Islam adalah agama yang membawa kerahmatan. Buah dari kerahmatan Islam adalah diakuinya keragaman pendapat, paham, mazhab, dan pandangan. Sungguh sama sekali tidak patut jika suatu pemahaman manusia dinobatkan sebagai satu-satunya pemahaman yang paling benar.
Isi kepala, budaya, kepentingan, dan keilmuan yang berbeda ini sulit untuk diseragamkan. Maka, ketidakseragaman ini sejatinya adalah keniscayaan yang alamiah sebagai sebuah sunnatullah.
BACA JUGA: 'Pride and Prejudice': Novel Klasik yang Tak Lapuk Dimakan Usia
Banyak riwayat yang menuturkan bahwa perbedaan pendapat dalam suatu hukum Islam telah terjadi sejak masa hidup Nabi Muhammad. Di antara riwayat yang paling terkenal, sebagaimana disebutkan dalam buku ini, pertama adalah perbedaan pendapat di antara para sahabat di saat menjalankan perintah Nabi Saw dalam perjalanan menuju Bani Quraizah.
Kedua, para sahabat berbeda pendapat mengenai para tawanan Perang Badar. Abu Bakar beserta para sahabat lainnya berpendapat untuk mengambil tebusan dari para tawanan tersebut. Sementara Umar bin Khattab berpendapat supaya para tawanan dieksekusi saja. Nabi Saw memutuskan mengambil pendapat pertama.
Lalu, bagaimana kita menyikapi keberagaman ini? Bagaimana cara kita hidup tetap akur di tengah perbedaan?
Kita semua harusnya senantiasa merawat damainya Islam yang teduh, sejuk dan bersahabat. Agar kita semua mampu menjunjung keselamatan dan kedamaian.
Edi AH Iyubenu dalam buku ini mengajak apa yang telah diyakini benar untuk tidak diproklamirkan sebagai satu-satunya kebenaran.
Kalaupun kita sedang mengikuti suatu pemahaman atau aliran Islam dan meyakininya sebagai kebenaran, seyogianya ia ditempatkan dalam ruang milik kita dan buat kita semata, di sebuah lingkungan yang khusus, bukannya diproklamasikan dengan heroik yang hanya memantik kerawanan bertabrak-tabrakan dengan ruang-ruang publik lain yang di dalamnya dihuni pula oleh keragaman pemahaman (hlm. 82).
Di dalam sebuah perbedaan, termasuk dalam hukum-hukum Islam, biarlah Allah yang kelak memutuskan tentang kebenarannya. Di dalam menyikapi suatu perbedaan, kita harus saling menghargai dan menghormati.
Ali bin Abi Thalib pernah bernasihat, "Jika kita tidak sama dalam pemahaman, kita bersaudara dalam iman. Jika kita tidak sama dalam iman, kita bersaudara dalam kemanusiaan."
Maka, tidak pantas bagi kita, dalam paham, aliran, dan mazhab Islam apapun untuk jatuh-menjatuhkan, jelek-menjelekkan, sesat-menyesatkan dan kafir-mengkafirkan.