Asmara yang Bukan Dongeng: Ketika Ramayana Tak Lagi Sakral

Hernawan | Miranda Nurislami Badarudin
Asmara yang Bukan Dongeng: Ketika Ramayana Tak Lagi Sakral
Novel Asmara Bukan Ramayana (DocPribadi/Miranda)

Sinta selalu percaya pada kisah cinta yang sempurna. Sejak kecil, ia tumbuh dengan legenda Ramayana yang dituturkan dari mulut ke mulut. Rama, sang pahlawan yang berjuang dengan gagah berani. Sinta, perempuan setia yang rela diuji kesuciannya. Dan kisah mereka yang berakhir bahagia, seperti seharusnya semua cinta berakhir.

Namun, seiring waktu, Sinta mulai menyadari bahwa hidup tidak seperti yang dikisahkan dalam dongeng. Bahwa pernikahan bukan sekadar kisah cinta abadi yang terus bersinar tanpa cela. Kadang, cinta pudar. Kadang, kesetiaan terasa seperti beban. Dan kadang, pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ditekan dalam hati akhirnya berani muncul ke permukaan.

Di sinilah Asmara Bukan Ramayana karya Nimas Aksan berbicara. Ini bukan sekadar kisah tentang rumah tangga yang diuji, bukan sekadar kisah perselingkuhan atau kehilangan. Novel ini lebih dari itu. Ia adalah cerminan dari pergulatan batin manusia saat dihadapkan pada kenyataan yang tak seindah harapan.

Cinta yang Tidak Selalu Sakral

Sejak halaman pertama, Nimas Aksan membawa pembaca masuk ke dalam dunia yang penuh nuansa. Dengan alur maju-mundur, ia merangkai kisah pernikahan Rama dan Sinta seperti kepingan mozaik. Ada momen-momen bahagia yang terasa begitu indah, tapi juga ada celah-celah kecil yang perlahan membesar, memperlihatkan retakan yang selama ini coba diabaikan.

Sinta bukan perempuan yang lemah. Ia tahu apa yang diinginkannya. Tapi ketika rumah tangganya mulai terasa kosong, ia mulai bertanya: apakah pernikahan adalah sesuatu yang harus dipertahankan mati-matian, meski itu berarti mengorbankan kebahagiaannya sendiri?

Kita sering kali diajarkan bahwa cinta adalah sesuatu yang sakral. Bahwa kesetiaan adalah bukti cinta sejati. Namun novel ini menghadirkan sudut pandang yang berbeda. Bagaimana jika kesetiaan justru menjadi beban? Bagaimana jika pernikahan yang dijaga dengan susah payah justru menjadi tempat seseorang kehilangan dirinya sendiri?

Ketika Orang Ketiga Bukan Sekadar Pengganggu

Dalam banyak kisah cinta, orang ketiga sering kali hadir sebagai antagonis. Ia adalah perusak rumah tangga, pengganggu yang membawa kehancuran. Namun dalam Asmara Bukan Ramayana, kehadiran orang ketiga bukanlah sekadar pemicu konflik. Ia adalah refleksi dari sesuatu yang lebih dalam: sebuah kebutuhan yang tak terpenuhi, sebuah kekosongan yang selama ini dibiarkan begitu saja.

Nimas Aksan tidak terburu-buru menghakimi siapa pun. Ia membiarkan pembaca melihat semuanya dari berbagai sisi. Dari Sinta, yang mulai mempertanyakan makna kebahagiaan dalam pernikahannya. Dari Rama, yang juga memiliki pergulatan batinnya sendiri. Dan dari sosok lain yang hadir di antara mereka, bukan sebagai perusak, tapi sebagai seseorang yang membuka mata Sinta terhadap kenyataan yang selama ini ia abaikan.

Novel ini tidak menawarkan jawaban mudah. Tidak ada benar atau salah mutlak. Yang ada hanyalah manusia dengan segala keinginan, ketakutan, dan keputusan yang harus mereka ambil—meskipun itu berarti melawan ekspektasi yang telah melekat selama bertahun-tahun.

Pernikahan: Rumah atau Penjara?

Banyak perempuan dibesarkan dengan anggapan bahwa pernikahan adalah tujuan akhir. Bahwa seorang istri harus bertahan, tidak peduli seberapa sulit keadaannya. Kesetiaan, dalam banyak budaya, sering kali diartikan sebagai pengorbanan tanpa batas.

Tapi apakah itu benar?

Lewat karakter Sinta, novel ini mengajak pembaca untuk mempertanyakan konsep kesetiaan yang selama ini diterima begitu saja. Apakah kesetiaan berarti bertahan dalam hubungan yang tidak lagi membawa kebahagiaan? Apakah seorang perempuan harus terus berpegang pada janji pernikahan, meski itu berarti mengorbankan dirinya sendiri?

Novel ini tidak memberikan jawaban yang jelas, tapi justru itulah yang membuatnya menarik. Ia tidak memaksa pembaca untuk berpihak, melainkan mengajak mereka untuk melihat bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa didefinisikan dengan satu jawaban mutlak.

Lebih dari Sekadar Kisah Cinta

Asmara Bukan Ramayana bukan novel romansa biasa. Ia bukan tentang pasangan yang berjuang demi kebahagiaan mereka dan berakhir dalam pelukan satu sama lain. Ini adalah kisah tentang realitas pernikahan, tentang bagaimana harapan bisa berubah seiring waktu, dan tentang bagaimana seseorang harus memilih antara mempertahankan sesuatu yang familiar atau mencari kebahagiaan yang baru.

Membaca novel ini seperti melihat diri sendiri dalam cermin. Ia mengajak pembaca untuk merenungkan: apakah kita benar-benar bahagia dalam hubungan yang kita jalani? Apakah kita setia karena cinta, atau karena takut menghadapi perubahan?

Dan yang paling penting, apakah kita berhak menulis kisah cinta kita sendiri—tanpa harus mengikuti jalan yang sudah ditentukan oleh dongeng yang telah usang?

Dengan gaya bahasa yang mengalir dan narasi yang emosional, Nimas Aksan berhasil menghadirkan cerita yang tidak hanya menyentuh hati, tapi juga mengajak kita untuk berpikir lebih dalam tentang makna cinta dan kesetiaan. Asmara Bukan Ramayana bukan sekadar novel, tapi sebuah refleksi tentang kehidupan yang sesungguhnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak