Ulasan Novel 7 Prajurit Bapak, Perjalanan Mencari Identitas dan Impian

Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Ulasan Novel 7 Prajurit Bapak, Perjalanan Mencari Identitas dan Impian
Novel 7 Prajurit Bapak (Dok. Pribadi/Christina Natalia)

“Tujuh putra, tujuh harapan. Namun, harapan seorang ayah tak selalu sejalan dengan mimpi anak-anaknya.” Kalimat ini begitu terasa mendalam saat membaca novel 7 Prajurit Bapak. Kisah ini mengupas tuntas tentang tarik-menarik antara generasi tua dan muda, di mana tradisi kental berbenturan dengan keinginan individu.

Novel 7 Prajurit Bapak karya Wulan Nuramalia menghadirkan kisah hangat sekaligus penuh konflik tentang keluarga besar dengan latar belakang militer. Kisah ini mengupas tuntas tentang ekspektasi orang tua, khususnya seorang ayah mantan tentara, terhadap anak-anaknya yang diharapkan mengikuti jejak karier militer.

Salah satu tema sentral yang menarik untuk dibahas adalah normalisasi tradisi turun-temurun dalam memilih pekerjaan. Pak Cahyo, sang ayah, begitu menginginkan ketujuh putranya menjadi tentara seperti dirinya.

Ia meyakini bahwa profesi militer adalah jalan terbaik bagi anak laki-laki. Anggapan ini tentu saja menimbulkan tekanan besar bagi anak-anaknya yang memiliki minat dan bakat yang berbeda-beda.

Novel ini berhasil menggambarkan dilema yang sering kali dialami oleh anak-anak dalam keluarga dengan tradisi kuat. Di satu sisi, mereka ingin menghormati keinginan orang tua.

Di sisi lain, mereka juga memiliki aspirasi dan mimpi sendiri. Konflik batin ini membuat karakter-karakter dalam novel menjadi terasa begitu nyata dan relatable.

Ekspektasi tinggi yang dibebankan Pak Cahyo pada anak-anaknya membawa sejumlah konsekuensi. Beberapa anak merasa tertekan dan kehilangan motivasi untuk mengejar mimpi mereka. Ada pula yang berusaha keras untuk memenuhi harapan ayahnya, namun pada akhirnya merasa tidak bahagia.

Tradisi pekerjaan turun-temurun memiliki dampak positif dan negatif. Di satu sisi, tradisi ini dapat memberikan stabilitas dan rasa aman bagi keluarga. Anak-anak yang mengikuti jejak orang tua cenderung lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan kerja dan memiliki jaringan yang kuat.

Namun, di sisi lain, tradisi ini juga dapat membatasi kreativitas dan potensi individu. Tidak semua anak memiliki minat dan bakat yang sama dengan orang tuanya.

Konflik antara Pak Cahyo dan anak-anaknya dalam novel 7 Prajurit Bapak adalah representasi dari pergulatan antara tradisi dan modernitas.

Generasi muda saat ini memiliki akses yang lebih luas terhadap informasi dan lebih terbuka terhadap berbagai kemungkinan karier. Mereka ingin mengejar mimpi dan passion mereka sendiri, terlepas dari harapan orang tua.

Melalui kisah para tokoh, novel ini mengajak kita untuk merenungkan kembali tentang pentingnya memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk memilih jalan hidup mereka sendiri.

Setiap individu memiliki potensi dan minat yang unik, dan memaksakan mereka untuk mengikuti jejak orang tua tidak selalu menjadi pilihan terbaik.

Salah satu anak dalam keluarga itu, Yoga, dengan mimpi dan semangatnya yang membara, menjadi salah satu karakter yang paling memikat dalam novel ini. Kisahnya tentang perjuangan meraih cita-cita di tengah tekanan keluarga dan masyarakat begitu menyentuh.

Keinginan untuk membahagiakan ayahnya dan memenuhi ekspektasi keluarga membuatnya terjebak dalam dilema. Melalui hubungannya dengan Lia, Yoga belajar untuk lebih menghargai dirinya sendiri dan menemukan keberanian untuk keluar dari zona nyaman.

Lingkungan militer yang menjadi latar belakang novel ini sering kali dikaitkan dengan hierarki yang kaku dan budaya kekerasan.

Meskipun novel ini mungkin tidak secara eksplisit menggambarkan adegan kekerasan fisik, namun tekanan psikologis yang dialami para prajurit, termasuk Pak Cahyo dan anak-anaknya, dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan emosional.

Ekspektasi yang tinggi, disiplin yang ketat, dan tuntutan untuk selalu siap siaga dapat menciptakan lingkungan yang penuh tekanan dan berpotensi memicu tindakan kekerasan.

Kekerasan dalam novel 7 Prajurit Bapak hadir dalam berbagai bentuk, baik yang eksplisit maupun tersirat. Tekanan psikologis yang dialami para karakter, terutama akibat harapan yang terlalu tinggi dari sang ayah, merupakan bentuk kekerasan yang paling dominan.

Perbandingan yang tidak adil, kritik yang pedas, serta ekspektasi untuk selalu menjadi yang terbaik menciptakan lingkungan yang penuh tekanan dan dapat berdampak buruk pada kesehatan mental para pemuda.

Selain itu, novel ini juga menyiratkan adanya kekerasan struktural, seperti sistem patriarki yang kuat dan budaya militer yang kaku. Kekerasan-kekerasan ini tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis yang mendalam, serta menghambat pertumbuhan dan perkembangan individu.

7 Prajurit Bapak tidak hanya sekadar cerita keluarga, tetapi juga sebuah refleksi tentang nilai-nilai keluarga, harapan, dan mimpi. Tradisi pekerjaan turun-temurun adalah fenomena yang kompleks dengan dampak yang beragam.

Novel 7 Prajurit Bapak berhasil menggambarkan dilema yang sering kali dihadapi oleh keluarga-keluarga yang memiliki tradisi kuat. Melalui kisah ini, kita diajak untuk merenungkan kembali tentang pentingnya memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk menentukan masa depan mereka sendiri.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak