suara langkah kaki dan napas yang teratur. Bagi sebagian orang, gunung bukan sekadar destinasi wisata, melainkan ruang untuk menenangkan diri dan memulihkan kesehatan mental.
Dalam beberapa tahun terakhir, tren self-healing melalui aktivitas alam semakin populer, terutama di kalangan anak muda. Gunung, khususnya, telah menjadi pilihan utama bagi banyak orang. Jalur pendakian tak hanya dipenuhi pendaki berpengalaman, tetapi juga individu yang datang membawa beban pikiran. Di tengah padatnya rutinitas yang menekan, gunung menawarkan jeda dan ruang untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk kehidupan modern.
Gunung sebagai Ruang Jeda Personal
Zahra (19), seorang mahasiswa, mengaku memilih mendaki untuk mendapatkan ketenangan setelah menghadapi berbagai tekanan. Menurutnya, gunung memberi jarak dari tuntutan yang kerap menjadi beban pikiran.
“Naik gunung itu seperti memperlambat hidup kita. Dari mulai awal perjalanan sampai akhirnya melihat puncak, ada rasa bangga tersendiri yang diberikan oleh gunung itu,” ujarnya.
Pengalaman serupa dirasakan oleh Hajar (20), seorang mahasiswa yang rutin mendaki saat libur perkuliahan. Baginya, gunung menjadi tempat aman untuk diam tanpa harus menjelaskan apa pun kepada siapa pun.
“Rasa lelah setelah menjalani perkuliahan selama satu semester bisa terbayarkan oleh gunung yang kita tempuh. Di gunung, aku merasa semua yang sudah aku lalui kemarin hilang begitu saja seketika,” kata Hajar.
Secara tidak langsung, proses mendaki membantu seseorang untuk hadir sepenuhnya pada momen saat ini. Medan yang menanjak, tubuh yang lelah, dan ritme langkah memaksa pikiran berhenti memikirkan hal-hal di luar kendali. Kondisi ini menciptakan ketenangan mental yang jarang ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih dari Sekadar Puncak: Refleksi Diri di Ketinggian
Haidar, mantan anggota komunitas pencinta alam di Solo, menilai bahwa alam memiliki peran besar dalam proses refleksi diri. Menurutnya, banyak pendaki datang bukan hanya untuk menaklukkan gunung, melainkan juga untuk memahami diri sendiri.
“Alam itu tidak menghakimi. Di gunung, orang jadi lebih jujur pada dirinya sendiri. Mereka sadar akan batas kemampuan, sekaligus belajar menerima dan peduli pada orang di sekitar mereka,” jelasnya.
Dari ketinggian itulah banyak orang melihat hidup dengan sudut pandang yang berbeda. Masalah yang sebelumnya terasa berat menjadi lebih ringan. Keheningan alam memberi kesempatan bagi mereka untuk menata kembali pikiran dan perasaannya.
Pulang dengan Kesadaran Baru
Meski demikian, gunung tidak hadir sebagai jawaban atas seluruh persoalan hidup. Ketenangan yang dirasakan selama pendakian lebih merupakan ruang jeda bagi seseorang untuk menarik napas dan menyusun ulang pikirannya. Setelah kembali turun, realitas kehidupan akan tetap ada.
Namun, dari ketinggian itulah banyak orang pulang dengan kesadaran baru: pikiran yang lebih tenang, kejujuran pada diri sendiri, dan kepedulian yang lebih besar terhadap sekitar.