"Film Srimulat: Hidup Memang Komedi," karya Fajar Nugros, tengah menyuguhkan pengalaman segar kepada penonton di bioskop. Film ini bukan hanya hiburan bagi para penggemar grup lawak Srimulat, tetapi juga sebuah janji akan keceriaan dan kehangatan dalam setiap adegannya.
Dengan ensemble penuh talenta muda, seperti Bio One, Indah Permatasari, Morgan Oey, Dimas Anggara, dan Naimma Aljufri, film ini nggak hanya mengajak penonton bernostalgia, tetapi juga merayakan keberagaman dalam dunia seni peran.
Melalui kisah sekuel ini, Srimulat nggak hanya menunjukkan sisi kehidupan yang lucu dan menghibur, tetapi juga menggambarkan perjalanan emosional anggota grup. Mereka berada di Jakarta, berusaha keras untuk membuat debut di panggung televisi nasional.
Nggak hanya merayakan puncak karier Srimulat saat tampil di layar kaca nasional, tetapi juga menggambarkan perjalanan panjang dan berliku untuk mencapai impian besar di panggung hiburan nasional. Proses menuju penampilan di TV nasional bukanlah perkara mudah, para anggota Srimulat harus belajar dalam memahami bahasa Indonesia dan penemuan gaya komedi yang sesuai untuk setiap individu di grup tersebut.
Ulasan:
Film ini menjadi kelanjutan yang dinantikan setelah kesuksesan "Srimulat: Hil yang Mustahal" tahun lalu yang begitu kocak. Meskipun tetap mempertahankan nuansa kehumoran yang khas, sayangnya, beberapa aspek mengundang pertanyaan.
Secara umum, film tetap menyajikan tawa yang khas Srimulat. Aktor-aktor muda seperti Bio One, Indah Permatasari, Morgan Oey, Dimas Anggara, hingga Naimma Aljufri, sukses menghadirkan komedi yang menghibur. Emosi mereka berhasil meresap ke penonton, menunjukkan kualitas akting yang memukau.
Penting untuk dicatat bahwa sebagian besar pemeran utama nggak hanya berasal dari etnis Jawa, jadi terasa menghadirkan perspektif multikultural yang menarik. Ini bukan hanya sekadar langkah maju dalam dunia perfilman Indonesia, tetapi juga sebuah pesan bahwa keindahan komedi Srimulat dapat dirasakan dan dihargai oleh berbagai kalangan tanpa memandang latar belakang etnis.
Namun, satu aspek yang cukup mengusik adalah penggunaan lebih dari setengah jam untuk menampilkan kembali scene dari film sebelumnya. Rekap yang terlalu panjang ini cukup mengganggu alur cerita, memberikan kesan bahwa film ini seolah terpotong-potong dan lebih baik disajikan sebagai satu kesatuan tanpa perlu dipecah menjadi dua bagian. Meskipun mengingatkan penonton pada film sebelumnya, alias bisa dianggap sebagai upaya untuk menyambungkan dua kisah, akan tetapi sebaiknya nggak sepanjang itu rekapnya, agar lebih efisien.
Fajar Nugros, sang sutradara, berhasil mengeksekusi film ini dengan penuh hati. Pengembangan karakter dalam film juga berhasil ditonjolkan melalui momen-momen penting. Ini memberikan dimensi yang lebih dalam pada cerita dan memperkaya pengalaman penonton.
Meski begitu, aku cuma bisa kasih skor 6/10. Penilaian ini terutama disebabkan oleh pengulangan scene yang terlalu panjang. Sebenarnya, dengan perhatian lebih terhadap struktur naratif, "Srimulat: Hidup Memang Komedi" bisa menjadi karya yang lebih unggul. Selamat menonton, ya! []