Toshikazu Kawaguchi kembali dengan karya yang menyentuh dan menghangatkan hati dalam novel keempat dari seri Before the Coffee Gets Cold, yang kali ini berjudul Before We Forget Kindness.
Seperti dalam buku-buku sebelumnya, latar cerita masih berada di sebuah kafe kecil tersembunyi di gang sempit Tokyo. Kafe ini bukan hanya tempat untuk minum kopi.
Ketika mengunjungi kafe ini, siapapun bisa kembali ke masa lalu. Tapi mereka harus siap duduk di kursi tertentu dan harus kembali ke masa kini sebelum kopinya menjadi dingin.
Dalam Before We Forget Kindness, Kawaguchi menghadirkan empat kisah baru, masing-masing membawa tema yang kuat tentang kehilangan, penyesalan, dan harapan yang belum padam.
Kisah pertama membahas tentang seorang ayah yang tidak mengizinkan putrinya menikah. Penyesalan membawanya kembali ke masa lalu, mencoba memahami atau mungkin hanya ingin didengar dan dikenang dengan cara yang lebih lembut.
Lalu ada seorang wanita yang tidak pernah berhasil memberikan cokelat Hari Valentine kepada pria yang ia cintai, bukan karena ia takut ditolak, tetapi karena waktu terus berjalan tanpa pernah menunggunya cukup lama untuk mengumpulkan keberanian.
Kisah ketiga hadir dari seorang anak laki-laki yang terjebak di tengah perceraian orang tuanya. Ia hanya ingin menunjukkan senyumannya kepada orang tuanya agar mereka tahu bahwa ia bahagia.
Lalu ada seorang istri muda yang memeluk bayi tanpa nama. Tentang perpisahan yang tiba-tiba datang sebelum mengucapkan selamat tinggal dan harapan.
Meskpin keempat cerita tersebut berbeda, tapi semuanya sama-sama menampilkan kesedihan yang tidak tersampaikan.
Kawaguchi menulis dengan lembut dan puitis, tetapi di balik kalimat-kalimat yang sederhana, ia menyelipkan pertanyaan-pertanyaan yang berat: Bagaimana jika kita tidak pernah mendapatkan kesempatan kedua? Apa yang sebenarnya ingin kita sampaikan pada orang yang sudah tidak bisa lagi kita temui?
Yang paling membekas dari novel ini adalah perasaan duka yang nyaris sunyi, yang perlahan meresap ke dalam hati pembaca. Bukan duka yang meledak-ledak, melainkan yang muncul dalam bentuk kenangan, kehilangan yang tidak pernah selesai, atau cinta yang tak sempat disampaikan.
Kawaguchi tidak memunculkan penyelesaikan konflik yang mudah. Ia justru menampilkan kenyataan bahwa tidak semua hal bisa diperbaiki, tetapi kebaikan, meskipun kecil bisa menjadi jembatan untuk melanjutkan hidup.
Secara keseluruhan, Before We Forget Kindness adalah novel pendek yang hanya 240 halaman, tetapi ia memuat lapisan emosi yang dalam.
Cerita-ceritanya bukan sekadar fiksi sentimental, melainkan refleksi atas betapa banyak orang membawa luka dari masa lalu mereka.
Ia mengingatkan kita bahwa sering kali, kita baru menyadari betapa berharganya hal-hal sederhana setelah semuanya berlalu, seperti senyuman yang hangat, pelukan yang tulus, atau sekadar kehadiran seseorang di dekat kita.
Novel ini mengajak pembaca untuk menghargai kebaikan yang kadang tak kita sadari saat ia hadir. Bahwa segala keputusan di masa lalu yang kita ambil bisa menjadi peluang untuk terus tumbuh di masa depan. Setiap kata yang terucap akan memunculkan makna saling memahami serta memaafkan.
Karena, seperti yang ditunjukkan oleh para tokohnya, meskipun kita tidak bisa mengubah masa lalu, kita masih bisa memilih bagaimana menjalani masa kini dan menyambut masa depan.
Before We Forget Kindness adalah bacaan yang pelan, namun menyentuh. Buku ini menjadi pengingat bahwa dibutuhkan kelembutan untuk merawat luka, serta kebaikan yang terlupakan bisa menjadi penghangat hati ketika mengenangnya kembali.