Ulasan Novel Matahari Terbenam, Potret Sunyi dari Dunia Pasca Perang

Sekar Anindyah Lamase | Ardina Praf
Ulasan Novel Matahari Terbenam, Potret Sunyi dari Dunia Pasca Perang
Novel Matahari Terbenam (goodreads.com)

Dalam kisah yang sunyi namun menggugah ini, kita diajak masuk ke dalam kehidupan Kazuko, seorang perempuan berusia dua puluh tahun-an yang menjadi pusat cerita.

Ia adalah putri satu-satunya dalam keluarga kecil yang perlahan-lahan mengalami keretakan dari dalam, bukan karena amarah, tetapi karena luka yang dalam dan tak kasatmata.

Setelah kepergian ayahnya, semua urusan rumah seakan otomatis berpindah ke tangan Kazuko.

Sekarang, dialah yang harus menjaga ibunya yang sakit-sakitan. Seseorang yang dulu kuat, namun kini mulai rapuh, baik secara fisik maupun batin.

Kazuko mungkin bukan tipe orang yang mencuri perhatian atau tampak kuat dari luar. Tapi dengan melihat kesehariannya, kita bisa mengetahui bahwa ia sedang berjuang untuk mempertahankan sisa hidupnya.

Hari-harinya berjalan pelan, seperti menapaki waktu tanpa arah pasti, seolah menanti sesuatu yang ia sendiri belum bisa beri nama.

Ketabahan dan rasa bersalah berbaur menjadi satu, terutama setelah sang adik, Haruki, pulang dari medan perang.

Haruki adalah gambaran dari generasi yang direnggut harapannya oleh kekalahan. Ia pulang bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai pria muda yang hancur oleh trauma dan kekecewaan.

Perang telah mengubahnya menjadi sosok yang sulit dikenali, pendiam, kasar, dan sering tenggelam dalam alkohol. Dia merasakan amarah yang besar, tapi di sisi lain dia juga merasa sedih yang amat dalam.

Ia bukan hanya marah pada dunia, tapi juga pada dirinya sendiri yang merasa gagal menjalani hidup.

Kehadiran Haruki yang kacau di tengah rumah yang sudah rapuh menambah beban Kazuko. Ia berhadapan bukan hanya dengan kenyataan bahwa keluarganya perlahan runtuh, tapi juga dengan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup.

Rasa sepi dan perasaan hampa terus merasuk ke dalam hatinya hari demi hari. Kazuko mencoba bertahan, namun dalam prosesnya, ia juga mulai mempertanyakan banyak hal. Tentang peran perempuan, tentang cinta, tentang kebebasan, dan tentang makna menjadi manusia dalam dunia yang terus berubah.

Cerita ini tidak berisi aksi dramatis yang mencengangkan. Justru kekuatan cerita ini terletak pada sunyi yang menyelimuti dan emosi-emosi yang tak banyak diungkapkan. Kazuko bukan sosok protagonis yang penuh ambisi atau punya tujuan besar yang hendak dikejar.

Ia lebih seperti cermin yang memantulkan kembali perasaan-perasaan yang mungkin pernah kita rasakan. Kekosongan, kehilangan arah, atau perasaan terasing, terutama di saat hidup melenceng jauh dari harapan yang dulu kita bayangkan.

Yang menarik, meskipun Kazuko tampak rapuh dari luar, ada keteguhan yang pelan-pelan tumbuh dalam dirinya.

Bukan suara yang lantang atau penuh amarah, tapi suara batin yang mengajaknya untuk jujur pada dirinya sendiri. Ia mulai mempertanyakan norma, menggugat peran perempuan yang hanya diharapkan untuk tunduk dan mengabdi, dan mencoba mencari jalannya sendiri di tengah reruntuhan harapan masa lalu.

Narasi tentang Kazuko menjadi potret tentang manusia yang berjuang menjaga kewarasan di tengah dunia yang tidak memberi banyak ruang untuk bernapas.

Tentang bagaimana perang, meskipun tidak terjadi di halaman rumah, meninggalkan luka di dalam rumah, di dalam jiwa, di dalam relasi yang paling dekat.

Lewat pandangan Kazuko, kita diajak untuk merenung tentang ketahanan yang sunyi.

Kadang, yang membuat seseorang tetap melangkah bukanlah mimpi besar atau harapan yang gemilang, tapi cuma dorongan kecil untuk terus maju, meski perlahan, meski tanpa tahu pasti arahnya ke mana.

Dan mungkin, justru di langkah-langkah yang tenang dan tanpa desakan itulah, seseorang mulai mengenali kembali siapa dirinya sebenarnya.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak