Mengenal Sastrawan pada Masa Orde Baru: Siapa Sapardi Djoko Damono?

Hernawan | Silvia Dewi Rahmawati
Mengenal Sastrawan pada Masa Orde Baru: Siapa Sapardi Djoko Damono?
Sastrawan dan budayawan Sapardi Djoko Damono saat menjadi pembicara pada peluncuran penerbitan ulang buku puisi dwi bahasa "The Birth of I Lagaligo", Makassar, Sulsel, Jumat (28/6). ANTARA/Dewi Fajriani/ss/Sp/pri.

Siapa yang tidak kenal dengan Sapardi Djoko Damono? Beliau sangat dikenal sebagai seorang penyair. Tak hanya itu, beliau juga dikenal sebagai dosen, pengamat sastra, kritikus sastra, dan ahli sastra. Beliau lahir di Solo, 20 Maret 1940 sebagai anak pertama dari pasangan Sadyoko dan Saparian. Kemudian Sapardi Djoko Damono menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai dua anak yang bernama Rasti Sunyandani dan Rizki Henriko. 

Pendidikan yang dijalani oleh beliau yaitu Sekolah Rakyat Kraton di Solo. Kemudian dilanjutkan di SMP Negeri II Solo. Setelah menuntaskan pendidikan SMA, ia kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan Jurusan Sastra Inggris.

Pada tahun 1970-1971, ia juga pernah mempelajari lebih dalam tentang pengetahuan humanities di University of Hawaii, Amerika Serikat. Pada tahun 1989 Sapardi Djoko Damono ini memperoleh gelar doktor pada ilmu sastra menggunakan disertasi yang berjudul "Novel Jawa Tahun 1950an: Telaah Fungsi, Isi, & Struktur". Kemudian pada tahun 1995 ia ditetapkan menjadi guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.

Pada tahun 1968-1973, dia diangkat menjadi dosen tetap pada Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Diponegoro. Sejak tahun 1974 ia juga bekerja menjadi dosen tetap di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Indonesia. Pada tahun 1979-1982, ia juga menjabat sebagai Pembantu Dekan III, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, kemudian diangkat menjadi Pembantu Dekan I tahun 1982-1996.

Pada tahun 1996-1999, Sapardi Djoko Damono akhirnya menjabat sebagai Dekan di fakultas dan universitas yang sama. Dia memasuki masa purna tugas menjadi guru besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia tahun 2005, tapi masih diberi tugas menjadi penganjur konsultan dan penguji pada beberapa perguruan tinggi, termasuk sebagai konsultan Badan Bahasa.

Sapardi banyak sekali menghadiri pertemuan-pertemuan internasional, seperti pada tahun 1971 ia menghadiri Translation Workshop dan Poetry International, Rotterdam di Belanda. Pada tahun 1978, Sapardi Djoko Damono juga sempat menghadiri Seminar on Literature and Social Change in Asia pada Australia National University, Camberra, dan menjadi penulis pada Festival Seni pada Adelaide. Pada tahun itu juga ia mengikuti Bienale International de Poesie pada Knokke-Heusit, Belgia.

Pada tahun 1978 Sapardi pernah menjabat sebagai Country Editor majalah Tenggara Journal of Southeast Asian Literature, Kuala Lumpur. Sejak 1982 dia tercatat menjadi anggota penyusun Anthropology of Asean Literature, COCI, ASEAN. Tahun 1988, Sapardi sebagai panelis pada Discussion & menjadi anggota Komite Pendiri Asean Poetry Centre pada Bharat Bhavan, Bhopal, India. Semua hal itu merupakan usaha Sapardi untuk mendukung pengembangan kariernya menjadi sastrawan.

Tangkapan layar saat perkuliahan daring mata kuliah Sejarah Sastra Indonesia (DocPribadi/Silvia)
Tangkapan layar saat perkuliahan daring mata kuliah Sejarah Sastra Indonesia (DocPribadi/Silvia)

Menurut A. Teeuw pada bukunya, Sastra Indonesia Modern II (1989) menyatakan bahwa Sapardi merupakan seseorang cendekiawan muda yang mulai menulis kurang lebih pada tahun 1960. Pada puisi Sapardi, ada perkembangan yang sangat terlihat terutama pada hal susunan formal puisi-puisinya.

Puisi Sapardi banyak dikagumi, salah satunya oleh Abdul Hadi W.M.. Ia mengatakan bahwa puisi Sapardi cenderung menggunakan persajakan Barat sejak akhir abad ke-19 yang diklaim simbolisme. Beberapa penghargaan dan hadiah sastra yang diterima Sapardi Djoko Damono atas prestasinya pada menulis puisi, yaitu pada tahun 1963 beliau menerima Hadiah Majalah Basis atas puisinya "Ballada Matinya Seorang Pemberontak".

Pada tahun 1978 Sapardi Djoko Damono mendapat penghargaan Cultural Award berdasarkan Pemerintah Australia; tahun 1983 memperoleh hibah Anugerah Puisi-Puisi Putera II buat bukunya Sihir Hujan berdasarkan Malaysia; tahun 1984 menerima hadiah berdasarkan Dewan Kesenian Jakarta atas bukunya yang berjudul Perahu Kertas; tahun 1985 mendapat Mataram Award; dan pada tahun 1986 beliau mendapat hibah SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) berdasarkan Thailand, dan masih banyak lagi.

Sumber: Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak