Pernikahan adalah sesuatu hal yang tak bisa dibuat main-main. Pernikahan bagus dijalankan bagi yang benar-benar menginginkannya. Bukan atas dasar keterpaksaan, apalagi karena ada niat yang keliru, misalnya ingin balas dendam atau mengeruk kekayaan pasangannya kelak.
Bicara tentang ‘keinginan menikah’ realitas memaparkan, tak semua orang menikah karena atas keinginannya sendiri. Bisa jadi, ada sebagian orang yang terpaksa menikah karena dorongan atau bahkan paksaan orangtuanya. Misalnya karena dijodohkan dengan seseorang yang belum dikenalnya dan tak dicintainya, sementara ia tak bisa menolak keinginan orangtuanya.
Hal yang harus dipahami bahwa menikah dengan orang yang salah atau kurang tepat tentu akan menyebabkan sederet persoalan di kemudian hari. Misalnya, terjadinya pertikaian karena tak bisa saling memahami karakter satu sama lain. Bahkan dampak buruk menikah tanpa didasari rasa suka bisa berujung pada perceraian.
Bicara tentang pernikahan, ada kisah menarik yang bisa kita simak dalam Buku “Jurnal Cerpen Indonesia (Edisi 11); Buku Cerita, Sosok, Kota”. Jurnal tersebut berisi lima cerpen karya lima penulis berbeda, dan tiga buah esei yang ditulis oleh tiga penulis berbeda pula.
Namun saya hanya akan membahas satu cerpen yang berjudul “Silariang” karya Emil Akbar. Silariang artinya adalah kawin lari. Dikisahkan, Andi Saeba adalah perempuan dari keluarga bangsawan yang sudah berumur tapi belum kunjung menikah. Sebenarnya dia pernah jatuh hati dengan seorang lelaki yang masih kerabatnya sendiri, yakni La Saddang. Ibunya La Saddang adalah adiknya ayah Andi Saeba.
Dulu, ibunya La Saddang yang masih tergolong kaum bangsawan lancang menikah dengan lelaki biasa hingga dicoret dari silsilah keluarga. Sebab darahnya sudah tercemar dan kelak anaknya bukan lagi keturunan bangsawan. Pun tidak berhak atas warisan.
Garis hidup yang harus ditanggung La Saddang begitu pedih. Ia menjadi anak yatim piatu setelah ibunya meninggal dunia. Ibunya melepaskan nyawa lantaran tak mampu menanggung derita dan segala gunjing yang menghimpit dada. Merasa dikucilkan hingga mati dengan kesendiriannya. Menyusul suaminya yang dibunuh karena serong, melarikan istri orang.
Ayahnya Andi Saeba akhirnya mau memelihara La Saddang. Tapi tak diperlakukan sebagai anak, melainkan babu. Ketika La Saddang beranjak besar ia menyukai Andi Saeba. Mereka berdua saling menyukai satu sama lain. Tentu saja hal tersbeut ditentang oleh orangtua Andi Saeba.
La Saddang terusir dari rumah: “Anak tidak tahu diuntung. Tidak punya rasa hormat. Anakku adalah junjunganku dan kau hendak merusaknya? Tidak akan kubiarkan! La Saddang, kau mewarisi darah jelek ibumu. Pergi kau dari sini!” (halaman 39).
Singkat cerita, La Saddang akhirnya menikah dengan Halima, perempuan yang cukup dikenal oleh Andi Saeba. Sebenarnya, Halima dulu pernah pernah punya pacar bernama Andi Jamaluddin, pria yang bukan keturunan bangsawan tapi kaya dan akhirnya dijodohkan dengan Andi Saeba.
Kisah Andi Saeba masih panjang dan berliku. Bahkan berakhir mengenaskan. Karena di hari pernikahannya, justru Andi Jamaluddin kabur bersama Halima. Dulu, saat Halima menikah dengan La Saddang, ternyata Halima sudah tidak perawan.