Palembang, kota tertua di Indonesia, yang pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 masehi. Sejarah mencatat, dulunya sejak zaman Sriwijaya, Palembang menjadi kota perdagangan penting yang mengundang para pendatang dari berbagai penjuru dunia. Sehingga tidak mengherankan, ada beragam peninggalan sejarah dengan corak kebudayaan asing di sana.
Sekali lagi, peninggalan-peninggalan yang masih ada sampai hari ini membuktikan bahwa Palembang dulunya pernah disinggahi banyak budaya dan etnis, yang sampai saat ini menjadi kekayaan budaya yang menarik dan patut diperkenalkan ke khalayak ramai. Tak terkecuali Pulau Kemaro, tempat wisata sejarah satu ini adalah saksi bisu kisah cinta beda etnis yang berujung tragis!
Kisah Tan Bun An dan Siti Fatimah
Mengutip dari laman Indonesia.go.id (12/2/2021), sebuah prasasti di sudut pulau merangkum kisah cinta seorang pangeran dari Tiongkok bernama Tan Bun An dengan gadis bangsawan Palembang bernama Siti Fatimah.
Kisah mereka bermula dari kedatangan Tan Bun An ke Palembang untuk berniaga. Pangeran dari Tiongkok itu kemudian bertemu Siti Fatimah, jatuh cinta, lalu menjalin tali kasih. Suatu ketika dengan restu orang tua Siti Fatimah, Tan Bun An membawa Siti Fatimah ke Tiongkok untuk bertemu keluarganya.
Dua sejoli itu kemudian kembali ke Palembang dengan dibekali tujuh buah guci, pemberian orang tua Tan Bun An. Sesampainya di Palembang, Tan Bun An memeriksa isi guci tersebut, dan kecewalah dirinya sebab dilihatnya guci-guci itu hanya berisi sawi-sawi asin, tak sesuai dengan perkiraannya.
Tan Bun An yang kecewa karena mengharapkan hadiah emas dari orang tuanya itu pun murka, dan membuang guci-guci itu ke aliran sungai dengan penuh amarah.
Namun ketika guci terakhir yang hendak dibuangnya itu pecah, terperanjatlah Tan Bun An kala menyaksikan serakan perhiasan dan logam emas yang keluar dari guci tadi.
Rupanya orang tua Tan Bun An sengaja menempatkan sawi-sawi asin itu untuk menyiasati perampokan yang seringkali terjadi pada masa itu.
Tanpa pikir panjang lagi, Tan Bun An langsung terjun ke sungai bersama pengawalnya untuk mengambil kembali guci-guci yang telah dibuangnya tadi. Namun nahas, keduanya tak kunjung kembali ke permukaan sehingga Siti Fatimah yang dirundung cemas tak tertahan itu, ikut menceburkan diri sambil berujar, jika ada tanah yang muncul di permukaan Musi, maka itu adalah makam mereka.
Beberapa waktu kemudian dari tempat dua sejoli itu meregang nyawa, muncul Pulau Kemaro yang salah satu sudutnya terdapat tiga gundukan yang dipercaya masyarakat sebagai makam Siti Fatimah, pangeran Tiongkok, dan seorang pengawalnya.
Pulau Kemaro Saat Ini
Saat ini Pulau Kemaro menjadi destinasi wisata penting di Palembang, dan akan sangat ramai saat perayaan Cap Go Meh tiba. Ribuan warga Tionghoa dari sejumlah kota baik di Sumatera ataupun luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Tiongkok berduyun-duyun bertandang ke Pulau Kemaro.
Beragam aktivitas mereka lakukan, seperti bersembahyang, pergelaran acara kesenian, melepaskan ribuan lampion, juga makan bersama. Pulau Kemaro sendiri terletak di sekitar 6 km dari Jembatan Ampera, berada di daerah industri, yakni di antara Pabrik Pupuk Sriwijaya dan Pertamina Plaju dan Sungai Gerong. Untuk sampai ke Pulau Kemaro kamu bisa menumpang akomodasi perahu ketek dengan tarif pulang-pergi, normalnya berkisar Rp 200.000 - Rp 300.000 per 10 orang.
Nah, setelah menyimak kisah tadi, berminatkah kamu menyaksikan langsung bukti tali kasih dua sejoli di Pulau Kemaro?