Stip & Pensil: Ketika Film Mengkritisi Dunia Pendidikan dengan Cara Jenaka

Candra Kartiko | M. Fuad S. T.
Stip & Pensil: Ketika Film Mengkritisi Dunia Pendidikan dengan Cara Jenaka
Film Stip & Pensil (dok. MD Pictures)

Salah satu faktor penting penentu kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan. Jika suatu negara memiliki pendidikan yang memadai untuk rakyatnya, maka bisa dipastikan masa depan cerah menjadi milik mereka. Pun demikian dengan sebaliknya, ketika pendidikan di suatu negara tak berjalan dengan baik, maka bisa dipastikan, masa depan negara tersebut tak akan jauh-jauh dari yang namanya pergolakan di berbagai bidang.

Salah satu hal terpenting yang memegang peran suksesnya pendidikan di suatu negara tentu saja ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Namun sayangnya, di Indonesia, kita masih sering menemukan tidak tersedianya sarana yang memadai untuk dunia pendidikan, atau bahkan tak tersedianya pendidikan untuk kalangan masyarakat tertentu.

Seperti yang diangkat dalam film Stip & Pensil yang rilis pada tahun 2017 lalu, ketersediaan sarana pendidikan menjadi satu hal yang dikritisi dalam film ini. Film berdurasi 98 menit ini dibintangi oleh komika-komika Indonesia seperti Ernest Prakasa (berperan sebagai Toni) dan Ardhit Erwandha (sebagai Aghi), serta dua bintang film papan atas Indonesia, Tatjana Saphira (berperan sebagai Bubu) dan Indah Permatasari (memerankan Saras). 

Film ini menceritakan tentang empat sahabat, Toni, Bubu, Aghi, dan Saras yang dimusuhi oleh anak-anak SMU di sekolahnya karena dua hal, yakni karena mereka kaya dan selalu merasa sok jago dan songong. Hingga suatu ketika, pandangan mereka sebagai anak-anak orang kaya mulai terbuka ketika Pak Adam (Pandji Pragiwaksono) memberikan tugas untuk menulis esai yang mengangkat permasalahan social.

Tak ingin menulis esai yang biasa-biasa saja, mereka berempat sepakat untuk terjun secara langsung ke lapangan, dan memiliki ide untuk membangun sekolah bagi anak-anak miskin yang hidup di kolong jembatan.

Namun ternyata, hal tersebut tak semudah yang mereka kira. Ada saja halangan yang mengganggu keinginan mereka berempat. Mulai dari properti sekolah yang hilang, pemikiran anak-anak dan orang tua yang tak menganggap penting pendidikan, hingga gangguan dari Toro (Arie Kriting) sang kepala suku pemulung.

Belum lagi teman-teman sekolahnya yang selalu meremehkan. Ingin tahu, apa yang akan mereka lakukan demi menyukseskan impian mereka membangun sekolah bagi anak-anak miskin tersebut? Jawabannya ada di film Stip & Pensil yang tayang di layanan streaming kesayangan teman-teman semua.

Dalam film berdurasi 98 menit ini, kita diajak oleh para komika untuk mengetahui realita kehidupan pendidikan di Indonesia. Tak hanya mengenai sarana yang ada, film ini juga memberitahukan kepada kita mengenai pola pikir masyarakat yang masih belum menganggap pentingnya pendidikan bagi masa depan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak