Membaca novel Pulang karya dari Genoveva Dian atau Geva, hal pertama kali yang menarik perhatian saya adalah bahwa novel ini mengangkat tema kisah cinta seorang frater/seminaris, sebuah tema yang sangat jarang saya jumpai.
Meskipun kisah cinta di mana-mana selalu sama, tapi sebelumnya tak pernah terbayang oleh saya, bahwa seorang frater ternyata tidak ujug-ujug terpanggil dan mengabdi hanya untuk Tuhan.
Para frater atau calon pastor ini juga kerap berada di persimpangan jalan saat dihadapkan pada kenyataan bahwa hati mereka belum sepenuhnya tertuju pada Tuhan. Mereka masih memiliki ketertarikan pada lawan jenis dan memilih antara cinta dan pengabdian pada Tuhan, bukanlah hal yang mudah untuk diputuskan.
Ignas atau Nas adalah salah seorang dari frater yang mengalami pergulatan batin tersebut. Berawal dari kerap kali melakukan tugas kunjungan ke rumah-rumah warga, Nas mengenal seorang gadis bernama Geraldine atau Din.
Din cukup populer di antara teman-teman Nas, sesama calon pastor. Gadis itu begitu manis, ramah, dan sangat supel. Setiap jatah kunjungan ke rumah Din adalah waktu yang dinantikan Nas. Diam-diam, timbul bibit cinta di hati Nas untuk Din.
Gayung bersambut. Din juga merasakan hal yang sama. Namun, Nas masih harus menghadapi keluarganya yang menentang keras hubungan mereka. Dilema juga turut bergelayut di pikiran Nas, karena bersama Din berarti ia harus menanggalkan jubah dan melupakan impiannya menjadi pastor.
“Jika kamu masuk seminari hanya untuk membuat malu, keluarlah. Tanggalkan jubahmu, Nas. Percuma kamu bersembunyi di balik kedok kesucian kalau hatimu belum sepenuhnya di sana,” ucap Papa. (Pulang, hal. 87)
Novel yang diterbitkan pertama kali oleh Penapedia di tahun 2022 ini memiliki gaya bahasa yang renyah, gaul, kekinian, berpadu dengan sedikit-sedikit dialog berbahasa jawa di sana-sini.
Alur cerita bergerak maju mundur. Pembaca akan diajak ke masa muda Nas yang penuh gejolak dan dilema, lalu menyeberang ke masa dewasa saat Nas berusaha mencari keberadaan Din kembali.
Konflik yang dibangun dalam cerita, tak hanya menyoal kebimbangan Nas antara urusan cinta dan Tuhan. Konflik dengan keluarga ditambah penyakit kronis yang diidapnya—dan berusaha ia tutupi dari seminari agar tak menggagalkan niatnya menjadi pastor—juga membuat novel ini sarat akan konflik.
Aku menangisi kehilangan. Betapa pertemuan manis itu sangat tipis batasnya dengan perpisahan? Aku pernah takut tak bisa mencintai Din, dan sekarang pun aku masih ketakutan kalau Din berhasil menghapusku dari ingatannya. (Pulang, hal. 93)
Karakter Nas sendiri lumayan bikin jengkel saya selaku pembaca. Bagi saya, Nas sebagai laki-laki terlalu lemah, pengecut, kurang berpikir panjang. Ia tipe yang gemar melarikan diri saat tersandung suatu masalah.
Latar tempat berada di tiga kota, yaitu Malang - Blora - Yogya, saya pikir masih bisa dieksplor lebih jauh lagi dari sekadar penamaan, yang jika nama-nama kota tersebut diganti tak akan ada bedanya, karena sedikitnya penggambaran tentang ketiga kota tersebut.
Namun, terlepas dari sedikit kekurangannya tersebut, novel ini sangat layak untuk dimiliki. Apalagi novel Pulang berlatar belakang dari kisah nyata para tokohnya.
Sebaris quote untuk mengakhiri ulasan saya kali ini:
Butuh pergi untuk bisa pulang, butuh perpisahan untuk merasakan kerinduan, dan semuanya ada di novel Pulang.
BACA BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE