Review Film Gowok - Kamasutra Jawa: Nggak Cuma Bahas Seksualitas yang Sensual

Hayuning Ratri Hapsari | Athar Farha
Review Film Gowok - Kamasutra Jawa: Nggak Cuma Bahas Seksualitas yang Sensual
Poster Film Gowok- Javanese Kamasutra (IMDb)

Banyak sinefil penasaran dengan bagaimana sebuah film bisa mengangkat budaya sensualitas tanpa terjebak dalam eksploitasi visual murahan. Ketika mendengar nama Hanung Bramantyo duduk di kursi sutradara dalam naungan MVP Pictures dan Dapur Film, tentu saja film kali ini nggak sekadar jualan seks. 

Benar saja, setelah debut internasionalnya di International Film Festival Rotterdam (IFFR) pada 2 Februari 2025, Gowok – Kamasutra Jawa (Javanese Kamasutra) resmi tayang di bioskop Indonesia mulai 5 Juni 2025, yang nggak cuma bicara tentang seks atau cinta, tapi juga dendam, kekuasaan, dan perjuangan perempuan dalam sistem yang mengekangnya.

Menarik, deh! 

Terbukti, Hanung kembali membuktikan kepiawaiannya dalam mengolah kisah-kisah berlatar sejarah dan budaya Indonesia. Kali ini, dia menyusuri tradisi kuno tanah Jawa lewat lensa seorang wanita yang menyimpan bara dendam selama dua dekade.

Sekilas tentang Film Gowok – Kamasutra Jawa 

Cerita Gowok perihal Ratri Sujita, gadis yatim piatu yang diasuh Nyai Santi (Lola Amaria) si gowok. 

Gowok tuh perempuan terdidik yang bertugas mengajarkan seni rumah tangga, termasuk seksualitas, kepada calon pengantin pria. Profesi yang dipandang penting dalam budaya Jawa klasik, dan sering kali dikaitkan dengan ajaran dari Serat Centhini.

Nah, Alika Jantinia memerankan versi muda Ratri, sedangkan sosok dewasanya diperankan Raihaanun.

Ratri tumbuh dalam didikan Nyai Santi, yang nggak hanya mengajarinya seni kamasutra, tapi juga filosofi tubuh, keintiman, dan peran perempuan dalam menyeimbangkan kuasa di ranjang. Ilmu itu awalnya dianggap sebagai bekal hidup, hingga kemudian cinta masuk sebagai ujian.

Adalah Kamanjaya (Devano Danendra), pemuda dari keluarga terpandang, yang membuat Ratri jatuh hati dan mempercayakan hidupnya. Namun, seperti dongeng yang salah arah, janji manis Kamanjaya berakhir pahit.

Kamanjaya ternyata sudah menikah dengan perempuan lain. Ratri terluka, bukan hanya karena cinta yang dikhianati, tapi juga karena kepercayaannya sebagai perempuan dihancurkan sistem patriarki yang menindasnya.

Dua puluh tahun berlalu. Kamanjaya dewasa (diperankan Reza Rahadian) datang kembali ke rumah Nyai Santi, kali ini membawa putranya, Bagas (Ali Fikry), buat belajar kamasutra Jawa. Ironisnya, yang jadi guru bukan Nyai Santi lagi, melainkan Ratri, perempuan yang pernah dia khianati.

Inilah awal dari permainan dendam yang penuh risiko. Bagas, yang nggak tahu masa lalu kelam antara ayahnya dan Ratri, malah jatuh hati pada sang guru. Sementara Ratri melihat celah untuk membalas luka lama. Bukan dengan amarah, tapi dengan pesona dan pengaruhnya. Namun, seperti kisah klasik, cinta dan dendam nggak pernah sesederhana itu.

Kisahnya sudah sekece itu sih. Lalu, bagaimana dengan pengalaman nonton film ini? Yuk, simak bareng!

Impresi Selepas Nonton Film Gowok – Kamasutra Jawa 

Serius deh, aku takjub bagaimana naskah film ini dengan lihainya menjadikan seksualitas bukan objek, tapi subjek. Di tangan Hanung, ‘Gowok’ nggak sekadar memperlihatkan tubuh atau adegan erotis. Film ini justru ngasih ruang pada narasi tubuh perempuan, terkait bagaimana tubuh bisa jadi alat kontrol, ekspresi, bahkan senjata.

Ratri, dalam segala kompleksitasnya, bukan perempuan baik-baik, tapi juga bukan antagonis biasa. Ibarat perempuan Jawa yang mencoba berdiri di antara dua dunia, yakni dalam dunia tradisi yang mengatur hidupnya, dan dunia baru yang menawarkan kebebasan meski nggak bebas dari risiko.

Film ini juga mengajak aku menyusuri perjalanan panjang sejarah Indonesia, dari tahun 1933 hingga 1985. Latar waktu yang luas ini nggak cuma jadi penghias, tapi benar-benar melebur dalam narasi. Sobat Yoursay bakal melihat pergulatan perempuan dari masa ke masa, mulai dari tekanan adat, transisi politik, hingga munculnya semangat emansipasi.

Uniknya, film ini nggak takut bermain-main dengan elemen mistis. Dewa-dewi cinta seperti Kamajaya dan Kamaratih muncul sebagai lambang dan narasi metaforis dari pergolakan batin Ratri. Aura supernatural yang khas dalam budaya Jawa memperkaya kisahnya. 

Visualisasi Kamajaya dan Kamaratih tampil bukan sebagai karakter nyata, tapi representasi psikologis dan spiritual dalam batin Ratri. Pengingat akan cinta ideal dan peran tubuh dalam kekuasaan.

Musik gamelan yang mengalun sepanjang film, pun membungkus suasana dengan aroma Jawa yang kental. Setiap adegan penting didukung scoring yang mampu membawa emosi naik-turun, seolah-olah jadi bagian dari tarian emosi para tokohnya.

Yang kerennya lagi, Raihaanun tampil kece banget. Mampu memerankan Ratri dewasa dengan dualitas yang memikat: dingin tapi menggoda, lemah tapi kuat, terluka tapi tajam. Reza Rahadian sebagai Kamanjaya versi dewasa juga nggak lepas dari karisma dan rasa bersalahnya. 

Sementara Lola Amaria berhasil menghidupkan karakter mentor yang bijak sekaligus misterius. Devano Danendra dan Alika Jantinia sebagai versi muda Kamanjaya dan Ratri membawa performa terbaik pada awal cerita.

Nah, Ali Fikry, yang memerankan Bagas, juga pantas diapresiasi. Transformasi karakternya dari murid naif jadi pria yang larut dalam permainan hasrat ditampilkan dengan kontrol yang matang, meskipun usianya masih muda.

Jujur, aku nggak bisa menutup ulasan ini tanpa membahas lapisan emosi film ini. Dari awal, ‘Gowok’ memperingatkan soal adegan kekerasan yang bisa memicu trauma. Memang, film ini menyentuh sisi gelap dari pengkhianatan, luka batin, dan manipulasi.

Namun, nggak semuanya kelam. Kehadiran karakter seperti Liyan (yang muncul sebagai elemen komedi) bisa ngasih napas ringan di tengah suasana yang tegang.

Menjelang akhir, film ini melemparkan twist yang WEW gitu. Sebuah keputusan akhir yang membuatku bertanya-tanya: Apakah dendam benar-benar bisa menyembuhkan luka? Atau justru membuka luka baru?

Pada akhirnya, ini pilihan penonton. Mau nonton silakan, nggak pun itu sudah jadi pilihan yang dipertimbangkan. Soalnya kenapa? Ya, Film Gowok – Kamasutra Jawa bukan film untuk semua orang.

Eh, tapi buatku ini film yang penting. Soalnya nggak cuma memetakan sejarah dan budaya seksual Jawa, tapi juga membuka ruang diskusi soal perempuan, hak tubuh, dan konsekuensi dari luka yang dipendam terlalu lama.

Skor: 4,5/5

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak