Review Film Pulang Tak Harus Rumah dalam Aspek Psikologis yang Sarat Makna

Hernawan | Athar Farha
Review Film Pulang Tak Harus Rumah dalam Aspek Psikologis yang Sarat Makna
Foto Film Pulang Tak Harus Rumah (Lembaga Sensor Film)

Film Pulang Tak Harus Rumah menjadi perbincangan hangat sejak penayangannya pada 15 Januari 2024. Filmnya tercipta atas kerja sama Dinas Pendidikan Makassar, yang mana, menjadikannya sebagai film khusus untuk menyemarakan dunia pendidikan di Sulsel, sekaligus persembahan bagi pendidikan seluruh Indonesia. Filmnya disutradarai oleh Rusmin Nuryadin dan diproduksi oleh DL Entertainment dengan pemain utama: Alfi Rafael Karim, Abdul Roojak, Jelov Thalia Matarru, Michelle Amelia C Liliputra, dan Iwan Coy. 

Film Pulang Tak Harus Rumah mengisahkan Jeihan, yang ditinggal oleh Inarah, ibunya. Singkat cerita, Jeihan akhirnya mendapati dirinya tinggal bersama kakek di kampung. Meski sang kakek berusaha membuatnya betah, tingkah laku tinggi hati Jeihan suka bikin kakek kesal juga khawatir. 

Di kampung, Jeihan berteman dengan Uleng, gadis bersahaja yang mengajaknya menjelajahi berbagai aktivitas di desa. Namun, persahabatan Jeihan dan Uleng teruji saat mereka terlibat pertengkaran yang membuat kakek murka. Konflik ini mendorong Jeihan untuk melarikan diri ke hutan, tempat satu-satunya yang menyediakan sinyal ponsel.

Namun, di sana, dia menemui kendala dengan kehadiran Emmang, seorang preman yang menguasai wilayah itu. Pada akhirnya, segala masalah dan rahasia di balik kisah ibunya yang nggak kunjung pulang, harus Jeihan selesaikan. 

Analisis Psikologis Film Pulang Tak Harus Rumah

Dalam "Pulang Tak Harus Rumah", penyajian karakter-karakter yang kaya akan nuansa psikologis memperkaya pengalaman menonton, dengan memahami perjalanan emosional yang kompleks dari setiap tokoh.

Jeihan, sebagai karakter utama, menjadi pusat perhatian. Dia mencerminkan perasaan terabaikan dan pencarian identitas diri yang umumnya dialami remaja. Ditinggal oleh ibunya, Inarah, dan dihadapkan pada konflik dengan kakeknya. Jeihan mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan batinnya untuk mencari pemahaman tentang dirinya.

Sifat tinggi hati dan perasaan kurang dihargai menciptakan gambaran ketidakpastian yang melekat pada masa remaja, di mana individu berjuang untuk menemukan jati diri dan meraih penerimaan sosial. Pertemuannya dengan Uleng memperlihatkan dorongan manusia untuk diterima dan memiliki ikatan emosional, yang mana, menciptakan dimensi lebih dalam terkait kebutuhan sosial. 

Karakter Kakek Jeihan menambah lapisan konflik dengan menghadirkan gambaran konflik generasi. Usaha kakek untuk membuat cucunya betah di kampung terhambat oleh perbedaan nilai dan pandangan hidup antar generasi. Di sini, karakter kakek mencerminkan tantangan orang dewasa dalam memahami dan mendukung pertumbuhan anak muda, sementara dirinya terkendala oleh ‘kebuasan prilakunya’ dan ‘kebiasan perilaku cucunya’.

Uleng, dengan sifatnya yang bersahaja. Pertemanannya dengan Jeihan membawa aspek kontras antara kehidupan desa yang sederhana dengan kompleksitas kehidupan Jeihan yang dahulu. Dalam pemahaman karakter Uleng, penonton dapat mengeksplorasi kebijaksanaannya dalam melihat kehidupan, meskipun dari sudut pandang yang lebih sederhana. Karakter seperti Uleng seringkali menjadi katalisator dalam memperkaya pandangan hidup tokoh utama.

Pertemuan Jeihan dengan Emmang di hutan menambah dimensi yang lebih gelap dalam analisis karakter. Emmang, sang preman, dapat diartikan sebagai representasi konflik internal dan ancaman Jeihan. Bagaimana Jeihan menanggapi situasi itu, menjadi kunci dalam memahami kekokohan batin dan perkembangan karakternya. Pada titik ini, penonton, seandainya cukup peka, akan dapat menyoroti ketegangan internal yang muncul dalam menghadapi tantangan yang lebih keras dalam kehidupan.

Pada akhirnya, "Pulang Tak Harus Rumah", kendatipun secara produksi bukan film yang wah banget, tetapi bila penonton nggak terlalu berekspektasi, kemungkinan akan bisa merasakan sensasi perjalanan emosional yang kompleks dari setiap tokoh. Skor dariku, nggak ada! Sulit rasanya untuk menilai aspek psikologis, lebih mudah rasanya bila menilai aspek teknisnya. Coba, deh, ditonton! 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak