Sebuah dunia di mana para pemuka agama berdiri di atas mimbar, bukan untuk membimbing umatnya menuju kedamaian, tapi berupaya menyulut api perpecahan demi kepentingan politik. Di mana iman yang seharusnya jadi bekal hidup, malah digunakan memperkuat cengkeraman kekuasaan yang korup. Itulah dunia yang dihadirkan Sutradara Petra Costa dalam dokumenter terbarunya: Apocalypse in the Tropics, yang tayang di Netflix sejak 14 Juli 2025.
Setelah menyita perhatian dengan ‘The Edge of Democracy’ (2019), film yang menyelami jatuh bangunnya demokrasi Brasil lewat kisah pribadi dan politik Petra. Kali ini dia menggali lebih dalam akar-akar ideologis yang selama ini membayangi naiknya tokoh sayap kanan Jair Bolsonaro, dengan fokus tajam pada peran gerakan evangelis konservatif yang semakin kuat di Brasil.
Kalau Film ‘The Edge of Democracy’ terasa seperti thriller politik penuh skandal dan intrik, maka ‘Apocalypse in the Tropics’ terasa kayak film horor dokumenter.
Sutradara Petra Costa mengupas bagaimana para pemimpin agama karismatik, misalnya Silas Malafaia, memainkan peran penting dalam mendorong agenda dari mimbar gereja ke dalam parlemen. Nggak sebatas mendukung kandidat, tapi menjadikan politik jadi perpanjangan dari perang spiritual yang didakwahkan, sementara umatnya sebagai pasukan siap tempur.
Nggak hanya itu, film ini juga menyuguhkan bagaimana isu-isu seperti aborsi, yang hingga kini masih ilegal di Brasil, dijadikan alat mobilisasi. Alih-alih berdebat soal program sosial atau infrastruktur, pertempuran politik kini berkisar pada ideologi dan kebenaran versi satu kelompok saja.
Dalam gaya visual yang khas, Petra Costa menyandingkan cuplikan khotbah-khotbah fanatik dengan lukisan-lukisan abad pertengahan yang menggambarkan kiamat dari Kitab Wahyu.
Penggunaan elemen itu membuat film terasa seperti mimpi buruk, terutama ketika disandingkan dengan arsip-arsip nyata, seperti rekaman doa histeris Ibu Negara di hadapan publik, atau lautan massa yang mengepung gedung pemerintahan dalam kerusuhan. Rasanya seperti nonton fiksi distopia, hanya saja ini adalah dokumentasi nyata.
Nah, di sini pun Costa bermain dengan lapisan-lapisan naratif yang personal. Namun kali ini, menanggalkan kelembutannya dan menggantinya dengan ketegangan konstan. Pokoknya, nggak ada ruang untuk bernapas lega deh.
Meski sangat berakar pada situasi sosial-politik Brasil, film ini berbicara lebih luas dari batas-batas negaranya. Sulit untuk nggak memikirkan fenomena serupa di negara-negara lain, di mana agama digunakan sebagai alat politik.
Dan di tengah dunia yang semakin mudah terbakar sama berita hoaks, manipulasi emosi, dan politik, Film Apocalypse in the Tropics hadir kayak alarm yang meraung-raung keras.
Bagiku, Film Apocalypse in the Tropics adalah dokumenter penting, tapi juga agak menakutkan karena merobek kenyamanan kita soal peran agama dalam demokrasi dan menyisakan pertanyaan mengganggu yang bikin diriku kepikiran lama setelah filmnya berakhir.
Kalau Sobat Yoursay penasaran sama seluruh kisahnya, yang banyak kejutan dan kadang datang dari arah nggak terduga, langsung saja tonton filmnya di Netflix. Soalnya, ini tipe film yang memang paling enak dinikmati tanpa banyak spoiler. Semakin sedikit yang kamu tahu di awal, semakin besar rasa kaget .
Tentu aja, soal selera dan penilaian film itu sifatnya sangat pribadi. Apa yang kurasa kuat, apa yang mungkin kurang pas, dan bagaimana film ini ngena di hati, nah bisa jadi kamu merasa beda. Mungkin kamu ngerasa film ini terlalu buruk eksekusinya. Dan itu sah-sah aja.
Namanya juga karya seni, pasti menimbulkan interpretasi yang beragam. Justru di situlah asyiknya jadi penonton. Kita bisa berdiskusi, berdebat sehat, saling tukar perspektif, dan akhirnya jadi lebih terbuka sama cara pandang orang lain.
Jadi, kalau kamu sudah nonton dan punya pendapat sendiri, yuk, share juga pendapatmu!
Skor: 4/5