Adizamzam merupakan nama pena dari Nur Hadi. Biasanya, dia menggunakan ‘nama pena’ ketika sedang menulis karya fiksi seperti cerita pendek (cerpen). Namun, ketika tengah menulis karya nonfiksi seperti esai, dia lebih cenderung menggunakan nama aslinya.
Penulis kelahiran Jepara ini bisa dibilang sangat produktif mengarang beragam genre tulisan mulai esai, puisi, resensi buku, dan cerpen. Dari sekian banyak karya yang telah berhasil ditorehkan, sepertinya Adizamzam lebih banyak menulis cerpen ketimbang jenis tulisan lainnya. Menariknya, cerpen-cerpen karyanya biasanya menyelipkan pesan moral atau hal-hal yang bermuatan religius yang dapat dijadikan sebagai renungan bagi para pembaca.
Selain produktif menulis, menurut saya Adizamzam termasuk cerpenis yang sangat beruntung. Karena karyanya telah banyak dimuat di sejumlah media massa ternama, baik cetak maupun online yang selama ini menjadi incaran para penulis Indonesia, mulai tingkat lokal hingga nasional. Di antara media massa ternama tersebut misalnya Jawa Pos, Koran Tempo, Kompas, Republika, dan Detik.
Hanya Firman Tuhan merupakan buku kumpulan cerpen terbarunya yang terbit Maret (2021) dan kesemuanya pernah termuat di sejumlah media massa di negeri ini. Dilihat dari judulnya (yang diambil dari salah satu judul cerpennya yang pernah dimuat di koran Tribun Jabar (9/4/2017) pembaca seolah langsung bisa membayangkan bahwa ada pesan religius begitu kental yang hendak disampaikan oleh penulis.
Cerpen Hanya Firman Tuhan mengisahkan tokoh lelaki yang sangat taat beragama. Bisa dibilang dia adalah sosok yang sangat memuja Tuhan. Dia begitu taat menjalankan perintah Tuhan, sampai-sampai ibunya pun ditegur saat melakukan transaksi berlumur kebohongan. Bahkan dia mengancam, bila sang ibu terus melakukan kebohongan dalam bisnisnya, dia rela bila tak diakui sebagai anak. Bahkan dia tak keberatan bila harus keluar dari rumah orangtuanya.
Benar saja. Lelaki itu benar-benar keluar dari rumah orangtuanya. Bahkan dia dengan sikap tegas menghapus status perempuan yang telah melahirkannya dari kamus hidupnya. Dia tak mengakui keberadaan sang ibu yang merasa kecewa dan didurhakai oleh anak lelakinya.
Lelaki itu pun pergi mengembara dan merelakan dirinya sebagai kaki dan tangan Tuhan. Ketika dia melihat aksi kemungkaran atau kemaksiatan di jalan, tangannya takkan ragu memukul dan kakinya takkan segan menendang. Dia merasa seperti polisi langit yang diturunkan Tuhan ke Bumi. Hukum-hukum Tuhan takkan bisa ditawar barang sedikit pun darinya. Baginya hitam adalah hitam, dan putih sudah jelas putihnya.
Seiring berjalannya waktu, lelaki itu pun menjadi sosok yang ditakuti oleh para pelaku kemaksiatan. Namanya telah menjadi ikon pedang Tuhan. Dia juga telah memiliki sejumlah pengikut yang setiap saat siap sedia membela dan berjuang bersamanya, berani mati atas nama Tuhan (hlm. 2).
Membaca cerpen yang sarat dengan muatan pesan religius ini, pembaca akan langsung teringat dengan organisasi massa (ormas) Islam yang selama ini dikenal begitu kasar dan keras dalam berdakwah. Tentu hal ini menjadi sebuah ironi, karena hakikatnya Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang terhadap sesama tanpa terkecuali.
Tentu patut dipertanyakan ketika ada orang mengaku muslim yang taat tapi perilakunya tak mencerminkan ketaatan. Bagaimana bisa dia disebut sebagai orang yang ahli ibadah kepada Tuhan bila terhadap sesama. Bahkan kepada ibu kandungnya sendiri bersikap sangat kasar dan kurang ajar?
Sumur Kiai Jalal juga termasuk cerpen (pernah dimuat Detik.com, 5/5/2018) bermuatan pesan religius yang bisa disimak dalam buku ini. Berkisah tentang sosok Kiai Jalal yang memiliki sebuah sumur yang diyakini masyarakat bertuah; bisa menyembuhkan beragam penyakit.
Namun tidak demikian halnya dengan Sami, salah satu santri Kiai Jalal. Meskipun air sumur milik Kiai Jalal selama ini menjadi lantaran orang-orang sembuh dari penyakitnya, tetapi Sami tak percaya dan tak pernah meyakini bahwa air sumur itu bertuah.
Bagi Sami, air sumur itu berkhasiat menyembuhkan penyakit lantaran doa-doa Kiai Jalal yang mustajab serta lantaran nasihat-nasihatnya yang selama ini menyejukkan. Persoalan muncul ketika Kiai Jalal berangkat menunaikan ibadah haji. Orang-orang berdatangan menemui Sami untuk meminta air sumur Kiai Jalal. Di sinilah kesabaran bahkan keyakinan Sami benar-benar diuji.
Orang-orang terus berdatangan menemui Sami untuk bisa mendapatkan air sumur Kiai Jalal. Ternyata, air tersebut tak hanya digunakan untuk keperluan berobat, tapi juga untuk penglaris, pengasih, sampai ada juga yang minta untuk penenang. Kepada orang-orang yang datang, dengan tegas Sami berkata, “Kalau kalian beranggapan air sumur itu bisa menyembuhkan, itu namanya syirik” (hlm. 13). Kesabaran dan keyakinan Sami benar-benar diuji ketika dia sudah tak tahan dengan sikap istrinya yang kerap marah-marah. Dia berharap air sumur Kiai Jalal bisa mengobati perilaku buruk istrinya.
Kisah Sami dalam cerpen ini menurut saya seperti potret perilaku sebagian masyarakat kita yang masih memercayai dan mengandalkan benda-benda yang dianggap bertuah dan bisa menghilangkan penyakit dan kesulitan hidup. Cerpen ini menyiratkan pesan bijak bahwa ketika kita sedang tertimpa ujian berupa penyakit, mestinya selain berdoa kita harus berikhtiar ke dokter.
Ketika ingin berpenghasilan cukup, selain berdoa juga harus berusaha giat bekerja. Bukan malah mencari barang-barang yang dianggap bertuah dan diyakini bisa menyembuhkan penyakit dan menjadi sumber kekayaan.
Cinta Bagi Siti, cerpen yang pernah dimuat Kompas (21/6/2020) juga menyelipkan pesan religius kepada pembaca. Pesan berupa sikap qonaah, atau menerima suratan takdir, yang mestinya selalu kita tanamkan dalam jiwa, agar kita dapat menjalani kehidupan yang penuh ujian ini dengan sabar, tenang, menerima, dan ikhlas.
Dikisahkan, Siti adalah perempuan yang lahir dari keluarga miskin dan ketika menikah pun ia mendapatkan suami yang miskin. Tak hanya miskin, tapi suaminya juga seorang pemalas dan tak bertanggungjawab.
Maka tak heran bila akhirnya Siti bercerai dan menikah lagi dengan lelaki lain. Lelaki yang kaya raya meski usianya terpaut sangat jauh dari usia Siti. Itu semua dilakukan Siti demi membahagiakan ibu, orangtua satu-satunya yang tersisa, dan Bejo, anak lelaki semata wayang hasil dari pernikahannya dengan suami pertamanya.
Kendati orang-orang menggunjing bahkan membenci Siti yang menikah dengan lelaki tua kaya raya, tapi Siti tak peduli. Yang ia pedulikan ialah bagaimana caranya bisa membahagiakan suami, anak, dan ibu kandungnya. Ia berusaha mengenyahkan perasaan-perasaan lain dalam dirinya. Karena baginya, cinta adalah qanaah; menerima suratan takdir (hlm. 110).
Cerpen Rumah Kedua yang pernah dimuat Pikiran Rakyat (3/6/2012) juga menyelipkan pesan religius. Perihal pentingnya menjaga benang kesetiaan pada pada pasangan hidupnya. Kita tentu tahu bahwa dalam ajaran Islam, seorang lelaki diperkenankan untuk poligami, tapi tentu dengan syarat yang sangat berat, yakni bila dia bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Sayangnya, kebolehan berpoligami ini seolah dijadikan alibi bagi sebagian lelaki agar bisa menikah lagi. Dengan alasan, misalnya sudah merasa bosan dan ingin mencari suasana baru dengan pasangan barunya yang lebih muda dan cantik.
Seperti kisah Danar, tokoh utama dalam cerpen Rumah Kedua yang diam-diam telah lama ingin memiliki rumah (istri) baru. Rumah yang bisa memberinya rasa nyaman dan ketentraman batin. Mungkin, dia sudah bosan dan lelah berada di rumah lama dengan lima anak yang pastinya akan menentang keras bila sang ayah minta izin akan menikah lagi.
Hasrat yang tak terbendung membuat Danar melakukan berbagai upaya untuk mencari rumah baru. Tentu saja tanpa sepengetahuan istri tua dan anak-anaknya. Karena bila minta izin pada mereka, sama artinya bunuh diri. Sejak memiliki rumah baru, Danar semakin malas untuk kembali ke rumah lamanya.
Bahkan saking nyamannya di rumah yang baru, terlintas pikiran nakal; dia akan memberikan lebih banyak harinya untuk rumah baru saja. Toh pulang ke rumah lama rasanya seperti pulang ke kuburan (hlm. 73). Kisah Danar dalam cerpen ini cukup sukses memotret kelakuan sebagian lelaki di negeri ini yang memiliki sitri lebih dari satu tapi tak mampu bersikap adil.
Cerpen-cerpen dalam buku ini meskipun sebagiannya bermuatan pesan religius tapi menurut saya tidak terkesan menggurui pembaca. Bisa disimpulkan, cerpen-cerpen yang ditulis oleh Adizamzam selain menghibur juga memberikan semacam ‘pencerahan’ kepada para pembacanya.
****Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.