Belajar Seni Tinggal di Bumi, buku dengan 179 halaman ini, meskipun tipis, tapi isinya sangat berbobot. Berisi tentang catatan peristiwa, kisah, nasihat, dan keteladanan yang dikemas di setiap judul yang berbeda. Terdapat 67 tulisan yang dikelompokkan menjadi 6 tema besar, yaitu seni melangkah di bumi, tentang hati yang ingin dicintai, tentang perempuan, manusia langit, dunia di sekitarmu, dan terakhir menapaki keabadian.
Membaca buku Seni Tinggal di Bumi karya Farah Qoonita bisa membuat para pembaca menghidupkan kembali empati. Walau setiap subbabnya singkat, sekitar 1-3 halaman, tapi pembahasannya begitu dalam. Membantu kita untuk terkoneksi dengan dunia sekitar, memahami isu yang terjadi di luar diri, membangkitkan semangat untuk turut berkontribusi menebarkan manfaat di bumi.
Contohny, kita belajar untuk memetik pesan-pesan tersembunyi yang terjadi dalam sehari-hari. “Saat mata kelilipan, tersandung kerikil, digigit nyamuk, tersedak, terbangun di tengah malam, apapun itu, tiap detik kejadian yang berlalu, sesederhana apapun, pikirkanlah baik-baik, cari, dan petik pesan-pesan tersembunyi itu. Dapat hikmah apa hari ini?”. (Seni Tinggal di Bumi halaman 11)
Buku ini tak ubahnya menjadi catatan perjalanan dari penulis memetik setiap hikmah yang ia dapatkan dari sebuah peristiwa. Menghubungkannya dengan Alquran, hadits, kisah-kisah teladan di masa lalu, dan relevansinya terhadap apa yang terjadi hari ini. Misalnya pada subbab Social Climber di halaman 11. Ada jenis manusia yang memandang hierarki sosial dengan satuan materi dan popularitas. Merekonstruksi diri di hadapan orang-orang dengan gaya hidup yang gemerlapan. Apapun dilakukan agar bisa panjat sosial, mendapatkan status di hadapan manusia.
Namun, berkaca pada kisah seorang Bilal bin Rabbah, si budak hitam yang berhasil terkenal di seantero penduduk langit dengan suara terompahnya, lalu Uwais al Qarni yang punya kekuatan magis pada doa-doanya. Rasulullah dan umat islam begitu mengelu-elukan keduanya tanpa melakukan pencitraan apa-apa. Status sosial Bilal dari seorang budak menjadi muadzin dan orang kepercayaan Rasulullah. Keistimewaan Uwais yang menjadi manusia pilihan karena baktinya pada orang tua.Ya dari kisah ini kita belajar bahwa “Setiap orang pasti berambisi untuk berada pada hierarki sosial tertinggi. Hanya saja ada yang derajat ketinggiannya selesai di bumi. Namun, ada juga yang abadi.”
Ada banyak kisah yang coba diceritakan ulang dalam buku ini. Contoh teladan manusia-manusia pilihan yang namanya masih tetap harum didengar hingga hari ini. Bahkan kisahnya begitu menggerakkan dan penuh keteladanan, terutama untuk kita yang haus akan sosok idola.
Kita pasti sering mendengar soal perlombaan di antara para sahabat Rasulullah. Tentang siapa yang paling totalitas dalam memberikan segalanya untuk dakwah. Tentang Abu Bakar dan Umar yang berlomba memberikan hartanya untuk keberlangsungan dakwah Rasulullah. Tentang Sumayyah yang gigih mempertahankan tauhidnya hingga menjadi wanita pertama yang syahid. Tentang Khalid bin Walid, “Pedang Allah yang terhunus”, dan masih banyak lagi. Personal branding yang mereka bangun begitu mempesona.
Mereka membangunnya dengan memberikan peran terbaik untuk islam. Lalu mempersembahkan seluruhnya hanya untuk membela agamaNya. Mereka hanya ingin meraih cinta dan surga Allah semata (Seni Tinggal di Bumi halaman 98). Apa kabar kita yang peduli dengan personal branding hanya untuk kepentingan dirinya sendiri?
Setelah membacanya, aku juga belajar tentang bagaimana seharusnya kita tidak terjebak dalam persoalan pribadi saja. Ternyata di luar sana, ada saudara-saudara kita di Palestina yang hingga kini terus berjuang mempertahankan Al Aqsa, masjid kita semua. Ini bukan hanya soal tanah, harta, atau jabatan di dunia, tapi soal agama kita yang dijajah dan dipermainkan oleh mereka para penjajah. Semoga kita semua senantiasa terus bergerak menentukan peran. Kepada siapa kita berpihak.
Masih banyak insight yang aku dapat dari buku ini. Namun, terakhir akan aku sampaikan tentang pesan manusia istimewa yang terangkum dalam sebuah hadits ini.
“Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang kukhawatirkan menimpa kalian, tapi justru aku khawatir bila kemewahan dunia terbentang di hadapan kalian sebagaimana pernah dihadapi oleh orang-orang sebelum kalian, lalu kalian saling berlomba-lomba untuk mendapatkannya sebagaimana mereka dahulu berlomba-lomba mendapatkannya, dan akhirnya membinasakan kalian sebagaimana dahulu membinasakan mereka.” (HR. Bukhari)
Ya muqollibal qulub, tsabbit qalbi ‘ala diinik.