Pernahkah kamu membaca novel yang membuatmu sejenak lupa bahwa ini hanya cerita fiksi?
Saya mengalaminya ketika membaca Rindu yang Membawamu Pulang karya Ario Sasongko. Novel ini membawa saya menelusuri Batavia tahun 1920-an—masa ketika cinta bisa menjadi bentuk perlawanan, dan sekadar duduk bersebelahan di trem bisa jadi tindakan yang melampaui batas sosial.
Di tengah gempuran novel cinta masa kini yang sering kali hanya berkutat pada konflik personal atau percintaan manja remaja metropolitan, Rindu yang Membawamu Pulang hadir dengan napas yang berbeda. Ia menawarkan cinta yang besar, rumit, dan berakar pada kenyataan sejarah. Cinta yang tidak tumbuh di tanah yang subur, melainkan di ladang penuh duri sosial: diskriminasi, sekat etnis, dan ketimpangan kolonial.
Pertemuan yang Menggugah: Cinta di Trem Kelas Dua
Gun adalah pegawai Jawatan Pos dari kalangan pribumi. Ling adalah guru perempuan keturunan Tionghoa yang mengajar di sekolah THHK (Tiong Hoa Hwee Kwan). Mereka bertemu di trem kelas dua—bukan tempat yang biasa menjadi titik temu dua etnis yang pada masa itu dipisahkan secara sistemik oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Perjumpaan itu biasa saja, bahkan nyaris tak berarti jika dilihat sekilas. Tapi justru di sanalah kekuatan novel ini: mengangkat hal-hal kecil yang menyimpan makna besar. Duduk berdampingan di ruang publik bukan hal sepele saat sistem sosial dirancang untuk memisahkan.
Dari situ tumbuh benih cinta. Tapi bukan cinta yang mulus. Gun, dengan semangat nasionalismenya, menyadari bahwa cintanya pada Ling tak hanya soal rasa, tapi juga soal risiko. Sementara Ling, sebagai perempuan Tionghoa, hidup di tengah prasangka ganda: sebagai perempuan dan sebagai etnis minoritas yang dipandang serba ambigu oleh penjajah maupun pribumi sendiri.
Batavia yang Hidup dalam Narasi
Salah satu kekuatan terbesar novel ini adalah kemampuannya menghidupkan Batavia era 1920-an secara nyata di benak pembaca. Ario Sasongko menggambarkan kota itu dengan detail yang kaya: trem yang berderit di jalanan, toko-toko Tionghoa yang rapi, perbedaan kelas dalam layanan publik, hingga ruang-ruang pendidikan yang menjadi tempat bertumbuhnya harapan maupun ketidakadilan.
Lewat latar ini, pembaca diajak menyadari bahwa kolonialisme bukan hanya perihal penguasaan politik, tapi juga sistem yang membentuk pola pikir, memecah masyarakat berdasarkan etnis, dan merancang “hierarki manusia”. Dalam dunia seperti itu, mencintai seseorang dari latar berbeda bisa menjadi bentuk keberanian yang luar biasa.
Pulang yang Tak Sekadar Rumah
Judul novel ini sangat menarik: Rindu yang Membawamu Pulang. Kata “pulang” mengandung makna yang lebih dari sekadar kembali ke rumah secara fisik. Ia bisa berarti kembali ke asal, kembali ke jati diri, atau bahkan kembali ke nilai-nilai kemanusiaan yang sejati.
Dalam kisah Gun dan Ling, pulang bukan hal yang mudah. Dunia memaksa mereka untuk berpura-pura. Ling harus berdamai dengan identitasnya yang dianggap “asing” oleh pribumi dan “tidak cukup Tionghoa” oleh bangsanya sendiri. Sementara Gun harus memilih antara idealisme perjuangan dan kenyataan perasaannya.
Rindu dalam novel ini tidak hadir sebagai drama remaja, tapi sebagai dorongan emosional yang membawa tokoh-tokohnya menuju kebenaran, keutuhan, dan keberanian untuk melampaui garis batas yang dibuat manusia.
Keunikan yang Jarang Dijamah Sastra Populer
Banyak novel Indonesia yang mengambil latar sejarah, tapi sedikit yang mengangkat dinamika cinta lintas etnis secara halus dan mendalam seperti ini. Rindu yang Membawamu Pulang tidak meledak-ledak. Narasinya tenang, bahkan cenderung reflektif. Tapi justru di situlah kekuatannya. Ia membuat pembaca tidak hanya merasa, tapi juga berpikir.
Ario Sasongko menulis dengan gaya yang puitis tapi tidak berlebihan, kontemplatif tapi tetap mengalir. Tidak ada heroisme berlebihan. Yang ada adalah manusia-manusia biasa, dengan luka dan pilihan yang rumit, mencoba hidup di dunia yang tidak sederhana.
Novel yang Menyuarakan Kemanusiaan
Bagi saya, Rindu yang Membawamu Pulang adalah kisah cinta yang berhasil melampaui genre-nya sendiri. Ia adalah potret sosial. Ia adalah memoar tak tertulis tentang sisi sejarah yang sering dilupakan: bahwa di tengah perjuangan melawan penjajahan, ada cinta-cinta kecil yang juga berjuang untuk diakui.
Novel ini menyuarakan pentingnya inklusivitas, menantang dominasi satu narasi atas sejarah, dan memperlihatkan bahwa bangsa ini dibentuk bukan oleh satu kelompok saja, tetapi oleh keberagaman yang sering kali saling mencintai dalam diam.
Akhir Kata: Untuk yang Sedang Mencari Bacaan Bermakna
Kalau kamu sedang bosan dengan kisah cinta yang serba instan, novel ini bisa jadi oase. Rindu yang Membawamu Pulang adalah pengingat bahwa cinta bisa menjadi cara paling tenang namun kuat untuk menyuarakan kemanusiaan. Ia mengajak kita merenung: tentang identitas, sejarah, dan tentang keberanian mencintai meski dunia berkata tidak.
Dan siapa tahu, setelah membaca novel ini, kamu juga akan merasa sedang merindukan sesuatu—entah seseorang, entah masa, atau bahkan dirimu yang dulu. Selamat membaca dan selamat jatuh cinta, sekali lagi, lewat kata.
Kalau kamu suka cerita cinta yang bermakna dan penuh lapisan sejarah, novel ini wajib masuk daftar bacaanmu.