Narasi Kebangsaan dan Nasionalisme dalam Novel Burung-Burung Manyar

Hikmawan Firdaus | Ade Feri
Narasi Kebangsaan dan Nasionalisme dalam Novel Burung-Burung Manyar
Novel Burung-Burung Manyar (gramedia.com)

Kita sering mendengar narasi kebangsaan dan nasionalisme dari sudut pandang bangsa yang menginginkan kemerdekaan. Cukup jarang menemukan novel yang dengan berani mengangkat permasalahan tentang nasionalisme yang berseberangan dengan Republik Indonesia. 

Maka, novel Burung-Burung Manyar dapat menjadi salah satu literatur yang membuka mata tentang kompleksitas di balik gagasan kebangsaan dan nasionalisme. 

Tokoh Teto sebagai protagonis dalam novel ini merupakan anak dari ayah asli Indonesia dan ibu keturunan Indo-Belanda. Ia besar di lingkungan KNIL di Magelang dan masih berkerabat dengan Mangkunegara. 

Pada tahun 1942, kedudukan Belanda di Indonesia mulai goyah karena kedatangan pasungan Jepang. Situasi ini memengaruhi keutuhan keluarga Teto. Ayahnya hilang tanpa jejak, sementara ibunya menjadi gundik perwira Jepang demi menyelamatkan nasib keluarga.

Sejak saat itu, Teto bertekat untuk menentang segala yang berhubungan dengan Jepang. Ia pun dengan suka rela menjadi pasukan KNIL di bawah tangan Mayor Verbruggen.

Melalui novel ini, penulis yang kerap disapa Romo Mangun juga mengajak pembaca memahami bahwa saat itu situasi dalam negeri tengah berada di masa transisi. Ada keinginan untuk merdeka dari penjajahan, tetapi di sisi yang sama muncul penguasa baru. Kondisi politik, sosial, ekonomi yang serba abu-abu menjadikan sebagian orang memilih jalan hidup yang realistis. Menjadi orang di sisi Belanda dianggap salah satu jalan mencapai kemakmuran hidup. 

Meskipun Teto bergabung dengan pasukan Belanda sebagai upaya "balas dendam" terhadap penderitaannya dan keluarga, ada hal yang cukup menarik tentang gagasan kemerdekaan yang dinarasikan Teto dalam dialog. 

"Omong-kosong tentang kemerdekaan itu slogan belaka yang menipu. Apa dikira orang desa akan lebih merdeka di bawah Merah Putih Republik daripada di bawah mahkota Belanda?”

Sepenggal dialog yang Teto ucapkan saat ia bergabung dengan KNIL itu mempertanyakan makna kemerdekaan. Apakah rakyat akan benar-benar merdeka setelah bangsa ini berdiri atas status kemerdekaannya sendiri? Oleh sebab itu, muncul pemikiran sangsi tentang perbedaan kebebasan hidup di bawah negara sendiri atau di bawah penjajahan.

Walaupun novel ini membawa narasi utama dari sudut pandang Teto, orang yang meragukan nasionalisme kebangsaan. Namun, Romo Mangun juga menyeimbangkan gagasan tersebut melalui narasi semangat nasionalisme dari tokoh Atik. 

Atik merupakan teman masa kecil sekaligus orang yang disukai Teto. Dalam perkembangan waktu, Atik tumbuh menjadi wanita yang dengan rasa nasionalisme tinggi dan mendukung penuh kemerdekaan bangsa. Ia bahkan pernah menjadi juru tik Sutan Sjahrir.

Perbedaan ideologi Teto dan Atik dalam hal kebangsaan dan nasionalisme menjadi jembatan pandangan tentang kemerdekaan. Hal ini dirasa tetap realitis sebab dalam masa pergerakan ke arah perubahan, pastilah muncul berbagai pemikiran.

Romo Mangun membuat tokoh Teto tanpa penghakiman, meskipun ia adalah golongan yang dapat dianggap pengkhianat bangsa karena mendukung pihak musuh. Akan tetapi, tokoh Atik pun dibuat tanpa kesan arogan karena menjadi pihak pendukung kemerdekaan.

Pada akhirnya, novel ini berusaha mengajak pembaca untuk memikirkan ulang gagasan tentang kebangsaan dan nasionalisme. Oleh sebab itulah perbedaan ini diperlukan untuk memahami sudut pandang yang seimbang dari pihak yang mendukung dan yang menolak, agar pembaca dapat menarik kesimpulan tentang arti kemerdekaan yang sesungguhnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak