"Laskar Pelangi" disutradarai oleh Riri Riza dan diproduksi oleh Miles Films, Mizan Productions, dan SinemArt.
Film ini membekas dalam perfilman Indonesia karena berhasil meraih Piala Citra untuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik, dan Pemeran Utama Pria Terbaik di Festival Film Indonesia 2008. Film diadaptasi dari novel terkenal karya Andrea Hirata dengan judul yang sama, dengan durasi sekitar dua jam.
"Laskar Pelangi" mengisahkan perjuangan anak-anak di desa Gantong, Belitung Timur, Indonesia, untuk mendapatkan pendidikan layak di SD Muhammadiyah yang hampir ditutup.
Dipimpin oleh Ikal (Zulfani Pasha), mereka menghadapi berbagai rintangan, termasuk kondisi fisik sekolah yang buruk dan tekanan ekonomi.
Bersama teman-temannya seperti Lintang (Ferdian), Mahar (Verrys Yamarno), dan Harun (Jeffry Yanuar), mereka membentuk "Laskar Pelangi" dan bertekad meraih impian.
Kisah ini juga menyoroti hubungan Ikal dengan guru kesayangannya, Bu Mus (Cut Mini), yang memberikan inspirasi dan dukungan baginya dalam mengejar impiannya.
Ulasan Film Laskar Pelangi
Dalam "Laskar Pelangi," gambaran tentang pendidikan yang layak sangatlah menyedihkan. Salah satu momen yang sangat menyedihkan adalah ketika SD Muhammadiyah, tempat para anak-anak karakter utama bersekolah, hampir ditutup karena minimnya siswa dan keterbatasan dana.
Ditambah kondisi fisik sekolah yang buruk, film ini menjadi representasi yang menyedihkan dari sistem pendidikan yang terpinggirkan.
Gedung sekolah yang tua dan rusak menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap infrastruktur pendidikan di daerah pedalaman.
Anak-anak harus belajar di kelas-kelas yang nggak memadai, dengan bangku dan meja yang rusak, sehingga menciptakan lingkungan yang nggak kondusif bagi pembelajaran dan merampas hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Film ini juga menggambarkan kurangnya dukungan dan pemahaman dari masyarakat setempat tentang arti pentingnya pendidikan.
Banyak orang tua lebih memilih anak-anak mereka untuk bekerja di tambang timah daripada melanjutkan pendidikan mereka karena kondisi ekonomi yang sulit di daerah tersebut, di mana banyak keluarga berjuang untuk bertahan hidup sehari-hari.
Ketidakadilan dalam sistem pendidikan juga tergambar jelas dalam film ini. Beberapa karakter, seperti Ikal dan Lintang, harus berjuang melawan stereotip dan ekspektasi rendah dari masyarakat, terus membuktikan potensi mereka meskipun dihadapkan dengan berbagai rintangan yang tampaknya nggak ada habisnya.
Salah satu poin yang patut diapresiasi dari film ini adalah penyutradaraan yang cerdas oleh Riri Riza. Dia berhasil menggambarkan kehidupan anak-anak di desa dengan sangat realistis, mengeksplorasi berbagai tema seperti persahabatan, keberanian, dan arti sebenarnya dari pendidikan.
Penggambaran kondisi sekolah yang sederhana namun penuh semangat serta kehidupan sehari-hari anak-anak di Belitung, menghadirkan atmosfer yang sangat mengharukan dan menginspirasi.
Selain itu, akting para pemeran juga luar biasa. Mereka berhasil menyampaikan emosi dan karakteristik setiap tokoh dengan sangat meyakinkan, menjadikan kisah ini terasa hidup dan autentik. Chemistry antara para aktor menghadirkan hubungan yang kuat dan alami antara karakter-karakter utama.
Meskipun demikian, film ini memiliki beberapa kelemahan dari segi teknis. Beberapa adegan terasa agak lambat, dengan ‘pacing’ yang terkadang kurang konsisten.
Selain itu, ada beberapa momen efek visual dan penyuntingan terasa kurang halus, sehingga mengganggu alur naratif secara keseluruhan.
Namun, kelemahan teknis ini nggak mengurangi kekuatan keseluruhan pesan yang ingin disampaikan oleh film ini. Lagian di tahun 2008, perfilman Indonesia juga masih dalam masa bertumbuh, berkembang, bahkan berimprovisasi.
Ya, ini menjadi film favoritku, meskipun nggak aku tonton rutin, tapi setiap kali nonton, mataku masih suka berkaca-kaca. Ups. Skor dariku: 8/10 untuk pesan kuat yang disampaikan pada penonton. Kamu Gen Z yang baru tahu film ini? Jangan ragu nonton film ini, ya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS