Ulasan Uglies, Film Fiksi Apokaliptik dengan Narasi yang Terlalu Dipaksakan

Ayu Nabila | Lena Weni
Ulasan Uglies, Film Fiksi Apokaliptik dengan Narasi yang Terlalu Dipaksakan
Poster Film Uglies (Netflix)

Uglies (2024), film garapan McG dengan Yakub Forman, Vanessa Taylor, hingga Whit Anderson sebagai peramu naskah. Turut menghadirkan Joey King, Brianne Tju, hingga Keith Powers sebagai pemeran utama.

Film yang tayang di Netflix ini bercerita tentang sepak terjang Tally Youngblood, remaja 16 tahun yang melakukan pemberontakan terhadap keseragaman yang dipaksakan oleh lingkungan tempat ia tinggal. Tally tinggal di sebuah tempat di mana para penduduknya diwajibkan menjalani prosedur operasi plastik agar menjadi rupawan setelah menginjak usia 16 tahun.

Suatu hari, teman Tally yang bernama Shay mengungkap keinginannya untuk tidak menjalani operasi plastik. Ia pun mengajak serta Tally untuk melarikan diri ke Smoke, pemukiman di mana standar kecantikan tidak dipedulikan. 

Sontak, Tally menentang keras keinginan dan ajakan Shay tersebut, bagaimanapun Tally menganggap tidak ada yang salah dari kewajiban operasi plastik, dan menjadi rupawan adalah impiannya sedari lama. Karenanya, Tally memutuskan untuk berpisah jalan dengan Shay namun tetap merahasiakan rahasia yang Shay bagi padanya. 

Tepat di mana hari operasi Tally dilangsungkan, seorang penjaga menghampirinya untuk menjemput Tally menghadap pimpinan distrik. Operasi Tally rupanya ditangguhkan setidaknya sampai Tally berhasil menemukan keberadaan Shay, Smoke, juga senjata yang disebut-sebut dapat menghancurkan distrik dan seisinya, tempat Tally dan lainnya tinggal.

Alhasil, mau tidak mau, Tally harus menempuh perjalanan berbahaya untuk kemudian menyusup dan menemukan senjata yang diciptakan penduduk Smoke. Sesampai di sana, Tally menyaksikan sendiri kalau berita buruk tentang Smoke tidak benar adanya. Ia pun mulai tercerahkan setelah mengetahui konspirasi di balik prosedur operasi plastik yang diwajibkan. 

Ulasan Film Uglies

Lumayan terkaget-kaget dengan premis yang dibawakan dalam film ini. Isu yang coba diemban emang related dengan salah satu permasalahan sosial di dunia nyata. Hanya saja, saya kurang sreg dengan latar belakang terciptanya distrik futuristik lengkap dengan segala kebijakan yang berlaku di sana. 

Sejak film dimulai, dijelaskan kalau peradaban manusia yang mengandalkan bahan bakar fosil sudah punah dan kemudian tergantikan dengan peradaban modern serba canggih di mana permasalahan sosial yang timbul karena standar kecantikan yang sudah mengakar akan diselesaikan lewat prosedur operasi plastik yang dipaksakan. 

Dari premis tersebut, nampaknya penulis dan sutradara kita ingin bawakan cerita fiksi apokaliptik yang lain dari yang lain. Tapi menjadi beda bukan satu-satunya alasan membuat sebuah film menjadi mahakarya. Tentunya, ada embel-embel lain yang harus beriringan dengan konsep beda yang hendak dibawakan. Kalau asalan beda malah membuat konsep tersebut jadi aneh dan sulit dipahami letak keindahannya. Dan menurut saya itu sayangnya terjadi di film ini. 

Sebagaimana film fiksi apokaliptik lainnya, peradaban baru yang tumbuh setelah kehancuran peradaban sebelumnya menjadi latar dari film ini. Dan oknum yang sengaja mengkondisikan bumi untuk tetap rusak supaya daya pikat dunia baru yang diciptakannya terus meningkat adalah konflik umum yang lagi-lagi kita temui di film ini. Sebenernya, saya tidak begitu mempermasalahkan hal yang demikian. Justru konsep cerita yang demikian masih seru untuk disimak. 

Sayangnya, mungkin karena kebelet mau tampil beda, kubu yang ingin mengembalikan peradaban bumi seperti sedia kala justru dibuat kehilangan pesonanya. Peradaban yang mereka tawarkan adalah kehidupan beralaskan tanah, bersandarkan hasil bertani yang seadanya. 

Hutan dan kerimbunannya juga bukan suatu yang langka pada nyatanya, itu terlihat dari ekspresi minimalis seorang Tally sewaktu menjelajah hutan untuk menemukan keberadaan Smoke dan Shay, sahabatnya. Jadi, bisa dibilang kubu Smoke berusaha menghentikan langkah kubu distrik untuk menggersangkan hutan, bukan sebagai kubu yang memiliki teknologi canggih untuk menghadirkan tumbuhan yang sudah punah dari muka bumi. 

Film ini terkesan pecah fokus. Jika fokus film memang pada upaya Tally dan kubunya dalam menghentikan pencucian otak lewat operasi plastik, tentu konsep fiksi apokaliptik gak perlu dipaksakan. 

BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak