suara hijau

Banjir Aceh: Bukan Sekadar Hujan, tapi Tragedi Ekologis Hutan yang Hilang

Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Banjir Aceh: Bukan Sekadar Hujan, tapi Tragedi Ekologis Hutan yang Hilang
Ilustrasi banjir (pexels/Dibakar Roy)

Bencana banjir bandang yang menghantam Aceh belakangan ini bukanlah semata-mata ulah alam yang tak terbendung akibat curah hujan ekstrem. Sebaliknya, ini adalah bencana ekologis yang lahir dari degradasi hutan di hulu daerah aliran sungai (DAS), di mana hutan lindung yang seharusnya menyerap air seperti spons raksasa telah rusak parah karena aktivitas manusia.

Dalam jurnal ilmiah berjudul "The Effect of Land Use and Land Cover Changes on Flood Occurrence in Teunom Watershed, Aceh Jaya" yang diterbitkan MDPI pada 2022 oleh Sugianto Sugianto, Anwar Deli, Edy Miswar, Muhammad Rusdi, dan Muhammad Irham, penelitian ini mengungkap bahwa perubahan penggunaan lahan dari 2009 hingga 2019 telah mengurangi luas hutan secara signifikan, menyebabkan peningkatan limpasan air permukaan dan risiko banjir hingga 68% area DAS berada pada tingkat sedang hingga sangat tinggi.

Bayangkan, hutan yang dulu menahan erosi dan menyerap air kini digantikan lahan gundul, membuat air hujan mengalir ganas ke pemukiman bawah, membawa lumpur, batu, dan kayu yang mematikan. Kisah ini bukan hanya tragedi, tapi panggilan untuk bangkit, dengan memahami akar ekologisnya, kita bisa mencegah kematian sia-sia dan membangun harmoni dengan alam yang lebih kuat.

Hilangnya fungsi hutan lindung di hulu DAS menjadi pemicu utama yang membuat banjir di Aceh begitu destruktif dan mematikan. Hutan yang seharusnya berperan sebagai reservoir alami, menyerap air hujan dan mencegah erosi tanah, kini telah banyak berubah menjadi lahan terbuka akibat konversi yang tak terkendali.

Ini bukan sekadar perubahan lanskap, ini adalah kerugian ekologis yang mendalam, di mana setiap hektar hutan yang hilang berarti peningkatan volume air bah yang siap menerjang desa-desa. Fakta ini mengajak kita untuk bertindak segera, jangan biarkan hutan lenyap sia-sia, karena restorasi bisa menjadi senjata ampuh untuk mengubah ancaman menjadi ketahanan.

Bayangkan jika masyarakat lokal diajak terlibat dalam penanaman kembali, bukan hanya menyelamatkan lingkungan tapi juga membangun komunitas yang lebih tangguh menghadapi bencana.

Kayu gelondongan yang terbawa arus banjir menjadi saksi bisu keterkaitan antara penebangan hutan dan kehancuran yang melanda pemukiman di Aceh serta Sumatera. Kayu-kayu ini, sering berasal dari konsesi logging legal maupun ilegal, tak hanya menyumbat aliran sungai tapi juga memperparah dampak banjir dengan menjadi proyektil alami yang menghancurkan rumah dan infrastruktur.

Angka kerugiannya mencengangkan: ribuan rumah rusak, ratusan jiwa hilang, semuanya karena siklus penebangan yang rakus. Narasi tajam ini mengingatkan bahwa setiap batang kayu yang ditebang adalah undangan bagi tragedi, tapi juga peluang untuk perubahan. Dengan penegakan hukum yang tegas, kita bisa hentikan alur destruktif ini dan kembalikan hutan sebagai benteng alamiah yang menginspirasi generasi mendatang untuk hidup selaras dengan bumi.

Aktivitas penebangan ilegal dan legal yang tidak terkendali semakin memperburuk situasi ekologis, di mana kayu gelondongan menjadi elemen mematikan dalam banjir bandang. Di hulu DAS Aceh, degradasi hutan akibat logging telah meninggalkan lahan gundul yang tak mampu lagi menahan air, sehingga banjir bukan lagi peristiwa musiman tapi ancaman konstan.

Ini bukan kebetulan alam, melainkan hasil dari tata kelola yang lemah, di mana konsesi diberikan tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem. Realitas ini mengajak kita untuk sadar, bahwa penebangan bukan hanya mencuri sumber daya, tapi juga mencuri masa depan.

Isu izin tambang dan Hak Guna Usaha (HGU) sawit menjadi akar masalah degradasi ekologis di Sumatera, termasuk Aceh, yang mempercepat terjadinya banjir mematikan. Izin-izin ini sering kali mengorbankan hutan lindung demi keuntungan ekonomi jangka pendek, mengubah lahan hijau menjadi perkebunan monokultur yang rentan erosi dan kurang mampu menyerap air.

Akibatnya, air hujan yang seharusnya meresap justru mengalir deras, membawa material destruktif ke hilir. Angka menunjukkan peningkatan signifikan lahan sawit telah berkontribusi pada frekuensi banjir yang lebih tinggi, mengancam ribuan warga.

Hal ini memperingatkan bahwa kemakmuran palsu dari sawit dan tambang adalah jebakan, yang menuju kerusakan abadi. Kita harus dorong reformasi kebijakan—cabut izin merusak dan ganti dengan model berkelanjutan, menginspirasi ekonomi hijau yang mendidik masyarakat tentang nilai sejati alam.

Tata kelola hutan secara keseluruhan di Indonesia, khususnya Sumatera, mendesak untuk dibenahi guna mencegah bencana ekologis berulang seperti banjir di Aceh. Fragmentasi hutan akibat ekspansi pertanian, infrastruktur, dan tambang telah mengganggu konektivitas ekosistem, membuat regulasi air alami terganggu dan banjir semakin ganas.

Di Aceh, ini berarti perlunya integrasi perencanaan lahan yang holistik, melibatkan pemerintah, komunitas, dan ahli lingkungan. Bayangkan jika kita terapkan restorasi habitat dan agroekologi banjir bisa ditekan, dan hutan kembali jadi pelindung utama. Ini mengedukasi kita bahwa kegagalan tata kelola bukan takdir, melainkan pilihan yang bisa diubah dengan keberanian. Inspiratif, cerita sukses dari wilayah lain bisa jadi teladan, mendorong aksi sekarang demi warisan lestari bagi anak cucu.

Dampak sosial dari banjir ekologis ini sungguh memilukan, di mana masyarakat miskin di desa-desa Aceh menjadi korban pertama dan utama. Degradasi hutan akibat HGU sawit dan tambang ilegal memperburuk kemiskinan, karena banjir menghancurkan lahan pertanian, rumah, dan mata pencaharian, memaksa relokasi paksa dan trauma berkepanjangan.

Lebih dari itu, ini menciptakan siklus ketidakadilan di mana yang lemah semakin tertindas oleh kelalaian sistemik. Namun, ini juga peluang emas: dengan pendidikan komunitas tentang perlindungan hutan, kita bisa bangun ketahanan sosial yang kuat.

Banjir mematikan di Aceh adalah cermin bagi kita semua untuk merefleksikan hubungan manusia dengan alam. Bukan lagi waktu untuk menyalahkan hujan, tapi untuk memperbaiki tata kelola hutan yang rusak, menghentikan penebangan ilegal, dan mereformasi izin tambang serta HGU sawit.

Dengan langkah tegas ini, kita bukan hanya mencegah bencana, tapi juga menciptakan masa depan di mana hutan kembali jadi sahabat, bukan musuh. Mari kita jadikan tragedi ini sebagai katalis perubahan, bangkit bersama, edukasi generasi muda, dan bangun Indonesia yang berkelanjutan, di mana banjir ekologis menjadi cerita masa lalu yang mengajarkan kebijaksanaan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak