Ctrl+A, Delete.
Barisan kata sebanyak tujuh puluh sembilan halaman itu lenyap seketika. Menyisakan satu garis kecil berkedip-kedip di halaman layar yang kosong. Garis kecil itu seperti tak sabar menunggu kata apa yang akan lahir dari jari-jari tuannya. Dan ia lebih tak sabar lagi menunggu pada halaman ke berapa tuannya akan menghapus seluruh kata-kata itu, meninggalkan dirinya sendiri di halaman yang lagi-lagi kosong.
Sementara itu, sang tuan berhenti memainkan jemarinya. Ia biarkan tangannya diam sejenak. Menghela napas pendek. Lalu mengambil secangkir kopi yang sudah empat kali diisi ulang. Ia teguk hingga tandas. Sedangkan cerita yang ditulisnya tak kunjung menyentuh halaman kedua ratus lima puluh. Itulah jumlah minimal halaman yang diminta penerbit kepada penulis yang ingin mengajukan naskah. Tujuh puluh sembilan halaman adalah jangkauan terjauh yang pernah ia capai dalam menulis cerita semacam ini. Tapi seperti kata-kata yang senantiasa dihapusnya, tujuh puluh sembilan halaman ini juga mengalami nasib serupa.
Si garis kecil seolah memanggil dari dalam komputer, sedangkan sang tuan belum jua mengetik, meski ide-ide selalu berseliweran di kepala gondrongnya. Mulai dari ide sederhana, hingga yang paling gila.
***
Suatu hari, ia pernah begitu bergairah menuangkan gagasan-gagasan cemerlangnya. Dengan keyakinan penuh ia mengirim naskah itu kepada penerbit. Namun tidak seperti yang diharapkannya, naskah itu ditolak. Suatu hari lain, ia menulis kisah kriminal menegangkan. Kisah yang menurutnya mampu menyaingi ketenaran tokoh fiktif sekelas Sherlock Holmes.
Jangankan dibaca, baru melihat genrenya saja, penerbit langsung mengembalikan naskah itu. Di suatu hari yang lainnya lagi, ia pernah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk riset tentang pohon rambutan. Lalu menggambarkan cerita tentang keluarga rambutan. Seolah-olah tumbuhan itu hidup selayaknya manusia; sekolah dan bekerja. Nasibnya sama seperti cerita apa pun yang pernah ia tulis, ditolak.
***
Calon penulis itu bukannya tidak pandai menulis, sama sekali bukan karena ceritanya yang dikarangnya buruk. Ia mahir merangkai kata. Ia lihai memainkan metafora. Ia juga jago menyisipkan kritik dan pesan moral tanpa menggurui. Calon penulis itu hanya tumbuh di tempat yang tidak seharusnya. Naskahnya selalu ditolak jelas-jelas karena tema yang ia angkat dan target pasar yang diincar tidak sesuai. Dia tahu itu, dan ia sama sekali tidak bisa menghindarinya.
Namun, terkadang ia jengkel mengapa pasar lebih menyukai kisah percintaan klise yang membosankan. Roman-roman picisan bermunculan di mana-mana seperti jamur, sehingga alur ceritanya kerap mengabur dari esensi cinta itu sendiri. Yang muncul kemudian hanya cerita seorang patah hati tengah berusaha melupakan kekasihnya yang pergi dengan seseorang lain.
Lalu dunia seakan-akan menjadi kejam dan tak adil. Seolah-olah orang yang ditinggalkan adalah yang paling sengsara, dan yang meninggalkan adalah orang paling jahat yang pernah lahir di muka bumi. Ah, membayangkannya saja ia ingin muntah.
Namun, ternyata idealisme pun ada ujungnya. Seminggu yang lalu ia menyerah pada keadaan. Seorang kawan memberi tahu ada penerbit baru dirintis, belum sampai satu tahun usianya. Penerbit itu menerima naskah dengan genre romance.
Sebenarnya calon penulis itu enggan membuat cerita percintaan. Namun, seperti yang dikatakan kawannya, penerbit baru tentu belum banyak dikenal, berarti sedikit penulis yang mengajukan naskah mereka, ia punya peluang yang cukup besar untuk bisa diterima. Akhirnya, ditulisnya juga cerita yang selama ini ia anggap menjijikkan. Ia hanya meyakinkan dalam hati bahwa terkadang kita memang butuh menjadi realistis.
***
Dan di sinilah ia sekarang. Di dalam kamar sunyi. Di bawah lampu temaram. Diiringi desah angin yang mencuri masuk lewat lubang-lubang jendela. Ditemani secangkir kopi yang senantiasa diisinya setiap kali habis. Sudah beberapa hari terakhir ia menghabiskan malam dengan cara ini. Namun, tak sekali pun ia merasa puas dengan karangannya sendiri, malah ia jijik. Ia muak. Ditekannya tombol ctrl+A di papan ketik, kemudian delete. Tersisa halaman kosong dengan satu garis kecil yang berkedip-kedip. Selalu begitu setiap ia merasa jengkel dengan gagasannya sendiri.
Tidak pernah sampai dua ratus lima puluh halaman, ia lalu menghapus habis semua kata ketika rasa benci itu menyeruak. Tidak pernah ia menulis dengan perasaan tidak ikhlas seperti ini. Baru beberapa paragraf, dihapusnya. Ditulisnya dengan alur yang lain. Beberapa halaman, dihapusnya lagi. Dibuatnya cerita yang sama sekali berbeda. Namun, dihapusnya lagi ketika sampai beberapa puluh halaman. Begitu seterusnya, dan seterusnya. Hingga empat kali ia mengisi ulang cangkir kopinya, baru sampai pada halaman ke tujuh puluh sembilan. Dan ia sama sekali tidak suka dengan apa yang ditulisnya. Jika ia saja enggan membaca karya sendiri, bagaimana dengan orang lain.
Ctrl+A, Delete. Untuk ke-sekian kali dia menyisakan si garis kecil itu kesepian di layar yang masih putih. Si garis kecil tak sabar menunggu kata apa yang bakal lahir kali ini. Dan lebih tak sabar menunggu pada halaman ke berapa ia kembali ke tempatnya semula.
Sedangkan sang tuan berhenti memainkan jemarinya. Meneguk cangkir kopi terakhir yang sudah dingin. Mengusap wajah dan matanya yang memerah. Menatap jam dinding yang sunyi. Memandang ke luar, ke arah dewi malam yang tenang. Dan merasakan dingin angin menyapu permukaan kulitnya, lalu menjalari sekujur tubuhnya. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tak bisa tersampaikan. Ada sesuatu yang menekan di dada, teramat dalam. Ia mulai memikirkan, keterampilan apa yang ia punya selain menulis. Lalu ia rebah ke atas kasur yang damai. Ia pasrah, dan berpikir tidak akan pernah menjadi penulis.
Matanya berat, kantuk dan putus asa membawanya ke alam ketidaksadaran yang paling dalam.
Sementara itu, si garis kecil setia menanti kata-kata.
***