Ulasan Buku 'Yang Belum Usai', Tentang Mengapa Manusia Punya Luka Batin

Hernawan | Akramunnisa Amir
Ulasan Buku 'Yang Belum Usai', Tentang Mengapa Manusia Punya Luka Batin
Yang Belum Usai (Dokumen pribadi/Akramunnisa)

Akhir-akhir ini isu tentang kesehatan mental sedang marak menjadi perbincangan bagi para millenial dan Gen Z. Adanya stress di lingkungan akademik, keluarga, sosial maupun dunia kerja membuat rawan tertekan dan merasa ada yang salah dengan kondisi psikologisnya. Tapi sebelum buru-buru self diagnosed, ada baiknya mencari tahu dulu dengan membaca banyak referensi agar tidak asal memberi justifikasi pada diri sendiri. 

Salah satu referensi yang ringan dan bisa dibaca oleh semua kalangan adalah buku dengan judul Yang Belum Usai, yang dikeluarkan oleh Pijar Psikologi dengan beberapa penulis di dalamnya.  

Nah buku ini bercerita tentang luka batin dan bagaimana cara untuk pulih darinya. Barangkali ada di antara kita yang menganggap diri sendiri normal secara psikologis. Tapi ternyata sering merasa sedih dengan hal-hal sepele, sesuatu yang buat kebanyakan orang itu biasa-biasa saja, tapi bagi kita bisa bikin kepikiran. Kadang merasa hampa, tidak menemukan makna, selalu merasa bersalah dan meragukan diri sendiri. 

Ternyata hal-hal negatif yang terjadi di dalam diri seperti di atas bisa jadi adalah luka batin yang belum sembuh. Luka  itu berasal dari trauma, emosi kuat yang berasal dari peristiwa masa kecil (primal wounds), maupun perasaan yang tidak disadari dan belum terselesaikan secara tuntas (unfinished business). 

Di antara sumber-sumber luka batin ini, ada pembahasan menarik tentang primal wounds. Yakni didikan pengasuh atau pola parenting yang seseorang dapatkan semasa kecil, yang akan sangat berdampak pada mekanisme pertahanannya ketika menghadapi masalah saat dewasa kelak. Hal-hal seperti ini amat banyak terjadi di sekitar kita.  

Seseorang yang sebenarnya mampu dalam mengerjakan sesuatu tapi terus menerus merasa dirinya tidak berguna, boleh jadi semasa kecilnya selalu disalahkan orang tua, dan tidak mendapatkan kepercayaan. Orang tua yang jarang memberikan afeksi dan dukungan kepada anaknya sedari kecil, tidak jarang akan membesarkan anak yang seumur hidupnya merasa tidak berharga dan tidak pantas dicintai.  

Salah satu upaya untuk mengobati luka batin adalah dengan melakukan journaling. Mencatat dengan detail setiap perasaan negatif yang mulai muncul. Menguraikan akar-akarnya sampai kita tahu betul jenis perasaan yang dialami. Kemudian melihat dengan lebih dalam apakah dibalik perasaan negatif itu, ada makna atau hal-hal positif yang tersembunyi. Jangan lupa membuat gratitude journal setiap harinya. Mencatat hal-hal yang patut disyukuri akan membuat kita relatif lebih bahagia dalam menjalani hidup dan bisa memandang hidup ini dengan lebih baik. 

Ibarat luka fisik, luka batin itu adalah rasa sakit yang perlu diupayakan kesembuhannya agar kita bisa hidup lebih tenang. 

Time heals nothing, kata penulis. Waktu tidak bisa menyembuhkan luka. Luka itu perlu dicari letak keberadaannya, dirawat dan diobati hingga ia benar-benar pulih. 

Dengan mengetahui dan membersihkan hal-hal yang belum usai di dalam diri kita, semoga itu bisa menjadi salah satu upaya untuk hidup lebih tenang dan bahagia.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak