Kalau ngomongin film fantasi yang nempel banget di ingatan, ‘The Chronicles of Narnia’ jelas masuk daftar teratas. Dari pertama kali nonton jilid kesatu: ‘The Lion, the Witch and the Wardrobe’ (2005), sebagai penonton kecil kala itu, langsung dibuat jatuh cinta sama dunia yang dibuat C.S. Lewis ini.
Bukan cuma karena visualnya yang keren, tapi juga karena cerita dan karakternya yang bikin ikut tenggelam dalam petualangan dan sihirnya.
Awal Keajaiban: Narnia - The Lion, the Witch and the Wardrobe (2005)
Film pertama, ‘The Lion, the Witch and the Wardrobe’, adalah pintu gerbang yang membuka dunia Narnia ke layar lebar. Aku masih ingat betapa terpesonanya melihat wardrobe (lemari) yang jadi portal ke dunia lain. Konsepnya sederhana tapi sangat memikat. Bayangkan saja menemukan dunia penuh keajaiban di balik lemari baju!
Dari segi cerita, film ini punya elemen klasik yang selalu berhasil di film fantasi: Perjalanan pahlawan dari nol sampai akhirnya menjadi penyelamat dunia. Lucy, Edmund, Susan, dan Peter Pevensie bukan hanya anak-anak biasa, tapi mereka punya takdir besar di dunia Narnia.
Salah satu yang paling membekas buatku adalah karakter Aslan. Sosok singa tangguh itu bukan cuma pemimpin Narnia, tapi juga simbol kebijaksanaan dan pengorbanan.
Adegan di mana Aslan mengorbankan dirinya demi menebus kesalahan Edmund adalah salah satu yang paling emosional. Ditambah lagi, Tilda Swinton sebagai White Witch benar-benar sukses membawa aura menyeramkan, dingin, tapi juga karismatik.
Makin Dewasa: Prince Caspian (2008)
Lanjut ke film kedua, ‘Prince Caspian’, nuansanya berubah jadi lebih gelap dan serius. Kalau di film pertama Narnia masih terasa magis dan penuh keajaiban, di sini kita melihat dunia itu berubah drastis.
Sudah ribuan tahun berlalu sejak Pevensie terakhir ke sana, dan sekarang Narnia berada di bawah kekuasaan manusia, sementara para makhluk ajaib tersembunyi dalam ketakutan.
Aku suka banget perkembangan karakter di film ini, terutama Edmund. Di film pertama, dia adalah anak yang gampang tergoda dan membuat keputusan buruk, tapi di sini dia tumbuh jadi sosok yang lebih bijaksana.
Peter juga menghadapi tantangan besar, karena dia harus menerima bahwa dirinya bukan lagi raja di Narnia, dan ada sosok lain, Pangeran Caspian, yang punya hak untuk memimpin.
Dari segi aksi, ‘Prince Caspian’ lebih intens dibanding film pertama. Pertarungan antara pasukan Narnia dan Telmarine sangat seru, terutama adegan di mana Peter duel satu lawan satu dengan Raja Miraz.
Selain itu, musik latar dan sinematografi di film ini juga lebih megah, dan semua itu ngasih kesan kalau Narnia nggak cuma dunia dongeng, tapi tempat dengan sejarah dan politiknya sendiri.
Petualangan di Laut: The Voyage of the Dawn Treader (2010)
Film ketiga, ‘The Voyage of the Dawn Treader’, membawa cerita ke arah yang lebih eksploratif. Kalau dua film sebelumnya lebih fokus pada perang dan konflik, di sini kita diajak berlayar ke berbagai tempat baru di Narnia.
Lucy dan Edmund kembali ke Narnia, tapi kali ini tanpa Susan dan Peter. Mereka ditemani sepupu mereka yang menyebalkan, Eustace Scrubb.
Awalnya, aku agak kesal dengan karakter Eustace karena dia terus mengeluh dan meremehkan Narnia. Namun, justru di film inilah aku melihat perkembangan karakter yang luar biasa. Perubahan Eustace dari anak egois menjadi seseorang yang lebih baik setelah dikutuk jadi naga merupakan salah satu bagian terbaik dalam film ini.
Sayangnya, meskipun masih menyenangkan, film ini mulai kehilangan sentuhan magis seperti dua film sebelumnya. Beberapa bagian terasa lebih episodik, dan konfliknya kurang kuat. Mungkin ini juga dipengaruhi perubahan rumah produksi dari Disney ke 20th Century Fox, yang membuat film ini terasa agak berbeda dalam pendekatan ceritanya.
Ke mana Narnia Setelah Ini?
Setelah ‘The Voyage of the Dawn Treader’, franchise Narnia di layar lebar seolah-olah menghilang. Padahal, masih ada banyak buku yang bisa diadaptasi, seperti ‘The Silver Chair’, ‘The Horse and His Boy’, dan termasuk ‘The Last Battle’.
Beberapa tahun terakhir, ada banyak rumor soal reboot Narnia. Netflix sudah mengumumkan, mereka akan menggarap ulang Narnia dengan versi baru. Namun, pertanyaannya, apakah mereka bisa mengembalikan keajaiban yang dulu?
Di satu sisi, teknologi sekarang jauh lebih canggih dibanding era 2000-an. Dunia Narnia bisa dibuat lebih imajinatif dengan efek visual modern. Namun, di sisi lain, tantangannya adalah bagaimana mempertahankan nuansa klasik dari cerita C.S. Lewis.
Salah satu kekuatan Narnia adalah bagaimana film-filmnya tetap terasa seperti dongeng yang hidup, tanpa terlalu banyak elemen "gelap" yang sering ditambahkan ke film fantasi modern.
Aku berharap kalau Netflix benar-benar mereboot Narnia, mereka bisa menemukan keseimbangan yang pas. Jangan sampai kehilangan jiwa dari cerita aslinya.
Hal yang terpenting, Narnia harus tetap terasa seperti dunia yang penuh keajaiban dan petualangan, bukan sekadar film fantasi generik yang hanya mengandalkan visual spektakuler tanpa emosi.
Buatku, Narnia lebih dari sekadar kisah dongeng maupun film fantasi. Ini adalah kisah tentang keberanian, pengorbanan, dan harapan. Dunia yang dibangun C.S. Lewis mungkin penuh dengan sihir, tapi pelajaran yang ada di dalamnya tetap terasa nyata.
Dulu, aku sering berandai-andai bisa menemukan pintu ke Narnia di rumahku sendiri. Sampai sekarang, setiap kali melihat lemari kayu besar, ada sedikit rasa ingin membuka dan berharap ada dunia lain di dalamnya. Aku yakin banyak penggemar Narnia juga merasakan hal yang sama.
Selama masih ada orang yang mengingat dan mencintai dunia itu, Narnia nggak akan pernah pudar.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS