Ulasan Buku Catatan dari Balik Penjara: Kesedihan Pram Membuat Kuat Menulis

Hernawan | Budi Prathama
Ulasan Buku Catatan dari Balik Penjara: Kesedihan Pram Membuat Kuat Menulis
Foto sampul buku Catatan Dari Balik Penjara, Goresan Pena Revolusi Pramoedya Ananta Toer. (Dok.pribadi/@budiprathama)

Dalam dunia sastra Indonesia, sangat kurang ajar rasanya jika tidak mengenal nama Pramoedya Ananta Toer. Sosok beliau yang dikenal bukan hanya dalam konteks Indonesia tetapi kanca internasional sekalipun. Hal itu terjadi karena Pram mampu menggoreskan sejarahnya dalam perjalanan bangsa Indonesia, lewat pikiran dan gagasannya yang banyak ditorehkan dalam bentuk karya-karyanya.

Hampir setiap perjalanan hidup Pram terus menulis untuk menuangkan ide dan gagasannya sehingga ada banyak karya yang dihasilkan oleh beliau. Baik karya yang dapat dikonsumsi oleh publik hari ini maupun yang tidak sempat dikonsumsi, karena memang ada karyanya yang disengaja diselundupkan, dilarang, ditelantarkan, dan bahkan dibakar. 

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta, pada 30 April 2006 dengan usia 81 tahun. Sepanjang perjalanannya, Pram dianggap sebagai sastrawan yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pram adalah anak pertama dari delapan bersaudara, dari keturunan ayah bernama Mastoer dan ibu Siti Saidah. 

Ayah Pram, Mastoer adalah keturunan priyayi Jawa yang berasal dari Kediri, Jawa Tengah. Sedangkan ibunya anak dari keturunan penghulu agama di Rembang yang semasa sebelum menikah dengan Mastoer telah dididik dengan kehidupan santri tradisional. Jadi, Pram adalah keturunan dari perpaduan dari dua budaya, yakni budaya santri tradisional dan priyayi kejawen-pagan. 

Siti Saidah dikenal oleh Pram sebagai wanita yang kuat, perempuan halus, penyayang dan tetap tegar. Sedangkan Mastoer memiliki karakter yang keras, mendidik anak-anaknya dengan penuh ketegasan. Mengingat Mastoer merupakan salah satu guru yang pernah mengajar di HBS sekolah Belanda. Namun karena terpengaruh dengan konsep nasionalisme Bung Karno dengan tidak melakukan koperasi terhadap pemerintah kolonial, akhirnya ayah Pram mendirikan sekolah Pribumi yakni Sekolah Tingkat Dasar Boedi Utomo. Di mana sekolah tersebut dibubarkan pada masa pemerintahan Jepang karena dianggap sebagai sekolah liar. 

Semenjak pindahnya Mastoer mengajar dari HBS yakni dengan mendirikan sekolah pribumi Boedi Utomo, justru kondisi perekonomian keluarga Mastoer berjalan secara tidak normal. Bahkan seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar dalam keluarga Mastoer. Hal itulah yang membuat ibu Pram (Siti Saidah) bekerja untuk membantu perekonomian keluarga dengan berjualan nasi dan juga beras. 

Pramoedya Ananta Toer sejak kecil sering terdiskriminasi di dalam keluarganya sendiri. Pram terlahir dengan kondisi yang tidak terlalu normal-normal, sehingga itu sangat mempengaruhi sikap dan kemampuan Pram dalam menempuh pendidikan. Hal itu terbukti, saat Pram menempuh pendidikan di sekolah ayahnya, di mana waktu itu Mastoer bertindak sebagai kepala sekolah. 

Pram dianggap sebagai anak yang bodoh, bahkan kata-kata tersebut sering keluar dari mulut Mastoer ayah Pram sendiri. Pram acap kali dianggap sebagai anak yang bodoh dibanding dengan saudara-saudaranya yang lain. 

Itu terjadi karena Mastoer tidak ingin agar anak-anaknya nanti tidak tumbuh sebagai anak yang cerdas. Sehingga itulah yang membuat Mastoer sangat keras terhadap anaknya terutama Pram, karena kecerdasan Pram terlampau jauh dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain. 

Hal itu terbukti, saat Pram sempat tidak naik kelas selama tiga tahun berturut-turut. Kondisi itulah yang memaksa Pram untuk keluar dari sekolah selama satu tahun dan melakukan belajar mandiri di rumah dengan bimbingan ayahnya. Setelah belajar mandiri dari rumah, Pram kembali masuk sekolah dan bisa tamat dalam jangka 10 tahun. 

Berhubung Mastoer terlanjur keras terhadap Pram dan menganggapnya sebagai anak yang bodoh. Mastoer menyuruh Pram untuk kembali belajar dari sekolah tersebut yang baru-baru saja ia tamati, meskipun keinginan Pram untuk melanjutkan pendidikan pada level berikutnya sangat tinggi. 

Akan tetapi, Mastoer tidak mengijinkan malahan menyuruh kembali belajar di Sekolah Tingkat Dasar, Pram pun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti perintah ayahnya dan ia pun kembali ke sekolah tersebut. Pram menempuh pendidikan di Sekolah Tingkat Dasar berjalan selama belasan tahun. 

Kondisi itulah yang sangat mempengaruhi pikiran dan perasaan Pram. Pram selalu berontak dengan jiwanya sendiri, ia merasa tertekan dan penuh dengan penderitaan dalam menjalani kehidupan. 

Seakan harapan yang ia gantungkan musnah karena tidak ada yang mendukung, Mastoer sebagai ayah kandung yang seharusnya memberikan semangat namun justru dialah yang selalu memojokkan dan membuat Pram semakin sedih. 

Itulah yang terus membuat Pram melawan dengan dirinya sendiri, hanya saja Pram masih punya ibu yakni Siti Saidah. Siti Saidah adalah sandaran Pram satu-satunya, sehingga itulah yang membuat Pram sangat besar cintanya kepada ibunya ketimbang dengan ayahnya. 

Di balik kesedihan dan kesendiran Pram atas tidak ada penyemangat hidup dari ayahnya sendiri. Pram justru menuangkan kesedihannya itu dalam bentuk tulisan, seringkali kesedihan Pram selalu ia tuangkan dalam bentuk tulisan. Kondisi itulah yang membuat Pram untuk meminati dunia kepenulisan. 

Namun, hal itu tidak pernah dilihat oleh Mastoer bahwa Pram sebenarnya punya kelebihan dalam hal tulis menulis, Pram selamanya dianggap oleh ayahnya sendiri sebagai anak yang bodoh. Karena sering terdiskriminasi, maka hal itu juga yang membuat Pram terbatas pergaulannya dengan anak-anak bangsawan pada waktu itu. 

Justru kondisi itulah yang membuat Pram banyak berteman dengan anak petani atau anak keturunan pribumi. Di situlah Pram juga banyak belajar mengenai nasib dan kondisi masyarakat pribumi di atas kekang sistem kolonialisme dan feodalisme. 

Setelah berjalan lama kondisi perekonomian keluarga tidak berjalan dengan normal, hal itu juga yang sangat mempengaruhi pikirannya yang tidak karuang. Kepusingan Mastoer dalam memenuhi kebutuhan keluarganya sehingga amarahnya itu sering ditumpahkan kepada anaknya terutama Pram. 

Lama-kelamaan atas keadaan tersebut, Mastoer hampir tidak bertanggungjawab lagi kepada keluarganya sendiri. Mastoer lebih suka melakukan tindakan yang merugikan dirinya sendiri dengan mencari kesenangan di luar dan sering melakukan perjudian. Hal itu kerap kali ditegur oleh Siti Saidah dan mertuanya ibu Siti Saidah, namun tetap ia tidak mengindahkan hal tersebut. 

Kondisi itulah yang mau tidak mau, Siti Saidah harus bekerja keras untuk dapat memberikan kebutuhan kepada anak-anaknya. Pramoedya Ananta Toer waktu itu juga membantu ibunya sembari mengenyam pendidikannya di Jakarta. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak